Pergelaran

Pergelaran Sandur Bojonegoro

Kesenian Sandur Bojonegoro pada dasarnya adalah kesenian berbentuk ritual, yakni seni yang berkaitan dengan kepentingan memanunggalkan manusia dengan Tuhannya atau kekuatan adikodrati yang dipercayainya. Kesenian seperti ini biasanya hanya berkembang di suatu tempat tertentu, tidak menyebar sebagaimana yang terjadi pada seni pertunjukan pada umumnya. Secara bentuk dan visual tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur maju atau mundurnya suatu peradaban, karena hal tersebut berhubungan dengan soal keyakinan atau kekuatan sistem kepercayaannya. Seni-seni ritual sebagai bagian dari sistem kepercayaan lama, oleh karenanya seringkali disertai dengan cerita-cerita mitos, unsur-unsur magis, kesaktian-kesaktian, sistem simbol dan sistem pemaknaannya. Masing-masing aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam sistem kepercayaan masyarakat, sebagaimana kesenian Sandur Bojonegoro.

Penyerahan piagam penghargaan dari Disbudpar Jatim yang diwakili Kepala Bidang Cagar Budaya dan Sejarah Dr. Evi Wijayanti Kepada Pemkab Bojonegoro yang diwakili oleh Kadisbudpar Kab. Bojonegoro Budiyanto, S.Pd., M.M. (Foto dok. TBJT)

Sandur Bojonegoro pada mulanya berasal dari hiburan masyarakat agraris seusai lelah seharian bekerja di sawah kemudian berkembang menjadi produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Di dalamnya terdapat unsur cerita (drama), tari, karawitan, akrobatik (kalongking) juga terdapat unsur-unsur mistis, karena dalam setiap pementasannya selalu menghadirkan danyang (roh halus). Sebagai upacara ritual, pertunjukan diadakan di tanah lapang sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang dicapai. Tidak diketahui bagaimana asal muasal sandur, namun para pelaku meyakini sandur sudah ada sejak zaman kerajaan yang terkait dengan kepercayaan animisme. Kata Sandur itu sendiri berasal dari kata “san” yang berarti selesai panen (isan) dan “dhur” yang berarti ngedhur (sampai habis). Namun sumber lain mengatakan bahwa sandur berasal dari bahasa Belanda yaitu soon yang berarti anak-anak dan door yang berarti meneruskan.

Versi lain lagi menyebutkan bahwa Sandur yang terdiri dari berbagai cerita tersebut dengan sandiwara ngedhur, artinya kesenian itu terjadi karena berisi tentang berbagai macam cerita yang tak akan habis sampai pagi. Atau ada lagi yang menyebut rangkuman dari kata beksan dan mundur. Sandur adalah seni pertunjukan rakyat yang sederhana. Bentuk pementasannya hanya dilakukan di tanah lapang dan dibatasi pagar tali berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 8 x 8 meter yang disebut Blabar Janur Kuning, diberi hiasan lengkungan janur kuning dan digantungi aneka jajan pasar, ketupat dan lontong ketan atau lepet. Dua batang bambu ori ditancapkan dengan ketinggian kurang lebih 10-12 meter, dan di antara bambu tersebut dipasang tali besar yang menghubungkan keduanya untuk adegan Kalongking yang mistis.

Tata cahaya menggunakan obor mrutu sewu, yaitu sejenis obor yang lubang untuk menyalakan apinya terdapat lebih dari 3 lubang. Obor ini terbuat dari bambu ori, dipasang di sekeliling arena pertunjukan. Kemudian dibacakan mantera dan sesaji dengan tujuan agar acara dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Sesaji yang dipersiapkan antara lain, beras, dupa, cikalan yang bagian tengahnya diberi gula merah, kembang setaman dan kembang boreh. Durasi pertunjukan Sandur tidak memiliki batas waktu tertentu, bisa disajikan 3 hingga 5 jam pertunjukan.

Foto dok. TBJT

Namun Sandur sebagai ritual biasanya disajikan pada malam hari mulai pukul 21.00 WIB hingga selesai menjelang subuh atau sekitar jam 03.00 WIB. Jumlah pendukung pementasan sekitar 20 sampai 25 orang, yang terbagi dalam perannya masing-masing yaitu, 2 orang sebagai pemain musik atau Panjak Kendang dan Panjak Gong, 10 sampai 15 orang sebagai Panjak Hore, 1 orang pemain Jaranan dan 1 orang Srati (pawang/dukun), 5 orang sebagai pemeran tokoh (Germo, Cawik, Pethak, Balong, Tangsil) dan 1 orang sebagai pemain Kalongking. Pemilihan pemain untuk tokoh Balong, Pethak, Cawik dan Tangsil tersebut adalah empat anak laki-laki yang belum dikhitan karena dianggap masih suci.

Instrumen musik yang digunakan adalah Gong Bumbung dan sebuah Kendang Batangan/Ciblon yang dibantu dengan Panjak Hore dan berperan sebagai pelantun tembang serta tukang senggak. Tembang yang digunakan dalam seni pertunjukan Sandur sangat fungsional, selain sebagai pengiring keluar-masuknya pemain juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh halus.

Sedangkan kostum dalam Sandur membedakan karakter peran satu dengan karakter peran lainnya. Kostum yang digunakan oleh para peran merupakan ciri bagi pemerannya yang mempunyai sifat khusus. Sandur terdiri dari delapan adegan yang terdapat dalam tiga babak, sedangkan pergantian babak selalu ditandai dengan tembang yang dilantunkan oleh Panjak Hore. Dalam seni pertunjukan Sandur tembang berfungsi sebagai pengiring keluar masuknya peran dan pergantian adegan, selain itu tembang juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh atau bidadari. Fungsi yang lain adalah sebagai narasi perjalanan tokoh peran.

