Mengenali Dongkrek dalam Kehidupan Masyarakat Penuturnya
Oleh: R. Djoko Prakosa
Dongkrek lahir atas prakarsa Raden Bei Lo Prawirodipuro/Raden Sasrawijaya Palang–lurah kepala; Hoofd Lurah–Mejayan (Caruban) sekitar tahun 1910. Dongkrek digelar sebagai ritual tolak bala, pada saat itu Mejayan sedang dilanda pageblug “esuk lara sore mati, sore lara esuk mati’. Raden Bei Lo Prawirodipuro menggali kembali ritual kuno yang sering dilakukan oleh masyarakat jawa pada umumnya, ritual mengarak balasrewu untuk mengusir gangguan roh halus agar pageblug segera hilang—kèndang—dari Mejayan (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun, 2011: 4-6; Jaecken 2011). Seni ritual yang diangkat oleh Raden Bei Lo Prawirodipuro sebenarnya telah populer tahun 1867-1902.
Arak-arakan tersebut terdiri dari empat topeng gendruwo diarak keliling desa diiringi dengan tetabuhan bedug dan korek sebagai representasi simbolik kekuatan roh jahat. Bentuk arak-arakan ini oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Dongkrek, Dongkrek diambil dari bunyi bedug dan korek bunyi “ bila ditabuh berbunyi dhung-krek-dhung-krek. Pada masa kolonial kesenian rakyat dan sejenisnya mengalami pasang surut, demikian pula pada masa rezim orde baru tradisi arak-arakan sempat dibekukan karena alasan politik dan keamanan. Pada tahun 1973, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun bersama Propinsi Jawa Timur melakukan penggalian sebagai Langkah awal pelestarian kesenian daerah (Jaecken, 2011: 3).
Dalam tradisi kelisanan asal muasal Dongkrek diekspresikan melalui tembang yang dilantunkan pada saat awal pergelaran,
Keparengo amatur//Sekar gambuh amurwani atur//Seni Dongkrek angirto Dongkrek kang asli//Ngleluri budoyo luhung//Ciptane leluhur kito…….Eyang Palang hang sakti kalangkung//Mesu broto angento Dongkrek mauwarni//Kinaryo mbrasto pageblug//Sirno tapis tanpo siso/ Suko sukur yang Agung//Poro kawulo bingah kalangkung//Eyang Palang aparing dawuh sayekti//Istinen budoyo luhung//Nirkolo suko raharjo (SK Desa No 2/DK/4/414.107.07/0/2003).
Terjemahan
Mohon ijin berceritera/tembang gambuh pembuka ceritera/seni Dongkrek sesuai dengan Dongkrek yang asli/melestarikan budaya luhur/karya leluhur kita…….eyang Palang yang sakti/ berpuasa menciptakan bentuk Dongkrek/untuk memberantas wabah/hilang dalam sekejap tanpa sisa/sangat bersyukur kapada yang agung//masyarakat sangat senang/eyang palang benar-benar memerintahkan/raihlah budaya luhur/hilang semua balak menjadi mulia makmur.
Komponen dan Citra magis
Citra magis dibangun dari kisah sejarah bahwa pertunjukan Dongkrek diawali dengan meditasi sebagai pendekatan religi Jawa dalam mengatasi masalah pageblug bahkan perkara-perkara yang dianggap sebagai sesuatu yang suci selalu diawali dengan “laku”, nglakoni, berpusa, nenepi untuk mendapatkan petunjuk dan pencerahan batin dari Tuhan Yang maha Kuasa. Nilai sakral dapat diamati dalam pemilihan waktu pada hari yang dianggap suci “jumat legi” pada tengah malam sampai menjelang fajar. Dengan waktu khusus dilakukan setahun sekali, dan berulang sebagai tradisi spiritual masyarakat yang telah berlangsung dari genarasi ke generasi.
