Pergelaran Wayang Kulit Bersama Dalang Ki Dimas Candra Dwi Aryanto dan Ki Arya Maheswara Dari Kabupaten Magetan
Keberadaan Dalang Muda sebagai penerus generasi pelestari wayang kulit akan selalu membawa semangat baru dalam pertunjukan wayang. Ada yang spesial dari Dalang Muda yakni lebih terbuka terhadap inovasi dan teknologi. Mereka tak jarang memadukan cerita wayang klasik dengan elemen modern, seperti garap iringan atau elemen yang lebih modern. Mereka biasanya juga lebih dekat dengan penonton muda hingga membuat wayang lebih relevan di era digital seperti sekarang ini.

Potensi dalang muda sangat besar. Mereka bisa jadi jembatan antara budaya tradisional dan generasi muda. Dengan kreativitas dan inovasi, dalang muda bisa membuat wayang lebih menarik dan relevan bagi penonton masa kini. Bisa jadi mereka bakal jadi influencer budaya.
Taman Budaya Jawa Timur melalui Program Fasilititasi Kesenian bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magetan menggelar pertunjukan wayang kulit di Pendapa Jayengrana dengan menampilkan dua dalang muda potensial dalam satu lakon wayang. Kedua dalang muda tersebut adalah Ki Dimas Candra Dwi Aryanto dan Ki Arya Maheswara. Lakon yang dipergelarkan “Kresna Duta”. Pergelaran dilaksanakan pada Jumat, 13 Juni 2025 di Pendapa Jayengrana Kompleks Taman Budaya Jatim mulai pukul 19.00 WIB.
Kresna Duta, merupakan lakon wayang yang menarik. Kresna sebagai duta atau utusan memang menunjukkan kepiawaiannya dalam diplomasi dan strategi. Dia selalu tahu cara menyelesaikan konflik dengan bijak. Klimak alur ceritera lakon wayang versi Mahabarata adalah terjadinya perang besar baratayuda yang melibatkan Kurawa dan Pandawa. Sebelum perang berlangsung, Kresna menjadi duta Pandawa untuk melengkapi duta yang ketiga kalinya. Kresna mengendarai kereta Jaladara yang ditarik empat kuda yang berwarna merah, putih, hitam dan kuning, simbol kendaraan kebesaran sebagai kendaraan wisnu. Sebagai sais dipercayakan kepada Setiyaki.

Ditengah perjalanan dihadang dewa Narada, Janaka, Kanwa dan Parasu. Para dewa diperintahkan Guru Dewa untuk menyaksikan perundingan antara Kresna dengan Duryudana. Setelah sampai di Astina ternyata Duryudana telah mempersiapkan banyak prajurit untuk berperang. Dalam perundingan Duryudana tidak bersedia memenuhi kewajibanya untuk mengembalikan hak bagian keluarga Pandawa tanpa diperjuangkan melalui adu kekuatan.
Di Aloon-aloon Kresna telah dihadang prajurit untuk dibunuh, ternyata yang ada adalah Setiyaki. Terjadilah perang tanding antara Burisrawa melawan Setiyaki. Oleh karena gelagat akan adanya pengeroyokan, Setiyaki lari mencari Kresna. Di pendapa pasewakan terjadilah keelokan setelah Duryudana menolak permintaan Kresna. Munculah kekuatan mantram sakti Kresna yang menakutkan sehingga terjadi huru hara. Melihat gelagat yang kurang baik Narada menenteramkan Wisnu agar segera berubah kembali menjadi Kresna. Sebagai duta berarti gagal, Kresna segera kembali ke Wiratha bersama Setiyaki. Kresna melaporkan bahwa Astina sudah bersiap berperang melawan Pandawa.

Pada cerita ini intinya ada sepotong pesan bahwa Kebenaran dan Kesalahan itu sebenarnya ada pada garis yang sama, hanya di ujung garis yang satu posisinya bernama Benar, sementara ujung garis lawannya ada pada posisi Salah. Titik tengah keduanya dipisahkan pada bagian Benar dan bagian Salah. Kehidupan yang dijalani manusia selalu ada pada kedua garis mistar tadi, namun tidak akan kita jumpai manusia yang benar dan mutlak, atau salah yang juga mutlak, yang ada hanya pada derajat mana tingkat kebenarannya dan atau kesalahannya. Kita tidak bisa memaksakan kebenaran kepada kesalahan, atau sebaliknya memaksakan kesalahan kepada kebenaran. Namun kebenaran itu diperlukan guna menunjukkan adanya kesalahan; sebaliknya kesalahan juga diperlukan guna menunjukkan adanya kebenaran.
Dengan kata lain Kebenaran dan Kesalahan itu bagai dua sisi mata uang, yang satu dengan lainnya berfungsi saling meneguhkan keberadaan masing-masing lawannya. Dengan bahasa sederhanya: kebenaran itu tampak kebenarannya jika ada kesalahan sebagai pembanding, dan juga kesalahan akan tampak jika ada kebenaran sebagai pengukurnya. Perkataan filsafat seperti ini memang memerlukan kontemplasi dalam memahaminya. (sn)