Jejamu, Sebuah Ritus Rempah Untuk Bunyi
Bertempat di gedung kesenian Cak Durasim UPT Taman Budaya Jawa Timur pada Senin, 20 Juli 2020, diselenggarakan pergelaran musik dengan tajuk “JEJAMU”, Ritus Rempah Untuk Bunyi dengan komposer Joko Porong. Pergelaran diselenggarakan atas kerjasama Universitas Negeri Surabaya Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Sendratasik dengan Taman Budaya Jawa Timur. Pergelaran diselenggarakan dimaksudkan untuk mengisi kevakuman pergelaran seni yang terjadi selama beberapa waktu belakangan akibat covid-19 yang melanda seluruh dunia. Penyelenggraan pergelaran memakai format pertunjukan musik dengan pergelaran siaran langsung (live streaming) di Gedung Pertunjukan Cak Durasim UPT Taman Budaya Jawa Timur dengan menggunakan akun YouTube Gamelan Sawunggaling dan Cak Durasim milik Taman Budaya, tanpa menghadirkan penonton. Format pergelaran juga dilaksanakan dengan model talkshow untuk mengisi kekosongan ketika mempersiapkan jeda dalam setiap karya yang akan ditampilkan. Sebagai host ditunjuk Suwandi Widianto seorang komposer sekaligus salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.
Rempah merupakan jenis tumbuh-tumbuhan yang memiliki daya rasa ataupun penyebar aroma yang kuat dan sering digunakan sebagai zat perasa, penyebar aroma, pewarna ataupun juga sebagai bahan pengawet alami dalam makanan. Walaupun berbeda dengan jenis tanaman obat-obatan, namun rempah sering juga dijumpai untuk racikan obat-obatan, baik secara mandiri ataupun bercampur dengan bahan lainnya. Sehingga rempah merupakan tanaman yang memiliki karakter dan juga mampu menopang kerja bersama. Hal ini telah dibuktikan bahwa rempah mampu melintas batas teritorial kelokalannya. Rempah telah menjelma menjadi komoditi global. Pertemuan rempah dengan hal-hal lain ternyata juga sekaligus menjadi ajang pertemuan lintas kebudayaan, lintas ilmu pengetahuan, bahkan juga berdampak dalam ranah penciptaan nuansa kebaruan. Seperti halnya jalur perdagangan rempah waktu lampau yang juga menjadi arena pertemuan (ramuan) ragam jenis musik yang kemudian melebur menjadi satu kemasan yang menyatu (hybrid).
Dari gagasan inilah kemudian Jokoporong (komposer) bersama dengan Gamelan Sawunggaling menerjemahkan rempah dengan langkah menafsirkan sebagai salah satu sebab kelahiran bunyi (karya musik). Kemampuan mengadaptasi ragam musik lain untuk menjadi satu bagian atau mungkin sebagai bekal guna menemukan kebaruan akan menjadi landasan dasar dalam pemikiran tentang penciptaan karya-karya yang akan ditampilkan. Sehingga pergelaran yang akan dilakukan mengambil Judul : “JEJAMU”, Ritus Rempah Untuk Bunyi. Kata JEJAMU merupakan khasanah kata dalam bahasa Jawa. Terdiri dari kata dasar Jamu yang berarti olahan dari unsur rempah sebagai obat baik penangkal ataupun penyembuh, dan kemudian mendapatkan awalan kata Je yang kemudian memiliki arti melakukan tindakan, membuat, ataupun mengkomsumsi jamu.
Dari pengertian tersebut dimaknai sebagai reaksi tindakan terhadap keterhambatan ekspresi para pelaku seni oleh karena terdampak dari suasana pandemi virus Corona (Covid 19) baik dalam lingkup lokal, nasional ataupun global. Sehingga dimungkinkan untuk menciptakan sarana (ramuan) guna mewadahi aktivitas dan kreatifitas kesenimanan (sebagai tindakan Jejamu). Mempertemukan para pelaku seni dalam sebuah proses menjadi sarana (Jamu) pemupukan jiwa, raga, rasa para pelaku seni. Dari langkah ini dimungkinkan dapat menjaga dan mengembalikan gairah berkesenian kembali.
