Sejarah

LINTASAN SEJARAH

Sejak kapan gedung Taman Budaya dibangun? Ini pertanyaan menarik yang belum bisa dijawab. Yang jelas, kompleks TBJT ini dahulu merupakan rumah Bupati Kanoman dan (salah satu) pusat pemerintahan Kabupaten “Soerabaia” dalam masa penjajahan Belanda. Kala itu, sekitar abad 17, Kadipaten Soerabaia berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram di Kartosura. Bupati pertama Soerabaia adalah Tumenggung Kyai Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran, kemudian digantikan Tumenggung Onggodjojo yang mempunyai dua orang putera yang sama-sama ingin menjadi Bupati. Sebagaimana dikutip dari buku Dukut Imam Widodo, maka Kadipaten Soerabaia dibagi menjadi dua yaitu Kadipaten Kasepuhan dan Kadipaten Kanoman. Yang disebut pertama dipimpin Bupati Raden Tumenggung Panji Condronegoro dengan istananya di sebuah bangunan yang sekarang menjadi kantor Pos Besar Surabaya. Sedangkan Kadipaten Kanoman dengan bupati Raden Tumenggung Joyodirono I beristana di Gentengkali yang kemudian menjadi Taman Budaya Jatim sekarang ini.

Pertanyaannya, apakah penetapan Kadipaten Kanoman itu membangun gedung baru ataukah menempati sebuah bangunan yang sudah ada? Jika kemungkinan kedua, maka berarti secara fisik gedung itu sudah ada sebelumnya yang entah sejak tahun berapa dbangun. Tanpa kejelasan fakta ini, belum bisa ditemukan kapan bangunan Taman Budaya yang sekarang ini dibangun.

Sebagai referensi bahwa sampai awal tahun 1709 penguasa tunggal kadipaten Soerabaia adalah Kyai Adipati Jangrono II yang dibunuh tahun itu juga di Kartosura. Pemecahan dua wilayah Surabaya menjadi Kadipaten Kasepuhan dan Kanoman itu juga merupakan siasat Kompeni agar kekuatan Soerabaia pecah. Namun siasat ini gagal karena kedua bersaudara yang memimpin kedua kadipaten itu bersatu melawan Kompeni meski dapat dipadamkan tahun 1723. Tetapi kekuasaan resmi kerajaan Soerabaia selama 375 tahun akhirnya berakhir setelah kekuasaan Mataram beralih ke Kompeni tahun 1743, termasuk berakhirnya era dua Kadipaten di Soerabaia itu.

Bangunan asli yang ditetapkan menjadi cagar budaya dan masih bertahan hingga sekarang adalah pendopo dan gedung perkantoran di sebelah selatan pendopo, meskipun sebetulnya juga termasuk ruang kerja Kepala UPT, ruang bagian keuangan di sebelahnya dan sebuah ruangan di sebelah selatannya lagi yang dipergunakan sebagai sekretariat Lembaga Javanologi Surabaya. Kepala Taman Budaya yang pertama, Soetrisno R, pernah menempati bangunan ini sebagai rumah dinasnya.

Bagaimana nasib gedung Kadipaten Kanoman (baca: Taman Budaya Jatim sekarang ini) selama masa penjajahan Belanda, masa Jepang dan juga masa setelah Indonesia merdeka tentunya menarik untuk diulas tersendiri pada kesempatan yang lain. Yang jelas, berdasarkan surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur No. Sek/41/1171 tanggal 13 Oktober 1973 tentang penyerahan persil beserta gedung komplek dan Kabupaten, maka sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 19 Januari 1975, dilaksanakan serah terima bangunan gedung dan perumahan tersebut dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Surabaya kepada kepala perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur di Surabaya. Selanjutnya dipergunakan untuk wadah pengembangan Seni dan Budaya, dengan melalui anggaran APBN dan APBD tahun 1974-1975. Sejak saat itu kemudian dibangun Teater Terbuka dan Gedung Pertunjukan yang kemudian diberi nama Gedung Cak Durasim.

Secara kelembagaan, pada tanggal 20 Mei 1978 lahirlah Taman Budaya Jawa Timur yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Dr. Daoed Joesoef. Sebagaimana 25 Taman Budaya di seluruh Indonesia, TBJT merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) bidang kebudayaan yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kebudayaan yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Taman Budaya ialah melakukan peningkatan dan pengembangan kesenian, menyelenggarakan penyajian kesenian, melaksanakan pendokumentasian dan penginformasian seni budaya.

