Mencari Kebebasan Yang Terikat (bagian I)
Oleh: Diecky K. Indrapraja
Suatu sore di Gedung Pertunjukan Sawunggaling Kampus Unesa Lidah Wetan tampak sesak ramai. Selain para pemusik, tampak juga penonton yang mayoritas mahasiswa Unesa. Hari itu adalah hari terakhir karya Padepandemi dilatih oleh ansambel yang dibentuk Marda. Kesempatan bagi saya untuk menggali persepsi dari beberapa pemusik tentang seputar karya musik yang mereka mainkan, yaitu Pandepandemi.
Adalah Yuda, satu di antara pemain violin yang menjadi pemusik di karya Marda ini. Memainkan komposisi karya baru adalah pengalaman pertama baginya. Sebelumnya ia banyak membekali diri dengan memainkan karya-karya klasik Barat dan karya-karya pop hasil aransemen saja. Di karya Pandepandemi ini banyak hal baru yang ia temui. Misalnya pada penggunaan penanda waktu (time signature) yang tidak lazim ada pada karya-karya klasik, yaitu 7/8 dan 5/8. Ia mengenal penanda waktu tersebut hanya melalui kelas-kelas teori-teori musik saja. Kali ini Yuda mengalami bagaimana memainkan dan menginnterpretasi penanda waktu tersebut.
Yuda memiliki bagian favorit yang selalu ia tunggu saat karya Marda ia mainkan. Bagian itu adalah bagian solo pada masing-masing principledi ansambel string, yaitu solo pada violin 1, violin 2, dan cello.Solo principle tersebut ada pada bagian I (pertama). Layaknya seorangviolinist, Yuda menunggu bagian dimana ia mendapatkan “spotlight” dari keseluruhan notasi yang ia mainkan. Ia memberi catatan, bahwa di bagian solo tersebut ada semacam keleluasaan yang terikat. Seperti diberi ruang eksplorasi, namun “dikurung” dalam ruang sempit. Aspek kreativitas dan pengalaman bermusik menjadi penentu keberhasilan menanggapi tantangan solo tersebut. Adapun pada bagian II (kedua), Yuda juga memiliki momen yang ia tunggu, yaitu solo Cello. Meskipun Yuda bukan pemain cello, tapi pada bagian itu seolah mampu memberikan “ruh” baru untuk keseluruhan pemusik yang terlibat.
Hal lain yang menjadi pengalaman baru gai Yuda adalah saat harus bernyanyi di bagian prolog karya. Pada awalnya, ia merasa tidak seharusnya seorang violinist beralih menjadi penyanyi, meskipun hanya sementara. Namun, dalam ketidaksetujuan atas hal itu, ia tetap menyanyikan bagian tersebut dengan profesional. Sampai akhirnya ia menyadari, bahwa tantangan terbesar seorang pemusik masa kini adalah bukan saja dituntut mahir dalam memainkan alat musiknya saja, melainkan juga mampu menjadi performer sejati sesuai tuntutan konsep dan notasi karyanya.
Ditinjau dari tingkat kemahiran, menurut Yuda karya Pandepandemi memiliki tingkat kesulitan yang merata antara bagian I dan bagian II. Dibutuhkan bekal teori musik dan teknik bermusik khusus untuk bisa menginterpretasikan notasi karya Pandepandemi ini. Meskipun demikian, Marda sebagai komponis yang sekaligus pengaba (conductor) sangat telaten menjadi mentor bagi pemusiknya. Hal ini sangat membantu percepatan adaptasi pemusik antara pemahaman musik konvensional dan perspektif baru dalam berkesenian.