TOPENG, PENCIPTAAN DAN TRANSFORMASI
*)Oleh : Agus Sukamto
Topeng salah satu hasil dari proses penciptaan seni rupa merupakan karya yang didalamnya mengandung nilai-nilai lokalitas yang seharusnya menjadi bagian dari perjalanan seni rupa di Indonesia khususnya seni rupa yang berangkat dari cerita-cerita sejarah masa lalu. Sebagai ingatan bagaimana keberadaan topeng-topeng yang ada di ranah kebudayaan Jawa Timur bisa menimbulkan semangat baru untuk terus dilakukan kajian dan pengembangan berhubungan dengan jaman yang terus berkembang. Seni Rupa Tradisi bisa menjadi inspirasi baik secarak praktek maupun kajian wacana untuk meneruskan langkah-langkah atau proses penciptaan yang berkelanjutan, kalau mengamati baik secara terlibat langsung maupun melalui literatur yang sudah banyak baik melalui jurnal ilmiah, buku, dan media berbasis online, terbaca betapa setiap penciptaan topeng yang dilakukan oleh pencipta mempunyai langkah-langkah atau caranya masing-masing. Sepertinya siklus kehidupan manusia di dunia ini menjadi pijakan untuk menyampaikan pesan komunikasi lewat penyamaran-penyamaran yang berwujud topeng dengan segala karakternya. Ada dorongan kekuatan yang tak nampak ketika topeng yang akan dipakai seseorang untuk mengekspresikan lewat sebuah pertunjukan. Karena tenaga kekuasaan yang tak nampak itu mampu menggerakan sesuatu yang luar biasa, tentu ia sendiri harus dapat bergerak. Tenaga kekuasaan yang tak nampak demikian dengan istilah kita sebut roh, atau geest ( Belanda), Geist (Jerman), atau spirit ( Inggris ). Dan Topeng adalah benda mati yang tidak bergerak. Seperti dituliskan pengarang yang menekuni sosiologi dan filosofi yaitu Duyvendak, Pada pesta keagamaan yang besar, maka tampilah roh-roh itu untuk menampakan diri ditengah-tengah manusia. Untuk itu digunakan jasa seorang laki-laki yang menyamar sebagai roh yang dikhayalkan itu, dan tampil sembari menari-nari. Orang laki-laki yang menyamar sebagai roh demikian disebut “ syaman”, atau semacam “prewangan” ( medium) yang melakukan perannya secara tidak sadar ( in trance ). Penyamarannya dengan mengenakan topeng yang sudah dipersiapan, mungkin ditambah dengan atribut yang lainnya, yang hakikatnya untuk menambah kesan menakutkan, kesan wibawa, kesan supranatural. Wujud topeng itu sendiri pun sudah memerikan kesan demikian. ( R. Sutrisno. 1992 : 11-12 ).
Untuk mewujudkan kesan-kesan rupa dalam topeng perlu elemen-elemen seni rupa seperti, garis, warna, hiasan atau ornamen yang membentuk karakter-karakter tertentu berdasarkan apa yang akan diwujudkan dalam pembuatannya. Dari tulisan diatas bisa digambarkan bagaimana proses penciptaan atau pembuatan topeng untuk tujuan tertentu bukan sebagai souvenir, mempunyai siklus yang melibatkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, alam, kekuatan yang tak nampak, dan doa-doa.
