Berita

Pameran Wayang Beber Dan Wayang Kulit

Wayang merupakan seni adiluhung artinya seni yang selain indah juga mengandung nilai-nilai keutamaan hidup. Inilah yang membuat UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003. Kemudian masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO untuk kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity dengan judul “The Wayang Puppet Teatre” tertanggal 4 November 2008. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 30 tahun 2018, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional (HWN).

Melukis wayang beber yang diperagakan oleh sdr. Wardi (Foto dok. TBJT)

Wayang adalah wewayanganing ngaurip artinya wayang adalah refleksi kehidupan. Nilai-nilai intangible wayang seperti memayu hayuning bawana (membuat tatanan dunia yang damai), jiwa ksatria, budi luhur, kesempurnaan hidup, harmoni adalah falsafah timur. Sampai kini wayang masih menjadi salah satu spirit untuk terus dikembangkan dalam medan seni rupa tradisi. Salah satunya wayang beber yang diciptakan oleh Rudi Prasetyo, salah seorang guru, pelukis dan dalang wayang beber dari Kabupaten Pacitan.

Wayang beber sendiri mengalami berbagai perkembangan, saat zaman Majapahit tepatnya ketika Jaka Susuruh menjadi raja terdapat perkembangan wayang beber berupa tambahan tongkat panjang yang digunakan untuk menggulung dan memperlihatkan cerita dari tiap scene dalam wayang beber. Ketika saat itulah muncul nama wayang beber yang pementasannya dengan cara dibentangkan. Berlanjut saat raja Brawijaya V memegang kekuasaan, sang raja memerintahkan Raden Sungging Prabangkara, putranya yang ketujuh untuk mempelajari dan menciptakan inovasi warna dalam wayang beber.

Dikarenakan pada zaman tersebut wayang beber masih dilukiskan dengan warna hitam dan putih, masuknya agama islam serta berdirinya kerajaan Demak memberikan perubahan pelukisan wayang beber. Karena dalam agama islam tidak diperbolehkan menggambarkan tokoh wayang dengan melakukan deformasi bentuk, maka setelah itu dirubahlah gaya pelukisan tokoh wayang agar tidak mirip dengan tokoh manusia.

Penjelasan sdr. Rudi Prayitno (berdiri pakai blangkon) tentang teknik melukis wayang beber di media kertas

Sedangkan wayang kulit adalah sebuah bentuk teater bayangan tradisional yang menjadi salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang paling terkenal.Wayang kulit memiliki sejarah panjang di Indonesia dengan akar yang mencapai ribuan tahun yang lalu. Lebih dari sekedar boneka, wayang kulit secara tradisional digunakan sebagai media refleksi terhadap roh spiritual para dewa. Sebagian masyarakat desa yang masih percaya pada budayanya masih menggunakan wayang kulit untuk hiburan sebagai pengucapan rasa hormat terhadap nenek moyangnya ketika ada upacara sedekah bumi atau ruwat desa dan lainnya. Ini menandakan bahwa wayang masih menjadi salah satu budaya lokal untuk mengingatkan tentang cerita-cerita masa lalu untuk masa kini. Pertunjukan wayang merupakan salah satu gambaran yang komplit dari seni, ada musik pengiring, sastra, vokal, rupa dan tata panggung.

Dalam rangkaian peringatan Hari Wayang Nasional ke-6, Taman Budaya Jawa Timur memberi ruang kepada apresiasi kepada para pencipta wayang untuk menggelar pameran wayang sebagai sarana apresiasi bagi masyarakat sebagai pengingat akan pentingnya melihat kembali seni rupa tradisi untuk dikembangkan agar melahirkan para perupa yang yang berbasis pada akar tradisinya. Pelaksanaan pameran dimulai pada 6 – 8 November 2024 di Galeri Prabangkara Taman Budaya Jatim.

Pameran Wayang menyajikan koleksi Wayang Beber Rudi Prasetyo, Pacitan dan Sanggar Wayang Gogon dari Surakarta. Pameran ini juga dimaksudkan untuk mengajak masyarakat melihat bagaimana selama ini seni budaya wayang hidup tak hanya saat dipentaskan. Namun lebih dari itu, di dimensi yang lain, wayang merupakan  produk seni budaya yang adi luhung dan mempunyai nilai estetika yang tinggi.

Penjelasan kepada pengunjung (Foto dok. TBJT)

Wayang beber Pacitan yang selama ini dapat dikatakan ‘terancam punah’, bagaimanapun perlu dipikirkan pelestariannya, karena ini merupakan salah satu aset budaya yang tak terhingga nilainya. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah nyata untuk merevitalisasi melalui berbagai usaha, agar Wayang beber Pacitan ini tetap eksis dan menjadi kebanggaan masyarakat Pacitan. Revitalisasi Wayang beber Pacitan dimungkinkan tidak banyak mengalami hambatan karena keberadaannya yang konon oleh masyarakat Desa Gedompol dikeramatkan dan tidak dapat dibuka setiap saat itu sekarang sudah ada replikanya yang telah dibuat oleh Rudi Prasetyo, sehingga wayang beber itu sekarang lebih mudah diamati dan dapat dibuka sewaktu-waktu diperlukan.

Rudi Prasetyo sebenarnya bukan merupakan keturunan dari Mbah Mardi Gunocawito yang merupakan pewaris terakhir Ki Roro Naladremo Dalang wayang beber pertama Pacitan. Rudi Prasetyo diamanahi oleh Mbah Mardi untuk melestarikan wayang beber bersama dengan temannya, Wardi yang bertuga menjaga lukisan dari wayang beber. Jadi, lulusan alumni Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Bahasa Jawa ini berkenalan dengan Mbah Mardi ketika menjadi mahasiswa. Pada 2003 dia berkenalan dengan Mbah Mardi untuk kepentingan skripsinya.

Pada 2004 Rudi Prasetyo mulai belajar mendalang wayang beber dari nol. Kemudian pada 2010 lalu Rudi Prasetyo dikukuhkan menjadi dalang wayang beber. Anak-anak Mbah Mardi tidak ada yang bisa mendalang wayang beber. Sehingga Mbah Mardi mengamanahkan wayang beber kepada Rudi Prasetyo demi kelestarian wayang beber. Tetapi cucu dari Mbah Mardi yaitu Handoko yang diajari oleh Rudi sekarang sudah bisa mendalang wayang beber. Hondokolah yang diharapkan menjadi penerus dan pelestari wayang beber dari keturunan Ki Roro Naladremo.

Kunjungan ke pameran wayang kulit (Foto dok. TBJT)

Wayang beber pun mulai dikreasikan ke bentuk lain yaitu seni lukis dan batik. Seni lukis sejak 1988 sudah mulai dikembangkan oleh I Gusti Nengah Nurata, salah seorang dosen seni lukis di ISI Surakarta. Lalu untuk kreasi batik wayang beber dikembangkan oleh seorang dosen Sastra dan Seni rupa UNS Solo, Sarah Rum Handayani. Dia yang menciptakan dan mengembangkan desain batik wayang beber. Batik ini mulai masuk ke dunia industri batik di Pacitan melalui produsen Batik Puri dan Batik Saji.

Kini, wayang beber hanya dimainkan di Pacitan dan Gunung Kidul, Yogyakarta. Di Gunung Kidul, kondisi wayangnya sudah sangat memprihatinkan. Di Kraton Surakarta juga ada tapi sudah tidak dipentaskan. Sayang sekali jika warisan budaya dari kerajaan Majapahit ini sampai punah dan mungkin nanti dicuri oleh bangsa lain. (pr)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.