Siklus keterulangan dengan waktu suci/sakral inilah yang menjadikan ritual Dongkrek menjadi sacral. Terdapat nilai pencerahan yang dirasakan bersama. Masyarakat seara sadar mengikatkan dirinya dengan ritual sebagai bagian dari praktek sosial menciptakan citra hidup rukun, Makmur, dan damai. Apabila ritual Dongkrek tidak dilakukan pada waktunya masyarakat akan menjadi gelisah, tidak merasa aman dan nyaman. Maka ritual Dongkrek menjadi kewajiban sosioreligi dalammkehidupan masyarakat Mejayan. Masyarakat memiliki kesapakatan simbolik bahwa komponen yang dihadirkan dalam ritual Dongkrek merupakan piranti suci dalam mengkomunikasikan hajat hidupnya kepada Sang Penguasa Alam.
Pertunjukan ritual Dongkrek menggunakan media utama berupa topeng, yang terbagi menjadi tiga kelompok bentuk topeng. Yang pertama yaitu topeng Genderewo diposisikan sebagai figure antagonis pembawa wabah, pageblug, yang ke dua figure masyarakat yang diekspresikan dengan topeng Roro Ayu dan Roro Perot, dan yang ketiga topeng palang tokoh yang diekspresikan melalui figure kakek sakti.
Topeng gendruwo terdiri dari topeng empat warna, 1) Topeng Genderuwo berwajah merah Merah, 2) Genderuwo berwajah hitam 3) Genderuwo berwajah Putih Makna 4) Genderuwo berwajah Kuning. Warna merah, hitam, putih, dan kuning merupakan warna primer, secara memiliki tautan dengan simbol-simbol dalam peradapan murni. Dalam tradisi kelisanan masyarakat jawa empat warna ini terkait dengan representasi simbolik nafsu yang ada dalam diri manusia. Merah amarah hitam aluwamah, kuning supiyah, putih mutmainah. Pola simbolik ini ternyata juga diyakini oleh masyarakat penutur dan pewaris aktif tradisi pertunjukan Dongkrek.
Melihat rupa topeng mengingatkan kita pada topeng kala suatu figure berwajah seram, bertaring. Figure rupa ini dapat juga diamati pada barongan, kucingan, dan cepaplok yang pada prinsipnya terhubung dengan konsep buta bethara kala. Suatu figure yang diprasangkai sebagai sumber kekuatan jahat dan penimbul malapetaka. Citra magis topeng gendruwo dapat juga dilihat pada figure topeng thethek melek yang melekat pada pertunjukan kuda kepang. Pola estetika yang melekat pada tarian gendruwo merupakan pola empat yang terkait dengan konsep kosmik keblat papat lima pancer, dalam wacana retorika kebatinan jawa ego merupakan pancer dari keempat nafsu. Topeng-topeng ini pada prinsipnya terkait dengan pandangan masyarakat jawa tentang kesadaran kosmik atas ego dan nafsu yang menyertainya, kesadaran tentang keblat papat empat arah mata angin dan ego sebagai pusatnya.
Kesan tersebut juga nampak dalam figure Topeng Roro Ayu dan topeng Roro Perot oleh beberapa peneliti dipersepsikan sebagai gambaran klas sosial masyarakat, ada bendara;tuan dan batur;panakawan yang selalu digambarkan dalam ekspresi halus cantik rupawan dan buruk rupa. Oposisi binare nampak tegas dalam pola simbolik kedua figure topeng ini, dua hal yang berlawanan tetapi selalu dipasangkan (yakob Sumardjo 2006:49).
Topeng Kakek sakti, sebagai sentra lebih mencerminkan yang pencari pencerahan. Menandakan kematangan dunia batin suatu ego yang telah sempurna menemukan “aku” yang sejati sehingga memiliki shyakti menjadi penunjuk jalan mencapai pencerahan hidup bagi lingkungan masyarakatnya. Dari figure-figur topeng yang ada dalam pertunjukan ritual Dongkrek dapat digambarkan pola simbolik penguasaan kesadaran tentang kosmik dalam masyarakat penuturnya. Figure yang menjadi poros/pancer dalam ritual tolak balak dalam Dongkrek adalak kakek sakti, ordinat kosmik horizontal dan vertikalnya dua topeng roro ayu dan roro perot. Ordinat vertical rara ayu dan rara perot simbol dunia alus dan kasar, pada ordinat horizontal simbol baik dan buruk.
