Turangga Yaksa: Jiwa Ksatria dan Pengendalian Nafsu Masyarakat Jawa
Oleh : R. Djoko Prakoso
Tahun 1995-1996 ketika menyaksikan pertunjukan jaranan pada sebuah pementasan, saya terheran-heran karena tidak seperti pertunjukan jaranan pada umumnya. Dandanan para penari menggambarkan figur ksatria bagus. Para penari menggunakan celana, baju lengan panjang rompi orci lengkap dengan asesoris yang gemerlap dan mengenakan ikat kepala motif batik.
Hal ini mengingatkan saya pada tokoh-tokoh pangeran muda dalam lakon-lakon ketoprak, karakter cakrak, trengginas sangat kuat dari pancaran rias wajah para penari, nampak elegan. Mereka mengendarai kuda yang terbuat dari kulit berwajah raksasa (yaksa) seperti figur-figur raksasa dalam pertunjukan wayang kulit. Figur kuda Turangga Yaksa ditatah dan disungging sebagaimana teknik pengecatan wayang kulit. Figur ang menggambarkan karakter berangasan/gagah dhupak, motif tatah dan sunggingan pada figur kuda memberi kesan kuat mengenai estetika klasik tatah sungging wayang kulit.
Para penari memeragakan gerakan dengan pola bakuan yang telah mapan. Pola sikap gerakan tubuhnya sangat dekat dengan tarian gaya Surakarta. Penari nampaknya telah memiliki kemapanan teknik yang cukup tinggi. Mereka bergerak serempak sesuai dengan permainan gamelan. Pada awal tarian para penari membuat formasi berbaris memasuki arena pertunjukan kemudian menyajikan berbagai macam gerak yang menggambarkan kegagahan prajurit. Kemudian menjelang bagian akhir muncul figur celengan dan barongan secara berurutan. Para prajurit berkuda ini memerangi figur celengan dan barongan.
Adegan-adegan dalam sajian tari Turangga Yaksa memiliki kemiripan dengaan tarian jaranan yang lainnya, menceritakan perang antara prajurit berkuda dengan celeng dan barongan. Barongan dapat digambarkan topeng kepala naga dan atau kepala harimau/singa. Dalam beberapa kelompok jaranan barongan yang berupa kepala harimau disebut dengan kucingan, sedangkan kepala naga biasa disebut jepaplok. Suatu pesan filosofis yang tersembunyi dari tradisi pertunjukan dalam masyarakat, tarian rakyat yang dilakukan dari generasi terdahulu sampai sekarang dalam tema yang sama, yaitu ada sesuatu yang tak pernah selesai terkait kehidupan sosial kemasyarakatan. Terbukti puluhan kreasi selalu muncul dalam derap perubahan jaman.
Nilai Filsafati
Penciptaan jaranan Turangga Yaksa dirintis oleh Pamrih, seorang seniman jaranan dari desa Dongko Kabupaten Trenggalek. Karakter jaranan Turangga Yaksa terinspirasi dari kepala buta/yaksa yang menyeringai, memamerkan taring-taringnya penuh nafsu. Sebuah ekspresi yang mendalam dalam batin pamrih dan kemudian mengekspresikannya dalam bentuk pahatan jaranan yang terbuat dari kulit sapi. Dari sisi keserupaan bentuk/gagrag ini memiliki keunikan, ekspresinya meluap-luap dan menjadi “daya” bagi penarinya untuk mengekspresikannnya dalam tatanan gerak.
Seperti pada umumnya kesenian yang tumbuh dalam tatanan masyarakat Jawa agraris, jaranan Turangga Yaksa terikat dengan filosofi Jawa-Wayang, Dewi Sri-sebagai manifestasi tentang kemapanan sosial ekonomi yang ditengarai hasil panen, kesuburan tanaman, ternak yang beranak pinak. Jaranan Turangga Yaksa memiliki spirit yang terkait dengan cerita dan figur dalam pakeliran wayang kulit dan pandangan hidup yang bermaktub dalam kebatinan Jawa yang Islami. Hal ini digambarkan dalam tokoh Dhadhung Awuk sebagai penggembala ternak/rajakaya dan Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan padi.
Tradisi lisan ini meresap dalam kehidupan sehari-hari. Dewi Sri yan dalam tradisi lisan masyarakat Jawa disebut dengan Mbok Sri, Dhadhung Awuk disebut dengan Kyai Dhadhung Awuk merupakan adaptasi dari dunia imajinasi pewayangan yang diterjemahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Visualisasi figur ksatria penunggang Turangga Yaksa memiliki narasi yang terkait dengan dunia kebatinan Jawa tentang manusia dan empat nafsu yang dimilikinya. Buta/yaksa sebagai simbol nafsu manusia harus dikendalikan dengan baik. Empat nafsu tersebut yaitu : amarah, syaitonah, aluwamah dan mutmainah. Tetapi sumber lain mengatakan amarah, aluwamah, mulhimah dan mutmainah. Maknanya, ksatria sejati adalah para ksatria yang mampu mengendalikan hawa nafsunya sendiri.
