Yuddan Fijar Dan Pandangan Tentang Musik

Oleh: Yudhistira Sugma Nugraha

Perspektif orang dalam memaknai musik sejatinya tidak bisa digeneralisasi. Ada yang berpikiran bahwa musik itu adalah sekumpulan instrumen bernada yang dimainkan secara bersama-sama. Bahkan masyarakat Madura khususnya di Tapal Kuda, istilah musik sering dimaknai sebagai peristiwa pementasan. Misal di suatu tempat terdapat pementasan electone atau dangdut, mereka secara spontan akan mengatakan “di sana ada musik”. Mereka tidak peduli genre apa yang dipentaskan dalam acara tersebut. Baginya, kata ‘musik’ sudah cukup mewakili untuk dikomunikasikan kepada khalayak tanpa harus memberi embel-embel di belakangnya. Bagi masyarakat Madura pada umumnya, kata ‘musik’ dalam konteks hajatan sering diartikan sebagai pementasan musik dangdut. Oleh karenanya tak heran apabila pemahaman mereka tentang istilah musik lebih cenderung dimaknai sebagai peristiwa pementasan musik ‘dangdut’.

Pandangan masyarakat Madura terhadap istilah musik, berbanding terbalik dengan salah satu orang berkelahiran “Madura Swasta” ini. Yaps, Yuddan Fijar seorang yang lahir di Kabupaten Bondowoso. Dengan kultur yang didominasi oleh etnis Madura, secara pemikiran ia memiliki perspektif yang jauh lebih luwes dibandingkan dengan masyarakat Madura pada umumnya. Ia memaknai musik tidak hanya dari persoalan unsur-unsur musik yang telah diketahui banyak orang (irama, tonalitas, dan lain sebagainya). Di lain waktu, Yuddan Fijar pernah mengunggah status di WhatsApp (aplikasi mobile) pribadinya yang memuat tentang bunyi-bunyian segerombolan kodok di malam hari yang bersautan. Pada unggahanya, ia merekam peristiwa bunyi itu dan memberi keterangan pada status itu dengan kalimat “orkestrasi alam”. Silih berganti suara kodok itu melontarkan teriakan-teriakannya, keras lirih secara spontan tertata dengan rapi laiknya konser musik yang didesain dengan nuansa dramatik. Dari peristiwa bunyi ini, saya melihat bahwa Yuddan memiliki bekal perspektif yang berbeda untuk memaknai sebuah peristiwa bunyi yang kemudian dianggap sebagai sebuah musik. Pun dengan karyanya yang akan dipentaskan pada gelar komposer tahun 2022 ini.

Karya yang akan ia pentaskan pada kesempatan ini sama sekali tidak menggunakan medium alat musik sebagai kekuatan dalam sajiannya. Yuddan mencoba menghadirkan bunyi-bunyian vokal yang berakar dari kesenian Pojhiân di daerahnya. Tidak hanya tembang-tembang dan lantunan do’a yang menonjol di dalam sajianya. Yuddan juga membingkai pola-pola ritme dengan bahasa-bahasa tertentu. Ada 4 sampai 5 pola-pola sesautan dalam karyanya yang apabila dibunyikan secara bersamaan akan menghasilkan orkestrasi vokal (akapela). Elemen-elemen pembingkai pola ritme tersebut di antaranya meliputi; 1) hempah-pah-hem bha-bha, 2) he’ ca he’, 3) calelet, 4)arras, 5) hordong. Vokal sesautan ini dilakukan oleh banyak orang. Setidaknya setiap pola disuarakan oleh 3-4 orang. Jadi jalinan antara pola-pola vokal sesautan tersebut dapat terdengar dengan jelas dan saling mendominasi. Sesekali sajian vokal sesautan itu menyerupai seni kecak yang ada di Bali, tentunya dengan versi yang berbeda. Jika bali memiliki seni kecak, Bondowoso juga memiliki seni yang serupa yakni Pojhiân.

Yuddan dengan keluwesannya memandang musik, seakan memberikan alternatif dan warna baru dalam geliat seni musik khusunya dalam Gelar Komposer Tahun 2022 ini. Ia tidak lagi memandang bahwa bermusik ya harus menggunakan alat musik. Selagi ada elemen bunyi yang mampu dimanfaatkan untuk menjadi sebuah sajian musik, mengapa tidak?. Membaca musik itu tidak melulu tentang instrumen yang bernada, melainkan tentang bagaimana perspektif kita memaknai apa yang dinamakan musik itu sendiri.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.