Empat topeng gendruwo dalam konteks ini merupakan agen pembentuk terjadinya dinamika kosmik, gangguan kenyamanan, yang akan selalu muncul dalam siklus kosmik dalam putaran waktu. Pola simbolik drama ritual tolak bala, pengusiran roh jahat. Empat gendruwo dipersepsikan sebagai buta kala representasi dari dinamika ruang dan waktu.
Musik
Intrumen musik dalam pertunjukan Dongkrek terdiri dari korek, bedhug, beri, gong, kentongan, dan kenong. Musik dimainkan untuk mengiringi ritual arak-arakan tolak bala dan pengusiran roh-roh jahat yang mengganggu. Semua alat musik dimainkan dengan pola tiga nada secara beraturan, pola tabuhan itu diulang-ulang sehingga menghasilkan tempo yang monoton. Pengulangan musik yang terus menerus menimbulkan daya magis.
Pola musikal yang digunakan pada pertunjukan ritual Dongkrek memiliki kemiripan dengan pola musikal yang digunakan pada bentuk-bentuk sajian musim ritual masyarakar jawa pada umumnya. Musik merespon gerhana bulan, gerhana matahari, juga musik yang digunakan untuk menemukan kembali orang hilang yang diculik oleh lelembut/kalap pada dunia lain “alaming lelembut” Instrument kentongan, alat dapur, maupun bahan lainnya yang dapat menjadi tetabuhan magis dihadirkan,untuk mengatasi masalah secara simbolik.
1). Alat musik kentongan pada pementasan kesenian Dongkrek biasanya menggunakan 3 buah, Dimaksudkan agar masyarakat berkumpul bila mendengar “titir”. Titir adalah sebutan dari kata lain kentongan yang dibunyikan. Adapun karakter bunyi yang ditimbulkan dari kentongan adalah thok, thok, thok.
2) Kenong, memiliki sentuhan emosioanl hening. Dalam tradisi masyarakat jawa terdapat ungkapan tentang instrument kenong yang mencerminkan keheningan, meditasi suci. Istilah heneng, hening, hnong, mencerminkan laku meditasi mendekatkan diri pada sang pencipta alam semesta.
3) Bedug, memiliki sentuhan emosional tegas. Bedug terkait dengan penanda waktu tengah hari saat matahari tepat di atas kepala “bedug tengange”. Waktu sungsang penuh marabahaya. Bunyi bedug oleh Sebagian masyarakat mempersepsikan, manusia harus jadug selaras dengan kesaktian Palang Mejayan sebagai pendekar pilih tanding, “ora tedas tanpa paluning pande.” Instrument bedug kesenian Dongkrek hanya digunakan sebuah bedug, mengisyaraikan “tanpa tandhing”.
4) Beri, instrument musik yang menghasilkan bunyi dengan sentuhan emosional mbawana, bergema dipersepsikan oleh masyarakat penuturnya sebagai simbol nilai dan sikap berbdudi bawa leksana. Bunyi Beri “jeeeerr” ditafsirkan sebagai anjuran agar tetap membaur dengan seluruh lapisan masyarakat, manjing ajur ajer.
5) Korek, pada dasarnya sebuah istilah untuk menyebut sapu lidi yang biasa digunakan menyapu halaman, kebun, dan lain-lain. Korek juga disebut dengan “Sapu Gerang”, dalam masyarakat jawa pada umumnya dipercayai dapat mengusir gangguan roh halus, dan menolak bala.
6) Gong Pamungkas, merupakan instrument gamelan yang bisa disebut gong suwukan. Masyarakat memaknai gong pamungkas sebagai simbol kesuksesan “purna” mencapai kemenangan yang gilang gemilang.
