Sangkan Paraning Nâmâlî
Oleh: Andri Widi Asmara
Enam tahun silam, semua cerita ini bermula, ketika komponis jejaka kelahiran ’95 itu mendapat wangsit dari dalam dirinya sendiri, “Aku nduwe impen iso nggawe jenis gamelan anyar”. Wangsit itu merangsang otak dan jemarinya untuk merancang sebuah sketsa. Sketsa yang tergolong rawan. Sketsanya bermain-main di ranah bebunyian, yang di belakangnya masih terikat kencang oleh tiang-tiang norma tradisional.
Sketsa itu embrio dari seluruh pencapaian yang sudah ia lakoni saat ini. Sketsa itu adalah desain dan rancangan sebuah gender jenis baru. Terinspirasi dari sistem Gender Jawa dan Gong Kemodhong/Gong Anggang, ia menginginkan adanya dua pusaka bunyi yang dimiliki oleh Jawa, yaitu Pelog dan Slendro bergumul di ricikannya. Namun, tidak berhenti di situ, ia ingin sesuatu yang lain di dalamnya. Maka ia tambahkan dua sistem laras baru, ia sebut sendiri bernama Slendro Miring Jawa dan Pelog Miring Jawa.
Terjadilah pergumulan empat sistem laras berbeda dalam satu ricikan gender, yaitu Slendro, Slendro Miring Jawa, Pelog, Pelog Miring Jawa. Untuk membuktikan bahwa rancangannya masuk akal, perlahan ia mulai berprogres mewujudkan bentuk fisiknya. Tak sampai waktu setahun, prototypenya jadi, ia baptis dengan nama Gender Nâmâlî. Ia mulai ujicobakan pada proses pengkaryaannya. Dalam waktu ujicoba ini, ia menyimpulkan bahwa Gender Nâmâlî ini sangat fleksibel dan fungsional untuk bisa dimainkan pada kebutuhan karya klasik maupun non klasik.
Dasarnya si komponis memang orang yang tidak mudah puas, ia tak berhenti di situ. Dari eksperimennya membuat Gêndèr Nâmâlî, dua tahun setelahnya ia mulai menemukan big desain untuk masa yang akan datang, yaitu Gamelan Nâmâlî. “Gamelan Nâmâlî itu bukan sebuah nama instrumen”, jelasnya. “Itu jenis instrumen/ ricikan. Di dunia ini banyak jenis Gamelan seperti: Gamelan Jawa, Gamelan Sunda, Gamelan Bali, dll. Gamelan Nâmâlî di antaranya”, pungkasnya tegas.
Dari sini jelas, si komponis serius dengan niatnya membuat suatu jenis gamelan baru. Dalam laju pengembangannya, Gamelan Nâmâlî terbagi menjadi beberapa famili/marga, salah satunya ia sebut Lâkyûgân. Menurutnya, Lâkyûgân itu singkatan ‘wilah kayu ngawang’. Inspirasi bentuk Lâkyûgân menurutnya diperoleh dari banyak aspek, namun akarnya dari relief di Candi Borobudur. Ia ingin Lâkyûgân mempunyai organologi instrumen yang bernafas kuno.
Ia menolak bahwa Lâkyûgân dianggap sebagai Gambang. Menurutnya, di Jawa ada aturan ketat di setiap penamaan ricikan. Walaupun sama-sama dari kayu, Lâkyûgân tidak memenuhi ciri-ciri organologis untuk disebut Gambang. Lâkyûgân sendiri sudah terbagi menjadi 4 ricikan, yaitu Lâkyûgân’mâ, Lâkyûgân’nyû, Lâkyûgân’gên, dan Lâkyûgân’ûdhrâ. Imbuhan akhiran dari masing-masing Lâkyûgân diambil dari nama elemen yang juga dipahami masyarakat jawa sejak zaman kuno: ’mâ : Lemah ’nyû : Banyu ’gên : Geni ’ûdhrâ : Udhara
…………………….*Bersambung ke part #2