Mengamati proses pembuatan topeng baik secara langsung maupun melalui tulisan-tulisan dari hasil kajian penelitian ada tahapan proses penciptaan berdasarkan tujuannya, untuk souvenir, tujuan ritual maupun untuk pertunjukan tertentu. Topeng yang dibuat untuk keperluan pertunjukan dan ritual tertentu memerlukan proses tersendiri oleh pembuatnya ada laku terhadap diri sang pembuat, dengan cara berpuasa, sesirik atau menghindari makanan yang enak seperti daging, pantang makan garam, dan gula gula. Kemudian tirakat, kumkum di sungai, dan napak tilas tempat-tempat tertentu yang dianggap bisa memberikan daya kekuatan. Proses laku yang dilakukan Rasimun salah satu perajin topeng dari Desa Gelagahdowo, Tumpang, menjelaskan untuk membuat topeng, memang harus melakukan puasa, apakah, puasa mutih atau puasa ngebleng (tidak makan sehari penuh). Tetapi yang penting adalah mengikrarkan niat untuk dapat mendatangkan roh dari tokoh yang dikehendaki. Jika permintaan itu dikabulkan, topeng itu akan memiliki tuah yang besar. (https://intranet.batik.go.id/file_lampiran/media/1.)
Kemudian proses pemilihan bahan dilakukan juga dengan ritual tertentu berdasarkan tradisi penciptaan turun-temurun yang sudah ada atau tafsir kreatifitas yang dilakukan oleh pembuat topeng. Seperti apa yang dikatakan oleh Handoyo” prosesi pemilihan kayu diawali dengan menancapkan pasak bambu ke dalam suatu pohon yang dikehendaki akan dibuat bahan membuat topeng. “Pokoknya harus menancap, jadi sore kita tancapkan, besok pagi dilihat, juga biasanya ditambah sesaji. Bila esok pagi pasak bambu masih menancap berarti pohon tersebut bisa digunakan, namun sebaliknya bila pasak bambu terlepas, artinya kayu dari pohon tersebut tidak bisa digunakan sebagai bahan pembuatan topeng. “Kami percaya, tumbuh-tumbuhan pun ada yang menempati, sehingga kita tidak boleh memaksa,” katanya. Usai proses awal, dilanjutkan dengan pemilihan hari untuk proses pembuatan. Bila sudah ditentukan hari baiknya, langsung pembuatan topeng dilakukan. “Setelah pembuatan topeng selesai, baru topeng yang baru jadi ini dibawa ke punden, kemudian nanti juga ada sesaji yang kita sampaikan kepada leluhur, bahwa topeng baru ini akan dipakai untuk menari, sehingga mereka, para leluhur ini kalau ingin menari dengan kita, ya sudah tahu, jadi mereka (leluhur) ini tidak akan bingung,” tukas Handoyo. (https://radarmalang.id/)
Hadirnya perwujudan topeng ada bentuk, warna, garis, dan hiasan atau ornament dengan pakem tertentu atau kreatifitas kebaharuan karena keinginan untuk mengembangkan dari tradisi kekinian. Setiap topeng yang siap untuk dipakai mempunyai gaya tersendiri berdasarkan pada karakternya, Topeng Dhalang Madura, Topeng Getak Madura, Topeng Manduro Jombang, Topeng Malangan, Topeng Kaliwungu lumajang, Topeng Konah Bondowoso, Topeng Kerte Situbondo, dan topeng Jatiduwur. Topeng-topeng tersebut mempunyai bentuk dan karakter yang berbeda, dalam aspek seni rupa identifikasi melalui struktur topeng antara lain lewat bentuk ( Mata, hidung, mulut ), dan warna memberikan ungkapan sifat-sifat karakter tertentu. Dalam topeng Dhalang Madura ada Bentuk hidung dengan sebutan wali miring, bentulan, pangotan, bapangan, pesekan, terongan, dan hidung belalai. Bentuk mata ada sebutan, gagahan, kedhelen, thelengan, plelengan, pananggalan, kriyipan, kolikan. Bibir ada bentuk terkatup, sedikit terbuka, terbuka, gusen. Pada pewarnaan topeng berdasarkan pada klasifikasi perwatakan. Sedangkan pada karakter warna, setiap warna yang kita lihat memiliki kesan tertentu maupun pandangan yang dapat memicu otak, seperti ketika kita melihat warna hijau dalam benak kita membayangkan sesuatu yang segar dan sejuk. Warna dapat mempengaruhi jiwa manusia dengan kuat atau dapat mempengaruhi emosi manusia. Dalam proses pembuatan topeng ada pewarnaan yang menggunakan warna alam, tetapi sekarang cenderung menggunakan warna sintesis. Warna bisa menimbulkan suasana dan menggambarkan hati seseorang. Setiap warna mewakili karakter dari watak topeng, seperti warna merah mewakili watak jahat, angkara, dan berani. Putih melambangkan satria muda, kesucian, kekuatann maha tinggi, tenang, menandakan bersih hatinya. Hitam melambangkan bijak, kukuh, keteguhan dalam perjuangan, pengabdian.