Pergelaran disajikan dengan menggunakan tiga (3) bagian karya, dan setiap karya masih memiliki substansi saling terkait. Bagian pertama karya (1) diberi judul Semampir yang terilhami akan kekuatan kandungan yang ada didalam rempah-rempah (aroma,rasa,dll) yang kemudian digunakan untuk berkolaborasi dengan unsur lain dan akhirnya menjadi satu ramuan (jamu), hingga menjadi satu kekuatan utuh dan berguna sebagai kompleksitas karya. Bagian karya kedua (2) diberi judul Senandung, yang terinspirasi dari aktivitas ibu penjual jamu gendong disekitaran rumah komposer dalam meracik jejamuan, hingga yakin dapat bermanfaat terhadap sesama. Kemampuan meracik diimajinasikan dengan arti kata senandung. Tidak terukur secara pasti dan hanya selintas seperti kebiasaan saja, namun mampu menjadi solusi perihal kenyamanan. Sedangkan karya ketiga (3) berjudul Semaput. Merupakan khasanah bahasa Jawa yang berarti tak sadarkan diri (pingsan). Pengertian ini dikonotasikan dengan ketidak sadaran tentang jalurjalur perdagangan rempah (komoditi rempah) yang juga turut andil besar dalam proses pertemuan, pengembangan bahkan penemuan hal-hal baru seperti rasa, aroma, ataupun pengetahuan.
Kasusksesan pergelaran musik ini tidak lepas dari kepiawaian seorang komposer musik Jokoporong. Joko porong yang bernama asli Joko Winarko lahir dari lingkungan keluarga seniman, dan sejak kecil sudah belajar musik gamelan jawa dan wayang kulit. Lebih serius memperdalam rasa seni yang digeluti kepada para tokoh, pakar dan empu di Yogyakarta, Solo, Jakarta dan sebagian kota di Jawa Timur dengan beragam gaya kesenian. Hingga pernah tergabung proses berkesenian bersama para tokoh seni : WS Rendra, Rahayu Supanggah, B. Subono, Dedek Wahyudi, Suka Hardjana, Slamet Abdul Syukur, Darno Kartawi, Djarod B Darsono, Dedy Luthan, Elly Luthan, AGS Dwipayana, A.L Suwardi, Hiroshi Keiko (Pappa Tarahumara), Ensemble Modern Frankfurt dan masih banyak lagi. Tahun 2004 mendirikan Komunitas Ndoroyogo di Solo. Mulai tahun 2008 hingga sekarang menjadi staf pengajar di Prodi Seni Musik Jurusan Sendratasik FBS Unesa Surabaya. Tahun 2010 mendirikan Komunitas Gamelan Sawunggaling sebagai satu komunitas seni karawitan di lingkungan kampus Unesa Surabaya.
Gamelan Sawunggaling merupakan Komunitas Kegiatan Mahasiswa (KKM) yang lahir tahun 2010-an dengan beranggotakan baik para akademisi Unesa Surabaya dan juga para pegiat seni dalam masyarakat umum, guna memediasi keinginan untuk belajar dan mengembangkan potensi dalam bermusik seni karawitan. Ruang lingkup kegiatan berupa pelatihan materi gending-gending tradisi (ragam gaya), serta pengembangan/kreatifitas sebagai upaya menciptakan dinamisasi kehidupan seni karawitan yang kompeten di dalam kampus dan masyarakat umum. Sehingga ragam kegiatan yang dilakukan bukan saja hanya proses didalam lingkungan kampus Unesa Surabaya namun juga melakukan kegiatan bersama dengan masyarakat ataupun lembaga-lembaga diluar kampus. Selain sebagai ajang silahturahmi kesenian, hal ini juga mempunyai tujuan untuk merelevansikan kehidupan seni bersama dengan masyarakat. Beberapa kegiatan Gamelan Sawunggaling yang telah dilakukan bersama dengan lembaga-lambaga masyarakat, adalah Gamelan Akbar di Solo (2016), Internasional Mask Festival di Solo (2018), Internasional Gamelan Festival di Solo (2018), Festival Majapahit di Malang dan Trowulan Jombang Jawa Timur (2018, 2019), Konser musik: Jelajah Bunyi di Surabaya (2019) dan masih banyak lagi. Selamat dan Sukses atas terselenggaranya pergelaran musik karya Jokoporong, meski tanpa penonton karya-karya tersebut diharapkan bisa diapresiasi oleh masyarakat melalui media daring sebagai sebuah kazanah pengembangan musik kontemporer di Indonesia. (san)