Dalang Sak-Jaman
Bagaimana jadinya bila delapan dalang ASN unjuk kebolehan memainkan wayang kulit?, tentu saja sangat seru. Kesibukan mereka yang sering berada dalam sebuah ruang yang biasanya dipenuhi rapat agenda formal, delapan orang Aparatur Sipil Negara (ASN) menunjukkan sisi lain yang tak terduga. Mereka bukan sekadar duduk di balik meja dan komputer, melainkan duduk bersila di balik kelir, dengan tangan lincah memainkan wayang kulit.

Acara bertajuk “Dalang Sak-Jaman” ini menjadi bukti bahwa jiwa seni dan pelestarian budaya bisa hidup di mana saja, termasuk di jantung birokrasi. Kedelapan ASN ini, dengan latar belakang jabatan dan tempat bekerja yang berbeda, menyatukan visi untuk melestarikan warisan leluhur yang adiluhung.
Dengan trengginas, mereka menggerakkan tokoh-tokoh wayang seperti Werkudara, Arjuna, dan Gatotkaca. Suara mereka lantang melantunkan narasi dan dialog (antawacana), menguasai alur cerita (lakon) yang dipentaskan. Sorot mata mereka fokus, penuh penghayatan, seolah dunia birokrasi terlupakan untuk sesaat.
Mereka membuktikan bahwa wayang bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan. Nilai-nilai kepemimpinan, kebijaksanaan, dan keadilan yang terkandung dalam setiap lakon wayang relevan dengan tugas mereka sebagai abdi negara. Acara ini menjadi penyejuk di tengah rutinitas, sekaligus pengingat akan kekayaan budaya yang harus terus dijaga. Melalui kelir yang sederhana, ketujuh ASN ini menyampaikan pesan mendalam bahwa mencintai budaya sendiri adalah bentuk pengabdian yang lain kepada negara.

Acara ini berlangsung di Pendapa Jayengrana UPT. Taman Budaya Jawa Timur pada Kamis, 20 November 2025 dimulai pada pukul 13.00 WIB. sampai dengan selesai sekitar pukul 00.30 WIB. Pergelaran ini diselenggarakan dalam rangka ikut memeriahkan peringatan Hari Wayang Nasional yang jatuh pada 7 November.
Dalang Sak-Jaman adalah pergelaran wayang dengan durasi satu jam yang dipergelarkan oleh masing-masing dalang. Lakon yang digelar berjudul “Bima Kalanjaya” yang merupakan kisah perjalanan tokoh Bima atau Werkudara semenjak lahir hingga tua. Ketujuh dalang yang bergantian membawakan lakon adalah : Ki Wikan Dwi Setyaji, Ki Bagus Mustiko Aji, Ki Sadwika Aji Sembada, Ki Bagus Ragil Rinangku, Ki Heru Susilo, Ki Adiyanto, Ki Bambang Dwi Sumanto dan Ki Hario Widoseno. Kedelapan dalang tercatat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
ASN yang memiliki skill mendalang adalah sebuah anugerah. Ia bukan hanya pegawai kantoran tetapi juga seniman budayawan yang mampu menjembatani antara dunia birokrasi yang formal dengan masyarakat akar rumput. Kemampuannya adalah soft power yang sangat efektif untuk komunikasi publik, pelestarian budaya, dan pengembangan diri. Keberadaan ASN yang mendalang secara langsung turut serta dalam melestarikan dan memajukan kebudayaan Indonesia, yang juga merupakan salah satu tugas nation building. Instansi yang memiliki ASN dengan keahlian khusus seperti ini akan dipandang lebih dinamis, manusiawi, dan dekat dengan budaya. Ini bisa menjadi bagian dari corporate culture yang unik. (pr)