Dari pengamatan yang saya dapatkan dalam proses penciptaan atau pembuatan topeng yang hubungannya dengan seni pertunjukan, ada proses ekologis dan spritual, ketika seniman berproses untuk mendapatkan bahan sampai menjadi sebuah topeng terjadilah hubungan manusia dengan alam, lingkungan, yang berkelanjutan. Menurut Eugene P. Odum (1963) Ekologi adalah kajian struktur dan fungsi alam, interaksi antara sesama organisme dengan lingkungannya termasuk flora, fauna, mikroorganisme dan manusia yang hidup bersama dan saling bergantung satu sama lain. Apa yang telah dilakukan para seniman pembuat topeng baik yang untuk ritual maupun seni pertunjukan ada proses Hidup, Mati, dan Hidup seperti yang dilakukan oleh Sutrisno dari Gelagahdowo, proses ketika topeng dibuat untuk pertunjukan. Dalam pemilihan bahan tidak sembarangan memilih pohon untuk ditebang tetapi dipilih yang sesuai berdasarkan prosesnya, memilih pohon yang tua, untuk ditebang, menanam kembali pohon yang muda untuk menjaga alam agar tidak punah dan lingkungan tetap terjaga dan alam tetap seimban, ada laku ritual ( ada pemilihan hari baik ) dan sebagainya. Setelah topeng jadi dibuat menari dan hidup kembali dalam sebuah pertunjukan. Dalam tulisan Robby Hidayat “ Fungsi dan proses pembuatan topeng di kabupaten Malang Jawa Timur “, menuliskan Karimun mewariskan ketrampilan kerajinan topeng pada pengrajin di desa kedungmonggo memiliki harapan bahwa, lingkungan ( pohon ) tidak diperlakukan sebagai benda tak bernyawa, asal ditebang. Bahkan penari yang menggunakan topeng kayu tidak asal dipakai. Fungsi dan proses pembuatan topeng yang dilakukan oleh Karimun adalah ritus penghormatan roh terhadap semua benda, termasuk pohon. Bahkan topeng yang telah dibuat harus diperlakukan yang layak karena didalamnya tersimpan roh-roh leluhur. ( https://intranet.batik.go.id/ )
Kesadaran seniman pembuat topeng menunjukan bahwa proses penciptaan atau pembuatan topeng tradisi merupakan kesadaran akan spritualitas, dan ekologis memahami alam agar dalam kehidupan ada keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos yang terus berlanjut dan ajeg ( continue ) dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah “ alon-alon waton kelakon “ , dalam bahasa Indonesia sepadan dengan pelan-pelan pelan-pelan asal sampai. Ajaran budaya ini menekankan pada kata “ kelakon “ atau sampai atau kepastian akan terwujud, artinya orang Jawa selalu mempunyai keyakinan tentang kepastian untuk dapat meraih sesuatu dengan tujuan rancangan dan pemikiran yang masak ( bukan pemikiran yang lamban ). Kalau kita amati dari proses pembuatan topeng di Jawa proses yang setahap-tahap dengan pelan melalui laku, memilih bahan, ritual,dan doa. Kemudian proses perubahan dari benda hidup (pohon), dibuat topeng (mati), dipakai penari (hidup ) adalah proses yang melibatkan batin dari pembuat topeng. Bahwa kalau dalam kehidupan itu ada lahir, tua, sakit, dan mati, tetapi jiwa akan terus abadi dan lahir kembali berdasarkan karmanya pada saat hidup di dunia nyata, hidup kembali menjadi manusia, pohon yang menjadi topeng dengan berbagai karakternya, binatang dan lainnya. Bahkan setelah menjadi topeng dan dipakai oleh seorang penari terjadilah perubahan pada watak sang penari.
