Festival Disabilitas 2024
Labelisasi sosial bagi penyandang disabilitas sering kita saksikan pada kehidupan bermasyarakat. Mereka dianggap orang tidak normal, cacat, dan layak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak normal pula. Padahal sebenarnya bisa jadi keterbatasan tertentu yang dimiliki penyandang cacat itu akan ditutup dengan kelebihan dalam persoalan yang lain. Ukuran normal dan tidak normal menjadi sesuatu yang kadang kala relatif, bahkan tidak jelas. Sering kali hanya yang fisik biologis dari ketidaklengkapan organ tubuh.

Sebaliknya mereka yang secara fisik-biologis lengkap, dengan penglihatan lengkap, pendengaran lengkap, tangan dan jari yang lengkap, kaki juga lengkap, dianggap sebagai orang normal meski ada kemungkinan memunyai kecacatan moral, mentalitasnya lemah, mudah bersikap egois, tidak adil, cenderung mau memperbudak orang lain, menyalahgunakan kekuasaan, dan sikap perilaku negatif yang lainya, tetap saja dianggap sebagai seorang yang normal. Dalam konteks inilah lalu menjadi pertanyaan benarkah ukuran di dalam memberikan penilaian terhadap orang lain sebagai tidak normal atau cacat tersebut sudah tepat? Ataukah sebenarnya didalamnya masih tersisa adanya parameteritas penilaian subjektif yang menyebabkan orang tidak bisa memandang secara jernih dan bersikap secara bijak.
Disebutkan Pasal 5 Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas tertanggal 19 September 2014 mengatur bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, diantaranya : Hak hidup, terbebas dari stigma negatif, privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan kepariwisataan, kesejahteraan sosial, aksesibilitas, pelayanan publik, kebencanaan, habilitasi dan rehabilitasi, konsesi, pendataan, hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarajat, berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi, dan berpindah tempat dan kewarganegaraan. Selain itu, terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan khusus.

Pasal 26 RUU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melakukan perencanaan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sehingga dengan demikian perlu adanya pembentukan mekanisme koordinasi baik di di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan penggunaan anggaran dalam pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas berjalan dengan efisien (doeltreffenheid). Pembelaan dengan melakukan sikap keberpihakan terhadap mereka yang lemah, termasuk melalui penyediaan berbagai instrumen pemenuhan kebutuhan bagi penyandang disabilitas dan untuk pemberdayaan. Untuk memenuhi hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan anggaran tersendiri melalui APBN/APBD.
Menyikapi RUU yang menjadi acuan hak-hak para penyandang disabilitas tersebut, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur selaku Unit Pelaksana Teknis di bawah Disbudpar Prov. Jatim yang menangani pekerjaan Gelar Seni di Jawa Timur, meyelenggarakan pergelaran kesenian yang dikemas dengan tajuk “Festival Disabilitas 2024”. Festival ini merupakan sebuah perayaan inklusi yang berhasil menyatukan kreativitas, semangat, dan keberagaman. Acara ini menjadi momentum istimewa bagi komunitas disabilitas untuk menunjukkan bakat mereka sekaligus menginspirasi masyarakat luas. Dengan suasana yang penuh kehangatan, festival ini menjadi bukti nyata bahwa seni dan budaya adalah bahasa universal yang mampu melampaui batasan apa pun.

Penyelenggaraan festival ini mencakup berbagai kegiatan menarik, seperti pertunjukan seni tari, musik, dan teater yang semuanya dibawakan oleh para penyandang disabilitas. Salah satu penampilan yang mencuri perhatian adalah kolaborasi tari tradisional dan modern yang memukau penonton dengan energi dan kekompakannya. Penampilan tersebut tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan pesan tentang kekuatan kolaborasi dan keberanian untuk berkarya.
Selain pertunjukan seni, festival ini juga diisi dengan pameran karya seni rupa dan kerajinan tangan yang dibuat oleh komunitas disabilitas. Karya-karya ini menggambarkan keindahan, perjuangan, dan keunikan yang menjadi identitas mereka. Di sela-sela acara, festival juga menyelenggarakan diskusi panel yang menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif dari komunitas disabilitas. Diskusi ini membahas pentingnya aksesibilitas dalam seni dan budaya, serta bagaimana membangun lingkungan yang lebih inklusif di Jawa Timur.

Festival yang diselenggarakan Taman Budaya Jawa Timur ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga wadah pemberdayaan dan edukasi. Festival ini menjadi bukti nyata bahwa ketika ruang yang inklusif diciptakan, potensi setiap individu dapat bersinar, sekaligus mendorong masyarakat untuk lebih menghargai perbedaan. Dengan suksesnya acara ini, harapannya adalah semakin banyak ruang serupa yang terbuka untuk mendukung keberlanjutan karya dan kontribusi para penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan.

Festival diselenggarakan pada 8 Desember 2025 bertempat di Pendopo Jayengrana Taman Budaya Jatim. Tema yang diambil pada festival ini adalah “Berkarya Bersama Anak-Anak Disabilitas Untuk Kesetaraan Menuju Indonesia Emas”. Program ini terselenggara berkat kerjasama antara Taman Budaya Jatim dengan Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus Surabaya. Yayasan ini merupakan sebuah lembaga non-profit yang bergerak di bidang pemberdayaan bagi keluaga Anak Berkebutuhan Khusus secara gratis dan berbasis di Surabaya, Sidoarjo & Mojokerto. Didirikan sejak tahun 2012, Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus senantiasa ikut berpartisipasi dan menginisiasi berbagai macam kegiatan positif untuk mendorong partisipasi aktif Anak Berkebutuhan Khusus di masyarakat. (pr)