Kelahiran Taman Budaya ini tidak terlepas dari kebijakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam kurun 1970an. Direktur Jenderal Kebudayaan waktu itu, Prof. DR Ida Bagus Mantra, menyaksikan bahwa di banyak negara lain pusat-pusat kebudayaan dan kesenian begitu hidup dan berkembang marak. Fasilitas yang mendukungnya sedemikian bagus seperti gedung pertunjukan, galeri seni rupa, teater terbuka, dan ruangan lokakarya yang sangat terpadu. Kenyataan ini mengilhami pemikiran beliau tentang pentingnya pusat kebudayaan dan kesenian didirikan di setiap povinsi di Indonesia. Sekurangnya pusat-pusat kebudayaan itu dapat menjadi etalase bagi kekayaan ragam seni budaya daerah di negeri ini.

Taman Budaya merupakan rumah kedua bagi kreator seni budaya, karena di tempat inilah mereka dapat melakukan proses kreatif dan mengapresiasikan karya-karyanya. Bagi masyarakat, Taman Budaya memiliki arti penting karena dapat memfasilitasi mereka untuk mengenal, mengerti, mencintai dan menghargai seni budaya.

Pada mulanya TBJT bernama Taman Budaya Surabaya (TBS) dan menjadi bagian dari Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud), khususnya Bidang Kesenian. Tiga belas tahun kemudian, pada 1991 Organisasi dan Tata Kerja Taman Budaya mengalami perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0221/O/1991. Selanjutnya Taman Budaya di seluruh Indonesia ditempatkan dalam struktur Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah.

Di Jawa Timur, pada mulanya Taman Budaya berada dalam naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jawa Timur yang berkembang sebagai pusat kegiatan kesenian (Arts Center) dengan berbagai kegiatan kesenian yang sempat fenomenal. Beberapa event periodik yang terkenal antara lain Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, Gelar Akbar Seni Rupa, Festival Kresnayana, Festival Kesenian Pesisir Utara, Fesenian Kawasan Selatan dan lain-lain. TBJT juga aktif melakukan jejaring dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota dan Taman Budaya di seluruh Indonesia dalam kegiatan bersama yang secara rutin dilakukan secara bergiliran di Taman Budaya-Taman Budaya daerah.

Sampai tahun 2007, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tetang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Peraturan Pemerintah Nomor 41Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Timur serta Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 85 tahun 2008 tentang Uraian Tugas Sekretariat, Bidang, Sub Bagian dan Seksi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Dinas P dan K Jawa Timur akhirnya tidak lagi mengurusi Kebudayaan, sehingga namanya hanya menjadi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, sedangkan urusan kebudayaan berpindah ke Dinas Pariwisata Jawa Timur dengan nama baru yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur.

Ternyata, TBJT masih bertahan berada dalam naungan Dinas Pendidikan, namun karena Dinas ini tidak mengurusi kesenian umum maka TBJT difokuskan hanya mengurusi kesenian sekolah, sehingga namanya menjadi UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian (Dikbangkes) Taman Budaya. Kondisi ini berlangsung selama dua tahun sampai akhirnya lahirlah Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 76 Tahun 2010 tentang perubahan Pergub Nomor 123 Tahun 2008. Berdasarkan Pergub ini maka TBJT menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur, dan kembali mengurusi kesenian umum sebagaimana yang dilakukan sebelumnya.

Berdasarkan Pergub tersebut, maka Taman Budaya merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melaksanakan tugas teknis operasional seni dan budaya. UPT Taman Budaya dipimpin Kepala UPT yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas. UPT Taman Budaya mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas dalam pengembangan dan penyajian seni dan budaya, ketatausahaan dan pelayanan masyarakat. Satu hal lagi, dengan adanya Pergub ini maka TBJT juga bertugas mengelola Taman Krida Budaya (TKB) Jawa Timur yang berada di Malang yang sebelumnya berada di bawah naungan Dinas Pendidikan.

Namun dalam perkembangannya terjadi perubahan atas Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 76 Tahun 2010 menjadi Pergub No 28 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur. Belum genap dua tahun terjadi perubahan lagi dengan lahirnya Pergub Nomor 59 Tahun 2005. Dan ternyata, berselang satu tahun kemudian, turun lagi Pergub No 112 Tahun 2016 tentang “Nomenklatur, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.”

Perubahan penting dengan terbitnya Pergub yang baru ini, TBJT tidak lagi menangani Pengembangan Kesenian karena diambil alih oleh UPT baru yang disebut UPT Laboratorium, Pelatihan dan Pengembangan Kesenian (LPPK). Karena itu tidak ada lagi kegiatan berupa Peningkatan Profesionalisme Pembina dan Pekerja Seni, juga kegiatan berupa Peningkatan Ketrampilan Seni dan Budaya bagi Masyarakat. Seksi Pengembangan Kesenian di TBJT beralih nama menjadi Seksi Publikasi dan Dokumentasi, yang ruang lingkupnya tidak hanya untuk TBJT saja melainkan melebar dalam urusan kebudayaan di lingkungan Disbudpar Jatim. Sementara Seksi Penyajian Kesenian masih tetap bertahan.