Transformasi atau perubahan disini menggambarkan bagaimana ketika dari seorang penari yang manusia biasa bisa menjadi raja, kesatria, putri raja, orang jahat saat memakai topeng yang dipakainya. Perubahan itu terjadi apa karena topeng yang dipakai sudah mengalami proses ritual tertentu sebelum pertunjukan atau memang dalam pemilihan bahan pembuat topeng memilih pohon akan mendapatkan “ tuah “ kesaktian atau pengaruh pada roh-roh penghuni pohon, dan topeng merupakan interpresentasi dari roh-roh masa lalu seperti dewa-dewa, kesatria, dan lainnya. Atau topeng sudah “ di sotrenkan “ atau di satukan dengan roh-roh penghuni petilasan tertentu. Kekuatan yang tak nampak bisa jadi yang mendorong perubahan pada penari. Perubahan itu terjadi pertama, penari tidak memakai topeng sedangkan pada wujud kedua penari menggunakan topeng yang menutupi wajahnya. Saat terjadi perubahan wujud itu, penonton dapat menyaksikan proses perubahan atau transformasi. Dengan kata lain, proses penampakan ke penyembunyian diri dapat dikuti oleh penonton, yakni proses dari ketiadaan ke perwujudan topeng dan ke-ada-an ke ketiadaan wajah penari setelah topeng dipakai, terjadilah penyatuan atau persenyawaan dari keduanya, yakni topeng dan penarinya. (Endo Suanda, 2005 : 170 ). Saya sebagai penonton terkagum-kagum saat melihat perubahan dari seorang penari yang biasa menjadi seorang raja atau yang lainnya. Semua berubah karakter suara, gerak, nampak berwibawa diatas panggung pertunjukan, pertunjukan dengan segala struktur yang ada telah mengubah dunia kini pada masa lalu yang tak terbayangkan sebelumnya seakan roh-roh atau jiwa-jiwa yang hilang itu hadir kembali melalui para penari dan suasana yang dibangun selama pertunjukan.
Simpulan, Dalam proses pembuatan topeng ternyata melalui berbagai tahapan, ada yang melalui proses laku, ritual, sotren, dan doa. Dalam aspek seni rupa, bentuk, warna, garis, menentukan karakter dari topeng. Keberadaan topeng didaerah mempunyai visualisasi berdasarkan budaya lokalitasnya. Adanya konsep ekologis, dan spiritual dalam proses perwujudan topeng. Adanya transformasi atau perubahan dalam sebuah pertunjukan yang berhubungan dengan penari topeng. Topeng sebagai kekayaan budaya nusantara, dan didalamnya terdapat ilmu pengetahuan tentang estetika nusantara seharusnya terus dikembangkan dan dikaji sebagai bagian dari perkembangan seni rupa tradisi di Indonesia.
Daftar Pustaka:
- Bouvier, Helen, ( 2002). Seni music dan pertunjukan dalam masyarakat Madura. Jakarta : Yayasan Obor.
- Dharsono, ( 2007 ). Estetika. Bandung : Rekayasa Sain.
- ————-, (1993). Estetika, Kajian dasar estetika seni rupa. Karya ilmiah Surakarta : Proyek pengembangan dan penelitian STSI
- Dickie,gearge T, (1976 ). Aestetic, The Incyclopedia, New York.
- Holt, Claire. ( 1967 ). Art in Indonesia : Continuities and Change. Itacha New York : Cornell University Press.