Struktur Tarian
Sebagai sebuah tontonan jaranan Turangga Yaksa memiliki tata laku pertunjukan yang didasarkan pada pola dan struktur tertentu. Pertunjukan diawali dengan laku memainkan gendhing-gendhing untuk menyemarakkan arena pertunjukan. Beberapa saat kemudian beberapa orang yang biasa disebut dengan gambuh memasuki arena membacakan mantra dan kemudian melecutkan cambuknya sebagai tanda pertunjukan dimulai.
Tak lama kemudian beberapa kelompok penari mengenakan dandanan ksatria memasuki arena pertunjukan, mereka mengendarai Turangga Yaksa. Ini diawali para penari melecutkan cemeti beberapa kali, berjumpalitan/salto dan kemudian masuk. Semua penari melakukan hal yang sama. Nampak bahwa mereka telah memiliki ketrampilan yang cukup untuk memamerkan tarian yang menggambarkan proses latihan yang mereka tempuh sangat serius. Bagian ini menjadi pembuka yang memberikan kejutan atau menjadi daya pikat untuk penonton sehingga semua penonton tertegun dengan aksi jungkir balik mereka.
Setelah itu para penari keluar secara berurutan dan kemudian membuat formasi berbaris mengendarai Turangga Yaksa. Para penari memeragakan berbagai ragam gerak yang selalu dihubungkan dengan ragam gerak penghubung semacam sabetan dalam tarian Solo dan Yogyakarta. Para penari bergerak serempak membuat berbagai macam lintasan dan kemudian formasi yang formal, mencerminkan formasi yang sederhana tetapi kokoh dalam memberikan peluang penari melakukan gerakan secara serempak. Keserempakan ini menjadikan setiap karakter gerak yang diperagakan penari nampak jelas, para penari nampak gagah, trengginas sesekali mereka melakukan gerakan gecul sehingga nampak kesan selalu segar.
Penampilan berikutnya adalah rampogan celeng yaitu adegan yang menggambarkan perang antara celeng dengan prajurit Turangga Yaksa. Penari celengan membawa celeng (babi hutan) yang terbuat dari kulit dalam bentuk yang relatif kecil. Penari merias wajahnya seperti babi hutan mengenakan kostum serba hitam dan kain poleng. Para penari Turangga Yaksa melecutkan berkali-kali cemetinya dengan suara menyerupai petasan atau suara senapan. Mereka menyerang penari celengan yang menunjukkkan perannya sebagai binatang pengganggu yang tangguh sehingga dapat lolos dari setiap serangan Turangga Yaksa. Tetapi akhirnya sebagai puncak rampogan celeng, penari celeng diserang secara serempak oleh penari Turangga Yaksa sehingga celeng terusir.
Adegan berikutnya adalah rampogan barongan menggambarkan peperangan antara prajurit Turanga Yaksa dengan barongan. Pola adegan ini memiliki narasi yang sama dengan rampogan celeng. Barongan mengganggu para prajurit Turangga Yaksa maka perangpun tak dapat dihindarkan, para prajurit Turanga Yaksa memerangi barongan secara serentak dengan melecutkan cemeti mereka untuk mengusir dan mengalahkan barongan.
Tiap adegan dalam Turangga Yaksa menyimpan kisah simbolis tentang kehidupan masyarakat petani di masa lampau sampai sekarang. Prajurit/ksatria, celeng, barongan merupakan refleksi simbolik dari fenomena petani di pedesaan. Celeng manifestasi hama, barongan menifestasi kala, menyimpan narasi tentang realitas ruang dan waktu, betarakala dimaknai sebagai perubahan waktu dan keangkara murkaan yang selalu melahirkan kisah tragis yang menghimpit petani. Dalam hal ini petani selalu berharap kehadiran para pangeran dan ksatria kerajaan yang menyelesaikan konflik dan tekanan hidup mereka.
_______________________________________________________________________________________________________________
Rohmat Djoko Prakosa lahir 16 Mei 1965 sejak 1992, bekerja sebagai dosen Jurusan Tari STK Wilwatikta Surabaya. Menulis fiksi dan artikel ilmiah dalam jurnal, buku dan majalah. Aktif dalam kegiatan sastra dan pertunjukan tari di berbagai kota. Kontak : djaprakkinanti@yahoo.com