Ludruk Bintang Timur Lakon Sumpah Palapa
Sabtu, 16 November 2019 bertempat di gedung kesenian Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, digelar pertunjukan Ludruk dari Kabupaten Sidoarjo. Ludruk Bintang Timur pimpinan Tawar Gonzales menggelar lakon Sumpah Palapa. Kisah dengan latar belakang sejarah kebesaran Kerajaan Majapahit. Acara dibuka oleh PLT. Kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Edi Iriyanto, MM. ditandai dengan penyerahan piagam penghargaan kepada pimpinan Ludruk Bintang Timur Cak Tawar Gonzales dan penyerahan keris pusaka kepada pemeran tokoh Gajah Mada.
Animo masyarakat yang menonton pertunjukan Ludruk Bintang Timur tidak sebesar seperti pada pertunjukan Ludruk Kirun CS, atau Ludruk Karya Budaya, terbukti dengan masih adanya beberapa kursi di gedung kesenian Cak Durasim yang masih kosong. Hal ini kemungkinan terjadi karena Ludruk Bintang Timur adalah Ludruk baru yang untuk pertama kalinya main di Gedung Kesenian Cak Durasim. Beberapa pemain terlihat sebagai muka lama yang main di grup Ludruk yang sudah mapan. Tidak mustahil banyak penggemar Ludruk yang masih awam dengan grup Ludruk asal Kabupaten Sidoarjo ini. Dari dialog dalam cerita yang dibawakan terlihat percampuran bahasa dialek arek dan mataraman yang mengesankan bahwa para pemainnya berasal dari gabungan Ludruk Mataraman dan Ludruk Arek. Setting cerita Kerajaan Majapahit yang secara geografis kesejarahan berada di Kawasan Mojokerto, idealnya lebih mengedepankan unsur bahasa Jawa dialek Arek daripada bahasa Jawa dialek Mataraman.
Secara teknis pergelaran penampilan Ludruk Bintang Timur cukup baik, alur cerita yang dimulai dari adegan intrik politik berupa pembunuhan Jayanegara (raja kedua Majapahit) oleh Ra Tanca sampai dengan pidato Persatuan Nusantara oleh Prabu Hayam Wuruk enak untuk ditonton. Lawakan oleh Tawar Gonzales dan kawan-kawan cukup menghibur dan mengocok perut penonton. Juga pada kostum yang dikenakan para pemain, terkesan mewah dan sangat bagus, menambah kuat gambaran cerita yang berlatar belakang sebuah kerajaan besar Majapahit. Artistik panggung yang didukung lampu dan properti pertunjukan cukup menguatkan cerita. Secara keseluruhan teknis pergelaran cukup bagus hanya pada bahasa yang seharusnya lebih ditonjolkan bahasa Jawa dialek Arek.
Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa pemberontakan yang dikobarkan oleh Ra Kuti dan Ra Semi kepada raja Jayanegara. Ra Tanca bersedih dan meratapi kematian dua saudaranya itu, sehingga memunculkan dendam kesumat dalam hatinya untuk membalas dendam atas kematian dua saudaranya itu dengan cara membunuh raja Jayanegara. Ra Tanca terus berpikir dengan cara apa dia harus membunuh Jayanegara, ditengah perenungan soal balas dendam itu muncullah istri Ra Tanca. Kemunculan istrinya memunculkan strategi jahat dalam benak Ra Tanca untuk mengatur siasat pembunuhan. Istrinya dibujuk untuk berpura-pura menjadi tabib perempuan dan menyusup ke ruang pribadi Jayanegara. Pada awalnya istrinya menolak karena resiko berbahaya yang harus dihadapi. Tapi atas kelihaian Ra Tanca dalam membujuk sang istri akhirnya luluh juga hatinya demi pengabdian istrinya pada suaminya yang didasari pada cinta yang sangat mendalam pada suaminya.
Jayanegara adalah raja Majapahit kedua putra dari Raden Wijaya yang watak serta perilakunya jauh berlawanan dengan ayahandanya. Raden Wijaya yang berwatak ksatria dan bijaksana bertolak belakang dengan watak putranya yang suka memperturutkan hawa nafsu. Kesukaan Jayenegara pada perempuan memang bukan hal rahasia lagi di lingkup kerajaan. Kebiasaannya yang suka merebut istri orang sudah tidak malu lagi ia lakukan. Watak seperti ini akhirnya dijadikan strategi oleh Ra Tanca untuk mengumpankan istrinya yang menyamar sebagai tabib perempuan untuk mengobati Jayanegara yang sedang sakit.
Kedatangan istri Ra Tanca ke dalam bilik Jayanegara tentu saja mengangetkannya. Takjub dengan kecantikan istri Ra Tanca, Jayenegara bermaksud mengawininya. Dalam kondisi sakit Jayanegara coba merayu istri Ra Tanca, sambil terhuyung-huyung karena kondisinya yang tidak sehat. Tindakan Jayanegara yang sangat melecehkan martabat perempuan itu pada akhirnya masuk perangkap yang dipasang oleh Ra Tanca. Ketika tindak kekerasan yang menjurus kearah pemerkosaan dilakukan oleh Jayanegara, Ra Tanca muncul dengan emosi yang meledak, bukan hanya marah karena melihat pecehan terhadap istrinya tapi lebih pada dendam kesumat pada Jayanegara karena pembunuhan dua saudaranya yang dituduh memberontak. Kondisi Jayanegara yang sakit tidak mampu memberikan perlawanan seimbang pada upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Ra Tanca. Tikaman keris Ra Tanca akhirnya mengakhiri hidup Jayanegara untuk selamanya. Kematian Jayanegara membuat heboh seluruh isi istana, patih Arya Tadah, bekel Permada keluar menghadapi tindakan brutal Ra Tanca. Perkelahian Bekel Permada dan Ra Tanca akhirnya tak dapat dihindarkan. Bekel Permada yang masih muda dan digdaya akhirnya mampu menyarangkan keris ke perut Ra Tanca dan mengakhiri hidupnya tuk selamanya.
Atas jasa bekel Permada dalam mengatasi semua persoalan yang membelit Kerajaan, Bekel Permada diberi anugrah berupa pelantikan atas dirinya menjadi Mahapatih Amangkubumi Kerajaan Majapahit oleh Rani Tri Buwana Tungga Dewi. Dan atas saran Patih Arya Tadah nama Permada diganti menjadi Gajah Mada sebagai bentuk pengukuhan atas jabatan baru yang diembannya. Rani Tri Buwana yang merasa sudah waktunya harus lengser keprabon mengakhiri jabatannya dan melantik putranya Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit. Setelah pelantikan Maha Raja Hayam Wuruk, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Sebelum berhasil menundukkan Nusantara yakni: Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saya tidak akan memakan palapa yang berupa nasi beras dan ketan”.
Sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan merespons dengan negatif. Ra Wedeng mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki. Ra Banyak turut mengejek dan tidak mempercayainya. Ra Yuyu tertawa terbahak-bahak dan melecehkan. Sumpah yang diucapkan dengan kesungguhan hati itu bukanlah sumpah main-main. Oleh karena tindakan ketiga pembantu Raja yang berhati jahat itu membuat Gajah Mada marah besar. Pada akhirnya ketiga orang tersebut dihabisi oleh Gajah Mada dengan tusukan keris terhadap ketiga pengkhianat tersebut. Sirna sudah para penghalang cita-cita luhur Kerajaan Majapahit. Pada ending pertunjukan Raja Hayam Wuruk membacakan pidato Persatuan Nusantara.(san)