Prosesi: berkeliling desa tengah malam
Prosesi dalam ritual tolak bala diawali dengan selamat menjelang tengah malam. Prosesi, penanaman tumbal pada empat penjuru wilayah desa. prosesi bergerak dari satu titik mengelilingi desa. dalam beberapa penuturan pemeran gendruwo tidak mengenakan pakaian. Tradisi wuda;nglegena dalam kepercayaan masyarakat jawa digunakan untuk mengusir makhluk halus, hal ini terkait dengan bagian-bagian tubuh manusia yang dianggap sacral;suci mampu menjadi “pamunah” terhadap penyakit, gangguan yang ditimbulkan oleh makhluk halus. Misalnya kalau ada bayi, anak kecil yang rewel maka di “gembok” oleh ibunya atau oleh neneknya, atau diusap dengan pipeh, ujung kain ibunya atau neneknya.
Pembuatan topeng Dongkrek diawali dengan puasa untuk memberi “isi;sotren”, daya illahiah agar mampu mengusir ruh jahat yang menimbulkan pageblug. Tradisi puasa dan nglakoni sebelum melakukan kegiatan “wigati” merupakan bagian penting dari pencitraan setiap laku, karya, baik yang bersifat materiil maupun yang imateriil. Maka sesaji, slametan sebagai bentuk media utama dalam komunikasi religius dengan penguasa alam. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa rapal donga tidak memiliki pengaruh apa-apa kalau tidak dilandasi dengan laku puasa, maupun laku spiritual yang lainnya. Dalam tradisi religi masyarakat semua laku harus diawali dengan sesuci, sesaji, puasa, ndonga, slametan, dan sedhekah.Tradisi spiritual tersebut juga melekat dalam prosesi laku nulak pageblug, semua pelaku merupakan orang-orang yang “terpilih” telah terbiasa laku tirakat dan menjaga kesucian batinnya.
Prosesi diawali pada tengah malam Jum’at Legi tepat tengah malam dengan iringan mantra dan puji-pujian. Rombongan prosesi ritual bergerak dari pendopo dalem palangan, berjalan mengitari pelosok desa Mejayan, sampai menjelang pagi. Untuk mengusir pageblug empat pria pemeran gendruwo harus memenuhi sarat magis “nglegena”. Arak-arak ritual diterangi dengan cahaya obor, menebar aroma wangi dupa, pusaka desa, membaca mantra terus menerus selama arakan ritual mengitari desa, dan meletakkan sesaji pada setiap ujung desa, perempatan jalan.
Arakan ritual ini mencitrakan pengenalan kembali kosmik desa secara fisik dan psikis, mletakkan kembali hubungan sakral antara manusia, alam, dan pencipta alam. Gerakan-gerakan yang dilakukan, bunyi tetabuhan musik pada malam hari memberikan sentuhan emosi mistik dan menimbulkan daya magis. Gerakan dan tempo musik yang diulang-ulang secara terus menerus menimbulkan intensitas emosi religi semakin kuat. Intesitas ini yang menimbulkan daya illahiah dapat kembali memberikan kesucian alam “pembebasan diri” dari pageblug. Doa, mantra menjadi sarana turunnya pencerahan berupa berkah suci kembalinya suasana desa rukun, makmur dan damai.
Dongkrek: Pengkayaan Nilai
Terdapat nilai ideologi dalam ritual Dongkrek terkait dengan hajat hidup masyarakat Mejayan. Sisi cognitive interest ritual Dongkrek menjadi media pencerahan hidup secara religious yang dilandasi oleh nilai dan sikap masyarakat. Terdapat sistem nilai religi dan keagamaan yang mengatur masyarakat yang memposisikan Ritual Dongkrek sebagai ritual yang bersifat sacral.
Sisi lain hadirnya pertunjukan ritual selalu disertai dengan bentuk indah, bentuk menyenangkan yang memberikan kemungkinan masyarakat untuk menggali dan mengembangkan Dongkrek melengkapi hajat hidup masyarakat dari sisi nilai yang lain untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih praktis. Faktor practise interest membuka peluang Dongkrek maknai sebagai bentuk tontonan yang dapat menghasilkan uang, dapat memberikan kesejahteraan masyarakat dari ruang sosial yang lebih praktis.
