Menggali Tradisi Melalui Gelar Etnika Jawa Timur
Jawa Timur sebagai Provinsi yang berada di bagian timur pulau Jawa memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Ada 6 suku yang mendiami wilayah Jawa Timur yang masing-masing punya budaya etnik masing-masing. Keenam suku tersebut adalah suku Jawa, Madura, Bawean, Osing, Tengger dan Samin.
Kebudayaan dan adat istiadat suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi Bakorwil Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), Bakorwil Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Nganjuk) dan sebagian Bakorwil Bojonegoro. Tak dapat disangkal bahwa pengaruh kuat budaya Mataraman sangat kental dirasakan di daerah-daerah yang dahulunya merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram ini.
Kawasan pesisir utara Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuk dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.
Sebagian kawasan Bakorwil Pamekasan dan Bojonegoro (termasuk Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Gresik, Jombang, Kota Surabaya dan Mojokerto), dan Bakorwil Malang (Kabupaten Malang, Pasuruan dan Kota Malang, Pasuruan, dan Batu) memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman. Hal ini karena kawasan ini merupakan kawasan arek yang membuat daerah ini sulit dipengaruhi budaya Mataraman.
Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura dan agama Islam, mengingat besarnya populasi suku Madura dan pengaruh Madura dan Islam di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat suku Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Sebagai upaya memperkuat peran nyata dan eksistensi pemerintah dalam fungsi pelestarian, pengembangan, dan penyebarluasanan produk karya seni budaya bangsa, maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melalui UPT. Taman Budaya berupaya memajukan sektor seni dan budaya, baik melalui aktivitas berkesenian, peningkatan sarana dan prasarana serta pengembangan sumber daya pelakunya. Hal ini juga diharapkan akan semakin memperkuat basis pengelolaan seni dan budaya dalam rangka membangun karakter bangsa, memperkuat jati diri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penguatan-penguatan tersebut salah satunya adalah diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan Gelar Etnika Jawa Timur yang melibatkan 5 Badan Koordinator Wilayah (Bakorwil) di Jawa Timur yang akan dipergelarkan di Taman Budaya Jawa Timur yang rencananya akan dimulai tahun depan (2023). Lounching program tersebut dicanangkan pada tahun ini tepatnya pada 24 September 2022 di Gedung Kesenian Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur melalui pergelaran dengan tajuk “Miwiti Gelar Etnika jawa Timur 2022”. Kata “Miwiti” sendiri adalah kosa kata bahasa Jawa yang artinya “Memulai”. Gelar Etnika Jawa Timur sudah mulai digaungkan pada tahun ini dengan menghadirkan para tamu yang mewakili dari masing-masing Bakorwil untuk turut serta menyaksikan proses lounching program baru ini.
Sebelumnya digelar reportoar tari berjudul “Tabebuya” karya Dhimas Pramuka Atmadji sebagai pembuka acara. Tarian ini menggambarkan keindahan bunga Tabebuya yang tumbuh bermekaran saat bulan Agustus-September dalam bentuk komposisi tari yang dibawakan oleh tujuh orang penari. Rangkaian acara dibuka oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Dian Okta Yoshinta, S.H., M.P.SDM. mewakili Kadisbudpar Prov. Jatim yang berhalangan hadir disaksikan oleh Kepala UPT. Taman Budaya Jawa Timur Samad Widodo, S.S., M.M. dan perwakilan dari 5 Bakorwil, yakni: Madiun, Bojonegoro, Malang, Pamekasan dan Jember.
Puncak rangkaian acara Wiwiti Gelar Etnika Jawa Timur Tahun 2022, adalah pergelaran drama tari yang mengkolaborasikan unsur seni kedaerahan baik sastra, dialek, tari dan musik khas daerah yang diberi judul “Lung Sari”. Pergelaran disutradai oleh seniman Surabaya Dimas Pramuka Atmadji yang juga ketua sanggar tari Gito Maron. Melibatkan juga beberapa seniman baik Surabaya Sidoarjo. Lung Sari mengisahkan seniman waranggana tayub yang mengabdikan hidupnya untuk seni secara utuh, dan menciptakan harapan generasi penerus seni ke depan. Dalam sajian Lung Sari terdapat unsur dialeg kedaerahan, musik khas daerah dan ekplorasi gerak tari secara bebas dengan tidak meninggalkan unsur etika dan estetika.
Kerasnya genggaman bonjor berubah menjadi lenturan sampur diruas kelentikan jemarinya, telah memercikan cahaya pikiran dan nalurinya. Mengantarnya untuk semakin memahami bahwa hidup, karya dan cinta kasih adalah elemen yang tak bisa terpisahkan. Lepas dari sisi apapun, keluhuran jiwa, dari tubuh hingga pikiran merajut aksi, emosi, harapan adalah kumpulan energi sebagai getaran yang tiada henti membentuk dirinya dalam mencintai dan menghargai warisan yang adiluhung. Sutradara Dimas Pramuka Atmadji berusaha mengangkat sebuah konsistensi seorang seniman tayub yang tetap berkiprah dalam dunia kesenian tayub meski kesibukan menjual minuman legen dijalani di sepanjang pagi sampai siang hari. Tapi pada malam harinya sang penayub masih konsisten menekuni profesinya sebagai seorang penari meski tubuh dilanda kelelahan. Turut tampil pada pergelaran ini seniwati Proborini dari Sidoarjo dan penari tayub senior asal Nganjuk Asmawati. (sn)