Sarana dan Prasarana

Sejumlah sarana dan prasarana di TBJT sengaja menggunakan nama-nama tokoh seni tradisional, baik yang memang ada dalam sejarah, maupun hanya dikenal dalam cerita rakyat. Cak Durasim misalnya, betul-betul tokoh ludruk legendaris yang memang pernah ada dalam sejarah. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama gedung pertunjukan. Sedangkan beberapa fasilitas lainnya menggunakan nama tokoh dalam cerita rakyat bernama Sawunggaling, beserta nama-nama saudara, bahkan nama ibunya.

Sawunggaling adalah sebuah legenda, cerita rakyat yang dipercaya memiliki kaitan erat dengan sejarah kota Surabaya, tetapi masih diragukan sebagai fakta sejarah. Dalam kisah itu disebutkan seorang penguasa Surabaya berjuluk Adipati Jayengrana, memiliki anak bernama Sawung Rana dan Sawung Sari. Kedua bersaudara yang lebih suka mengadu ayam ini suatu ketika harus berhadapan dengan anak desa bernama Jaka Berek. Belakangan kemudian diketahui bahwa Jaka Berek adalah juga saudara mereka sendiri lain ibu, yaitu Dewi Sangkrah. Setelah Jaka Berek menjadi bagian keluarga Tumenggungan, namanya diubah menjadi Sawunggaling. Pilihan nama Sawunggaling (dan keluarganya) menjadi nama fasilitas di TBJT setidaknya untuk menandai bahwa di kompleks ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kadipaten “Soerabaia” meski bisa jadi bukan masa Jayengrana dan Sawunggaling.

Berikut ini adalah deskripsi fasilitas yang ada di TBJT dan asal muasal namanya:

Gedung Cak Durasim. Ruang pertunjukan dengan panggung proscenium mampu menampung 600 kursi, termasuk yang di balkon. Luas bangunan keseluruhan 29,5 x 47,5 meter, termasuk lobby, sudah pernah direnovasi menjadi lebih baik. Tersedia seperangkat lampu yang lumayan lengkap untuk pertunjukan. Gedung tertutup berpendingin udara (AC) ini cocok untuk pertunjukan kesenian modern dan tradisi atau acara yang membutuhkan eksklusivitas. Gedung Cak Durasim dibangun tak lama setelah TBJT didirikan.

Perihal nama Cak Durasim itu sendiri, dikisahkan pada tahun 1930 Cak Gondo Durasim (demikian nama lengkapnya) adalah seniman yang berjuang melalui jalur kesenian, khususnya seni pertunjukan ludruk yang merupakan ciri khas Jawa Timur. Cak Durasim berada pada masa-masa perjuangan tokoh-tokoh nasional seperti Dokter Soetomo. Bahkan Pak Tom (panggilannya) yang mendorong Cak Durasim mendirikan grup ludruk. Melalui grup ludruk bernama “Alap-alap” Cak Durasim dan teman-temannya menyampaikan pesan-pesan perjuangan kepada rakyat. Legenda rakyat Surabaya yang bertema kepahlawanan banyak dipentaskan oleh Cak Durasim. Juga dialog-dialog dalam dagelan serta materi kidungan. Bahkan gambaran tari Remo itu sendiri adalah ekspresi kepahlawanan.

Sampai kemudian pada masa penjajahan Jepang, terjadilah peristiwa yang menghebohkan, yaitu Cak Durasim ditangkap dan disiksa oleh Polisi Rahasia pemerintah jajahan Jepang gara-gara parikannya (pantun) yang kemudian terkenal itu: Pegupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro (Pegupon rumah burung dara/merpati, ikut Nippon/Jepang tambah sengsara). Pada Tahun 1944 Cak Durasim menghembuskan nafasnya dalam tahanan, kemudian dimakamkan di pemakaman Tembok Surabaya. Patung setengah badan Cak Durasim kini dibuat dan dipajang di depan gedung pertunjukan Cak Durasim, di kompleks Taman Budaya Jawa Timur.

Pendopo Jayengrana. Bangunan seluas 400 meter persegi inilah yang merupakan cagar budaya karena didirikan tahun 1915 sebagai bagian dari gedung pemerintahan Kabupaten “Soerabaia”. Ketika masih menjadi kadipaten kanoman, pendopo yang merupakan bagian dari gedung utama ini, sering dijadikan tempat bertukar pikiran, diskusi hingga menyelesaikan segala permasalahan. Disangga 36 pilar, tidak ada perubahan apapun secara fisik hingga sekarang. Dalam kesehariannya pendopo ini digunakan untuk latihan tari, dan sering digunakan untuk pergelaran kesenian out door lantaran dapat ditonton hingga ke luar areal pendopo, bahkan dari jalan raya sekalipun.