Sudah barang tentu berbanding terbalik dengan sifat sakral ketika ritual, Dongkrek sebagai tontonan lebih bersifat profan. Masyarakat akn segera menentukan kapan Dongkrek hadir sebagai ritual yang sacral untuk membangun kehidupan rohani bersama, dan kapan Dongkrek diposisikan sebagai tontonan pada ruang sosial yang bersifat profan. Dorongan ekonomi, politik menuntun masyarakat melakukan kreasi pengayaan nilai Dongkrek.
Secara politis pemerintah mendorong Dongkrek menjadi obyek daya Tarik wisata yang mengidentitas. Dongkrek sebagai kemasan pertunjukan tidak lagi hanya dimiliki oleh masyarakat Mejayan, tetapi kemudian Dongkrek menjadi seluruh masyarakat Madiun. Festival Dongkrek mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok pertunjukan Dongkrek, maka muncul tujuan-tujuan komersial yang dilandasi oleh kepentingan wisata, dan pertunjukan sosial lainnya.Sekarang atau mungkin ke depan akan lahir kemasan-kemasan pertunjukan Dongkrek untuk melayani hajat sosial masyarakat.
Bahkan untuk mencapai bangunan politik identitas Dongkrek kemudian memasuki Lembaga Pendidikan sebagai salah satu bentuk penguatan karakter local. Banyak sekolahan yang telah memiliki kelompok pertunjukan Dongkrek. Tumbuhnya kelompok-kelompok Dongkrek menumbuhkan ekonomi kreatif kerakyatan untuk memproduk perangkat pertunjukan dongkrek.
DAFTAR PUSTAKA :
*Surat Keputusan Bupati Madiun Nomor: 188.45/677/KPTS/402.031/2009 Tentang Penetapan Kesenian Dongkrek sebagai Kesenian Khas dan aset Wisata Budaya Kabupaten Madiun. SK Desa No 2/DK/4/414.107.07/0/2003 tentang Alur Cerita Dongkrek Ritual Desa Menjayan.
*Alfiati 2017 “Dongkrek Madiun: Antara Seni, Tradisi dan Religi”, Vol. 4, An-Nuha Vol. 4, No. 2, Desember 2017
*Apris Triatmiko. 2005. “Studi tentang Topeng pada Kesenian Dongkrek di Desa Mejayan, Caruban Kabupaten Madiun. Skripsi. Program Studi Pendidikan Seni Rupa, Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra dan Desain, Universitas Negeri Malang.
*Faradina Dara Astria. 2011. “Makna Simbolik Dalam Kesenian Dongkrek Sebagai Kesenian Ritual”. Skripsi. Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Ismono. 2010. Seni Dongkrek Kesenian Khas Kabupaten Madiun. Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun.
*Jaecken MP. 2011. “Seni Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun Tahun 1965 – 1981”. Hasil penelitian Metodologi Sejarah, Jurusan Ilmu Sejarah FSSR UNS.
*Jakob Suamardjo.2006. Estetika paradog. Bandung: Sunan ambu Press
*Komala, L R. 2003. “Peranan Nilai-nilai Tradisional dalam Kehidupan Modern dan Integritas Bangsa”, naskah pidato pembukaan Simposium Nasional „Peranan Nilai-nilai Tradisional dalam Kehidupan Modern dan Integrasi Bangsa‟, tanggal 13 Januari di Surakarta (kerjasama Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara dan Bappenas).
*Oka A. Yoeti. 1982. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa.
*Pigeaud. 1938. Javaanse Volksvertoningen. Batavia: Volkslectuure
*Puspari. 1997. “Penelitian Pengembangan Kesenian Tradisional”. Laporan Akhir. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Salah Wahab. 1992. Manajemen Kepariwisataan (Terj. Frans Gomang). Jakarta: Pradnya Paramita.
*Soedarsono. 1985. Seni Petunjukan: Dari Prespektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
*Warto, dkk. 1999. “Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Sukoharjo: Peluang dan Kendalanya”. Surakarta: laporan Penelitian Universitas Negeri Sebelas Maret
kalo saya baca referensinya sk desa th 2003 dari alur cerita dongkrek nya ya.. tp saya ada referensi yg di tulis pegiat pada tahun 2002,, alur ceritanya sedikit berbeda