Belajar Mengidentifikasi Musik Purwanta

Oleh: Erie Setiawan

Sejujurnya agak sulit mengidentifikasi musik garapan Purwanta hanya dalam satu identitas saja. Berulang kali saya memutar rekaman hasil latihan mereka, dan berusaha mencari tahu melalui unsur-unsur detail yang ia kemukakan di dalam “bunyi” dan “instrumen” dari tiap repertoar.

Apakah musiknya bisa, atau cukup, disebut band-bandnan begitu saja? Rasanya kok nanggung. Kalau kita dengarkan, band-bandnan gaya Purwanta bukan band-bandnan ala musik pop yang umum kita dengar, meskipun kita akan ketemu drum, keyboard, dan bass sebagai komponen rhythm sections, dan vokal yang cukup penting menjadi highlight dalam performance.

Yang bikin musik Purwanta agak kurang pas untuk hanya disebut band-bandnan “biasa” adalah: pertama, adanya instrumen bonang dan vokal-sindhenan di situ—tapi lebih tepatnya adanya siasat kompositoris dengan instruksi teknik permainan spesifik yang ia lakukan terhadap alat musik band, vokal, dan bonang. Jelas ada perbedaan logika ketimbang ngeband biasa.

Fusion? Relatif logis, lumayan nyerempet kesitu. Ada pola-pola ritme tertentu di mana itu “ngerock” banget meskipun tampil tanpa distorsi, misalnya dalam karya Terarus. Selain itu, progresi akor yang digunakan Purwanta juga terhitung tidak “polos-polos saja”. Musik jazz rasanya tampak jelas menyentuh selera Purwanta. Wajar, karena ia bergaul juga dengan banyak musikus kenamaan negeri ini, misalnya Dwiki Dharmawan, Idang Rasjidi, Syaharani, Trie Utami, dan lain-lain; tak terhitung pula pengalaman kolaborasi jazz dengan musisi mancanegara lainnya. Purwanta yang berlatar karawitan ikut kesetrum jazz, itu bisa dipastikan.

Lalu apakah rentetan identifikasi berikut ini juga bisa masuk? Etnik, Kontemporer, Fusion Etnik? Bagaimana hulu-hilirnya? Dan sejauh apa kita musti meninjau? Kalau disebut etnik, yang nyambungnya ke etimologi/epistemology di dalam musik tradisi, jadinya agak sulit ketemu, karena Pak Pur, jika kita usut dari konsep-konsep kompositorisnya di Vertigong ini, tidak mengakar/berangkat dari khazanah tradisi tertentu/etnik tertentu yang digunakan sebagai frame kompositoris.

Contoh gampang: ia meleburkan bonang untuk tampil “tidak pada kodratnya” (dengan rancakan tinggi, dimainkan posisi duduk di kursi, tidak lesehan seperti gamelan umumnya).Ia juga melepaskan fungsi-fungsi tertentu di dalam “bonang konvensional” layaknya karawitan. Maka bonang berbunyi tampak seperti bermain melodi, lalu dalam beberapa bagian muncul sebagai counter harmony dalam kadarnya, melengkapi keyboard dan bass. Dengan paduan gerak lincah tangan kiri dan kanan, bonang berimprovisasi juga demi menciptakan “sisi lain” bonang dan fungsinya.  

Ah, agak mbulet, ya? Apakah Purwanta juga berpikir soal identifikasi itu? Apa perlu kita tanyak langsung ke Pak Pur?

Bagaimana ini, Pak Pur, musik panjenengan ini enaknya disebut apa?

“Saya sendiri tidak terlalu berpikir soal itu. Mangga saja. Yang jelas saya mengalami berbagai persentuhan, mulai dari karawitan, jazz, world music, kontemporer, dan seterusnya. Itulah yang terjadi.Pada prinsipnya saya membuat musik yang sebenarnya cukup rumit dimainkan, namun bagaimana caranya tetap ‘enak didengar’, agar pesan tetap bisa sampai ke audiens/pendengar.”

Mengapa bonang?

“Pertama kali dikenalkan oleh Mogong (Romo Bagong Kussudiardja). Waktu itu saya masih SMKI, bantuin iringan tari karya beliau. Lalu saya diminta improvisasi dengan bonang. Waktu itu kurang lazim, bonang kok improvisasi. Meski agak gugup, saya pun melakukannya. Akhirnya kecantol. Bisa dikatakan bahwa bonang saat ini adalah istri saya yang kedua.”

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.