Jayengrana adalah nama Adipati Surabaya. Dikisahkan, sebagai kepala pemerintahan ia sering melakukan perjalanan keliling, termasuk pergi berburu ke hutan. Sampai suatu ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis yang ditemuinya tinggal di sebuah gubuk di hutan yang sekarang bernama Wiyung. Keintiman sang adipati dengan gadis itu mendapat restu ayah si gadis sampai kemudian lahir seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Joko Berek dan kemudian berganti menjadi Sawunggaling.

Ruang Sawunggaling. Ruang tengah dari gedung utama yang merupakan cagar budaya ini merupakan penghubung beberapa ruang di sekitarnya, diantaranya Perpustakaan, Ruang Rapat, Ruang Transit tamu VIP, ruang untuk jamuan konsumsi dan sebagainya. Ruangan seluas 6,5 x 17,5 meter ini sering digunakan sebagai pertemuan atau diskusi skala menengah.

Sawunggaling adalah nama tokoh cerita rakyat, putera penguasa Surabaya bernama Adipati Jayengrana. Tetapi sebagai anak yang bukan lahir dari permaisuri, Adipati Jayengrana melarang Sawunggaling dan keluarganya ke wilayah keraton. Suatu hari Adipati mengalami kesulitan untuk menetapkan seorang Tumenggung untuk mendampinginya. Adipati Jayengrana yang juga punya hobi sabung ayam itu lantas menyelenggarakan pertandingan sabung ayam terbuka. Hadiahnya, kepada pemilik ayam jago yang menang dan dapat mengalahkan ayam jago sang Adipati, akan dinobatkan sebagai Tumenggung.

Sawunggaling yang mendengar ada pertandingan sabung ayam itu, minta izin kepada ibunya untuk ikut pertandingan sabung ayam di alun-alun keraton Surabaya. Ternyata dalam pertarungan itu, ayam jago Sawunggaling berhasil mengalahkan ayam jago Sawung Rono, sebagai representasi ayahnya. Sesuai dengan janji sang Adipati, maka kemudian dinobatkanlah Sawunggaling menjadi Tumenggung di keraton Surabaya, tinggal di Katemanggungan bersama dengan ibunya.

Warga desa Lidah Wetan Kecamatan Lakarsantri, Surabaya Barat, hingga sekarang ini masih percaya bahwa Sawunggaling memang betul-betul pernah ada dalam sejarah. Terdapat sebuah makam keluarga Sawunggaling yang masih terawat dengan baik. Di komplek pemakaman itu terdapat lima makam, yakni:

Pertama: makam kakeknya bernama Wangsadrana alias Raden Karyosentono.

Kedua: makam neneknya Mbah Buyut Suruh.

Ketiga: makam ibunya Raden Ayu Dewi Sangkrah.

Keempat: makam Raden Sawunggaling

Kelima: makam Raden Ayu Pandansari.

Ruang Sawung Rana. Semula dikenal dengan nama Ruang Kaca karena satu sisinya memang berupa dinding kaca tembus pandang. Bangunan ini memang merupakan gedung relatif baru, bukan bagian dari cagar budaya. Sering digunakan untuk pertemuan dan latihan tari, kemudian difungsikan menjadi perkantoran untuk Seksi Penyajian Seni Budaya dan Seksi Publikasi Dokumentasi.

Sawung Rana adalah nama putera Adipati Jayengrana dari perkawinan dengan isteri pertama. Ketika Sawunggaling datang ke keraton hendak mengadu ayamnya maka Sawung Rana yang kemudian mengajukan ayam aduannya. Dan ternyata pertandingan sabung ayam ini dimenangkan oleh Sawunggaling.

Galeri Seni dan Kerajinan. Hanya sebuah ruangan kecil di sebelah Ruang Sawungrana. Meski namanya Galeri, namun sejak ada Galeri Prabangkara ruangan ini hanya menjadi salah satu tempat transit seniman dalam proses pergelaran seni pertunjukan.

Teater Terbuka. Sebuah panggung terbuka permanen terbuat dari semen dengan hamparan lahan untuk pertunjukan dengan konsep out door. Luas keseluruhan 30×30 meter persegi berada di samping gedung Cak Durasim, atau di antara kompleks perkantoran dan Wisma Seni.

Wisma Seni Dewi Sangkrah. Ketika TBJT baru berdiri, tempat ini menjadi kampus Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Setelah perguruan tinggi kesenian itu membangun gedung sendiri di kawasan Klampis Anom, ruang-ruang yang berada di bagian belakang kompleks TBJT ini diperuntukkan sebagai tempat penginapan atau Wisma Seni. Setelah direnovasi, kini Wisma Seni “Dewi Sangkrah” ini secara keseluruhannya mampu menampung 80 orang yang terbagi dalam 8 kamar.