- Hadiwijono, Harun, (tt), Kebatinan Jawa dalam Abad 19, Jakarta : BPK Mulya, 25.
- Marianto, M. Dwi, Sunarto, Rosydi Imron. ( 2000 ). Tanda-tanda dalam kebudayaan kontemporer. Yogya : Tiara Wacana
- Muldel, Niel. ( 1984 ). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
- Ronggowarsito, Sudibjo. ( 1979 ). Serat Witaradya 3. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
- R. Soetrisno. ( 1992 ). Topeng Dhalang Madura. Surabaya : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jatim
- Supriyanto, Henri. Pramono Adi, Soleh. M. ( 1997 ). Drama Tari Wayang Topeng. Malang : Padepokan Seni Mangun Dharma.
Refrensi Media Online :
- https://intranet.batik.go.id/file_lampiran/media/1._FUNGSI_DAN_PROSES_PEMBUATAN_TOPENG_DI_KABUPATEN_MALANG_JAWA_TIMUR_-_Robbi_Hidajat_.pdf
- https://radarmalang.id/mengenal-budaya-uger-tata-cara-pembuatan-topeng-malangan-yang-sarat-hal-mistis/
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/topeng-malangan/
_____________________________________________________________________________________________________________
*)Agus Sukamto, di kalangan perupa Surabaya lebih dikenal dengan julukan Agus Koecink. Agus “Koecink” Sukamto lahir pada 31 Desember 1967 di Tulungagung, Jawa Timur. Pada tahun 1987, ia mendapat pendidikan di Sekolah Tinggi Wilwatikta Surabaya, Jurusan Seni Rupa. Lalu pada tahun 2005-2007 menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Jurusan Pengkajian Seni, Institut Seni Indonesia Surakarta. Di tahun 1997 Agus mulai mengadakan pameran tunggal pertamanya dengan judul “Engkau atau aku yang kalah” di Pusat Kebudayaan Amerika, Surabaya. Sedangkan untuk pameran bersama, Agus pertama kali berpastisipasi pada tahun 2003 dalam pameran “CP Open Biennale 2003” di Galeri Nasional Jakarta. Di tahun 2005, Agus melakukan pameran di luar negeri pertama dengan judul “Expressions of love between Indonesia and Australia” Di Byron Bay Australia. Di tahun 2015, karya Agus juga berpartisipasi dalam LE BIENNIALE JATIM 2015 di Balai Pemuda Surabaya. Awalnya Agus berkarya melalui media lukisan, tapi dalam perkembangannya, Agus juga menggunakan medium benda tiga dimensi. Agus pernah menjadi Ketua Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Dosen LB Visual Communication Design, Universitas Ciputra, dan anggota dari Staff Ahli Branding Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya. Pada periode 2011-2012, Agus mendapat kesempatan untuk menjalani residensi di Museum Sejarah Alam Rouen, Perancis. Dalam kesempatan itu, Agus dipercaya untuk mendesain Ruang Asia di museum tersebut. Selain sebagai seorang seniman, Agus juga merupakan seorang kurator. Dalam salah satu pameran yang dikuratorinya yaitu “Woman Artists Carnival” (Surabaya, 2010), Agus menghantarkan karya-karya para perempuan. Menurutnya, karya dari para seniman perempuan memiliki keunikan karena terkait dengan dunia para perempuan. Dari karya-karya tersebut terdapat unsur kehalusan dan tampilan warna yang tidak terkesan memberontak. Bapak dua anak perempuan ini sampai sekarang juga masih aktif sebagai kurator seni rupa, sering ditunjuk baik oleh pemerintah maupun swasta untuk mengkuratori penyelenggaraan pameran seni rupa baik di Surabaya maupun Jawa Timur.
Bang, kenapa topeng belum diajukan sebagai warisan budaya benda. Di Lombok topeng sebagai identitas budaya dan ideologi juga ada. Belum lagi di wilayah lain seperti bali, sumatra, kalimantan dan sebaginya.