Pungki Dan Persimpangan Wacana Getir Musik Banyuwangen
Oleh: Panakajaya Hidayatullah
Kabar wes semembyar, Riko lan Isun arep jejodoan Embuh kening setan paran, Riko ninggal Isun tanpo jalaran Mula titip salam, Nong angin lan derese udan Warahen Isun nganteni, tekan Rika eman, embuh sampe kapan? Isun emong nanggung wirang, Sun anteni nang cracabane lawang (Semembyar – Yon DD)
Seorang gadis telah menerima lamaran kekasihnya untuk menikah. Undangan telah telanjur disebar (semebyar) ke seluruh penjutu kota. Pada hari pernikahan, lelaki itu tak pernah datang menampakkan belah hidungnya. Ia menghilang tanpa kabar, tanpa alasan. Si gadis masih tetap menunggu penuh harap, ia percaya kekasihnya tak akan berkhianat. Sampai pada ujung batas kesabaran, keluarganya tak sanggup lagi menanggung malu (nanggung wirang), ia terpaksa dinikahkan dengan tetangganya yang sama sekali tak dicintainya. Ia pasrah dan menerimanya untuk menutup malu.
Awalnya saya mengira lagu ini hanya kisah fiksi, belakangan saya baru sadar ketika banyak orang Banyuwangi mengakui cerita ini nyata, kisah yang umum sekali di kehidupan mereka. Wacana ‘kegetiran’ musik Banyuwangi memang tak bisa saya abaikan. Sependek saya menikmati musik ini, suara ratapan itu muncul berkali-kali. Memang tak semua lagu berwarna ‘gelap’, tapi sebagian besar didominasi oleh ratapan kegetiran. Tak perlu susah untuk melihat bagaimana wajah (identitas) Banyuwangi dicitrakan oleh wacana musiknya, anda bisa googling dengan kata kunci ‘musik Banyuwangi’, dan lihat apa yang anda jumpai.
Dari lagu Genjer-Genjer ciptaan M Arief tahun 1942, yang dipopulerkan ketika masa penjajahan Jepang hingga deretan lagu “kendang kempul” populer yang hits seperti tau tatu, sun akoni, tutupe wirang, kelangan, dan lungset, semuanya tak jauh-jauh dari suara ratapan. Kegetiran itu tak sebatas lirik, tapi juga nyata dialami pelaku seninya. Mbok Temu adalah maestro gandrung yang rilisan rekaman-nya berjudul Songs Before Dawn laku keras di pasar Internasional, namun hingga kini ia tak pernah merasakan keuntungan ekonominya. Sekali lagi, jika boleh berasumsi, saya memandang bahwa kekuatan musik Banyuwangi terletak pada dimensi kegetirannya.
Gambaran konteks tentang wacana musik Banyuwangi ini sengaja saya angkat dalam tulisan singkat ini untuk memahami komposisi musik Pungki. Saya masih meyakini bahwa ide komposer itu tak ujug-ujug jatuh dari langit. Bagaimanapun juga, konteks memiliki pengaruh kuat membentuk landasan berpikirnya.
Dalam percakapan telfon, Pungki pernah bercerita bahwa “ia ingin membuat sesuatu yang baru dan bebas”, “ia tak ingin terbelenggu imajinasi tentang ‘kemapanan’ musik Banyuwangi”. Sikapnya ‘Jantan’ memang, ia benar-benar ingin melepaskan yang ‘lalu’ dan menyambut yang ‘baru’.
Karya Pungki memang sudah lepas dari wujud gelap, jauh dari nuansa ratapan. Ia terlahir ceria, riang dan lucu. Tapi, sejujurnya ia tak pernah benar-benar bisa menyembunyikan ‘getir’ dalam batinnya. Perasaan tentang bayangan imajinasi masa lalu yang lebih ‘mapan’, beradu padu dengan bayangan ‘ketidakpastian’ dan ‘keragu-raguan’ tentang masa depan. Perasan itu memang tak mewujud jelas, tapi jelas meledak-ledak dalam hatinya. Kegetiran telah mendorong ambisinya, dan membakar keberaniannya. Dan, saya pikir kegetiran tak pernah benar-benar hilang dalam tubuh Banyuwangi-nya.
Semuanya tampak jelas seperti gambaran Cak Rusdi Mathari “Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik.
dengan ketrampilannya iya mampu menunjukkan jati dirinya. iya, seni mencetak karakter dirinya, kang pungki biasa saya memanggilnya “awak lemu buntek tapi manis eseme” ( badan gemuk gemulai tapi manis senyumnya) alangkah komplit jika melihat pengalaman, kedewasaan berpikir, serta ketrampilan berkeseniannya. sayang??? batinnya tidak semanis dengan karya-karya hasil ciptaannya. dalam urusan asmara, ketrampilannya berbeda dengan iya ketika sedang meramu komposisi musik, dengan coretan ini mungkin tidak penting bagi sebagian orang yang mungkin tidak sengaja mampir untuk sekedar iseng membaca karya tulis dari kang panakajaya hidayatullah ini, namun bagi saya sendiri memang ada niat untuk ngobong-ngobongi ( ngompor-ngompori ) atau memprofokasi dirinya (pungki) untuk cepat mencari pasangan hidup, dengan hadirnya karya tulis kang panakajaya hidayatullah yang sedikit banyak menyenggol pungki sebagai salah satu obyek bahan karya tulisnya saya sengaja menulis coretan ini supaya dirinya bergegas ndang-ndang golek rabi, umur wes tuwek kang pung, ayorowesssss langite wes endep gancango weh…. (@pungkihartono)