Dewi Sangkrah adalah nama ibu kandung Sawunggaling. Dialah gadis desa yang tinggal di sebuah gubuk tepi hutan yang kemudian dipacari oleh Adipati Jayengrana ketika berburu. Meski demikian, meski melahirkan Sawunggaling, Dewi Sangkrah tidak diperbolehkan tinggal di keraton. Sampai akhirnya Sawunggaling memenangkan aduan ayam, barulah boyongan ke dalam lingkungan kraton.

Ruang Gamelan Sawung Sari. Bangunan baru ini menggantikan ruang gamelan di ruang paling belakang gedung perkantoran, yang sekarang difungsikan sebagai ruang kerja (sub bagian Tata Usaha). Dalam bangunan seluas 9×20 meter persegi ini terdapat seperangkat gamelan pelog-slendro serta seperangkat wayang dan kelirnya. Ruang ini juga dapat digunakan tempat latihan menjelang pergelaran wayang kulit.

Nama Sawung Sari itu sendiri adalah saudara kandung Sawung Rana, putera Adipati Jayengrana.

Perpustakaan dan Dokumentasi. Menempati sebuah ruangan dalam gedung Sawunggaling. Tersedia koleksi ribuan buku, foto dan dokumentasi video.

Musholla Al Jamal. Berada di pojok belakang Gedung Cak Durasim, berukuran 10×6 meter, menjadi sangat dibutuhkan bagi karyawan dan terutama ketika sedang ada kegiatan di TBJT. Arti kata “Jamal” itu sendiri adalah Kecantikan, keindahan, cemerlang.

Arena Terbuka. Lahan terbuka persis di depan gedung Cak Durasim ini sering digunakan menjadi arena pementasan kesenian yang membutuhkan udara terbuka dan strategis. Misalnya pergelaran Reog Ponorogo, performing arts, seni instalasi, atau pernah digunakan mendirikan panggung pertunjukan dan layar tancap.

Kantin. Bangunan baru di halaman sebelah utara Galeri Prabangkara sangat banyak membantu kalangan seniman pengisi acara ataupun pengunjung Taman Budaya mendapatkan makanan dan minuman dengan harga terjangkau.

Galeri Prabangkara. Gedung seluas 9×18 meter persegi ini merupakan bantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia, sebagai sarana untuk menyelenggarakan pameran seni rupa yang selama ini memang belum tersedia di Taman Budaya Jawa Timur. Gedung dua lantai ini terdiri dari dua ruangan di masing-masing lantainya atau keseluruhannya berjumlah 4 (empat) ruangan. Salah satu ruangan di lantai bawah digunakan sebagai ruang pameran permanen untuk pajang karya seni rupa koleksi Taman Budaya Jawa Timur. Peresmian Galeri Prabangkara dilakukan oleh Direktur Jendral Kebudayaan (Dirjen) Kemendikbud RI, Prof. Kacung Marijan, pada tanggal 10 Februari 2015.

Dinamakan Prabangkara mengambil nama sosok dalam babad Tanah Jawi, yaitu seorang pelukis dan ahli pahat zaman Majapahit yang sangat terkenal yaitu Sungging Prabangkara. Karyanya banyak dibeli dikoleksi oleh para saudagar, bangsawan dan kaum petinggi kerajaan. Sampai suatu ketika Raja Majapahit memberinya tugas untuk melukis permaisuri. Dengan penuh kesungguhan Prabangkara melaksanakan tugas berat itu sebaik-baiknya, lantaran dia tidak diberi kebebasan berhadapan laugsung dengan Permaisuri. Selama melukis Prabangkara tak makan, tak minum, bahkan tidak tidur selama beberapa hari. Prabangkara hanya mencurahkan pikirannya untuk bisa menyelesaikan lukisan sesuai keinginan sang raja. Hingga tiba saatnya seorang utusan Raja ditugaskan datang ke rumahnya hendak mengambil lukisan itu. Tapi lukisan belum total selesai, utusan Raja tidak peduli. Mungkin karena tergesa-gesa menyapukan kuas, setitik pewarna hitam jatuh di lukisan, menetes di bagian pangkal paha permaisuri dan menjadikannya setitik noda. Prabangkara tak melihatnya dan lukisan tersebut dibawa ke istana.

Ketika melihat lukisan permaisuri yang begitu mirip dengan orangnya Raja Brawijaya sangat kagum. Tetapi sesaat kemudian paras penguasa bumi Majapahit itu memerah ketika mendapati setitik noda, seperti tahi lalat di pangkal paha lukisan permaisuri. Prabangkara dituduh telah diam-diam melihat Permaisuri ketika mandi di keputren.

Prabangkara dihukum dengan cara mengerjakan sebuah patung kayu di atas sebuah layang-layang raksasa. Ketika layang-layang terbang tinggi, Raja Brawijaya memerintahkan memutus talinya sehingga Prabangkara terbang terbawa angin hingga jauh. Sementara peralatan membuat patung itu jatuh di atas wilayah bernama Jepara. Itu sebabnya Jepara kemudian banyak pematung dan penyungging yang berkualitas.