Sandur hanya mempunyai satu lakon atau cerita yaitu hanya menceritakan tentang pertanian berdasarkan cerita turun temurun dan mitos yang berkembang di daerah tersebut. Dalam pertunjukan Sandur biasanya dilakukan dengan berjalan memutar searah dengan jarum jam dalam sebuah tanah lapang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko tetapi tidak jarang juga menggunakan bahasa Jawa Krama. Disela-sela pementasan juga ada sebuah parikan atau pepatah yang disampaikan seperti cangkriman dan dandang gulo.

Foto dok. TBJT

Pepatah ini berusaha untuk menasehati manusia yang hidup di dunia intinya adalah kita hidup sebagai makhluk sosial tidak boleh semena-mena, harus berhati-hati, tidak boleh sombong dan harus bersedia hidup bergantian dengan yang lain. Kita hidup di dunia juga membutuhkan orang lain. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kesenian ini mempunyai arti yaitu kehidupan masyarakat pertanian tradisional yang di dalamnya terdapat berbagai macam kejadian. Ada tahap-tahapan yang menceritakan kehidupan manusia dari dalam kandungan manusia hingga meninggal dunia. Selama hidup di dunia mereka mengerjakan pertanian mulai dari membersihkan sawahnya, ditanami padi, hingga panen.

Pada kesenian ini juga banyak menceritakan berbagai macam sifat dalam diri manusia. Melalui sifat itu manusia akan terdorong ke arah baik dan buruk. Dengan adanya sifat itu manusia akan mempunyai rasa bersyukur atas segala apa yang telah dimiliki saat ini. Pengungkapan rasa syukur tersebut dilakukan dengan dipentaskannya kesenian ini dengan segala bentuk tata busana, tarian, tahapan dan perlengakapan yang ada. Terdapat sajen dalam perlengkapan itu sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada leluhur atas apa yang dimiliki saat ini. Serta selalu berdoa dan memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selalu diberi kesehatan dan rejeki yang lancar. Adegan puncak yang paling ditunggu adalah Kalongking, yaitu seorang pemain memanjat bambu dan bermain acrobat di sebuah tali yang dibentangkan di antara dua bambu, kemudian turun melalaui bambu satunya dengan posisi kepala di bawah.

Dalam perkembangan terakhirnya kesenian Sandur Bojonegoro yang awalnya berbentuk ritual dengan beberapa modifikasi menjadi sebuah seni pertunjukan yang menarik untuk ditonton. Hasil modifikasi tersebut diharapkan akan muncul stimulasi untuk meningkatkan inovasi dan kreasi seni sehingga kesenian Sandur bisa berkembang di Kabupaten Bojonegoro. Selain itu, dengan modifikasi menjadi seni pertunjukan maka akan dikenal warga masyarakat di luar Kabupaten Bojonegoro.

Foto dok. TBJT

Taman Budaya Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melalui Dinas Kebudyaan dan Pariwisata, menggelar Kesenian Sandur pada hari Jum’at, 11 Oktober 2024 bertempat di halaman depan Gedung Kesenian Cak Durasim, acara dimulai sekitar pukul 19.00 wib. Grup Sandur yang dipergelarkan di halaman depan Gedung Kesenaian Cak Durasim adalah Grup Kesenian Sandur Kembang Desa – Sanggar Sayap Jendela dengan alamat Jln. Kapten Rameli, Kelurahan Ledok Kulon Bojonegoro. Bertindak selaku pimpinan Agus Sighro Budiono, jumlah personil yang memperkuat tim kesenian kurang lebih 30 orang, masing-masing 15 putra dan 15 putri. 

Kesenian Sandur Bojonegoro yang dipentaskan di Taman Budaya ini bukan lagi bentuk seni ritual yang masih murni yang mempertahankan pakem lama. Tidak ada sentuhan teatrikal, musikal dan perform yang mengarah pada bentuk seni pertunjukan yang bersifat menghibur. Menurut Agus Sighro Budiono pimpinan Sandur sekaligus sutradara, pergelaran Sandur di Taman Budaya ini merupakan tindak lanjut dari Pendokumentasian kesenian Sandur pakem yang dilakukan oleh Taman Budaya beberapa waktu lalu. Sandur yang dipentaskan adalah bentuk Kesenian Sandur pengembangan yang lebih mengedepankan unsur seni yang lebih dinamis. Kesenian Sandur yang dulu hanya menggunakan iringan musik berupa “kendang’ dan “gong bumbung” pada bentuk pengembangan ini ada penambahan berupa gamelan, saxophone, biola, drum, cak dan cuk yang menjadikan bentuk musik iringan menjadi lebih dinamis.

Kemudian pengembangan dalam bentuk lakon cerita yang dipentaskan juga tidak terpaku pada satu alur cerita yang berkisah tentang pertanian sebagaimana terjadi pada bentuk Sandur pakem. Pada pergelan Sandur di Taman Budaya ini lakon yang dipentaskan berjudul “Melik Nggendhong Lali”. Ringkasan cerita pada lakon tersebut adalah sebagai berikut: Balong dan Pethak adalah dua pemuda desa yang rajin bekerja. Sebagai petani, mereka bekerja dengan giat dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun seiring berjalannya waktu, kehidupan di desa membuat Pethak merasa bosan dan tidak membanggakan. Dengan tekad bulat ia pergi meninggalkan desa untuk mengadu nasib ke kota. Waktu terus berjalan, sepuluh tahun sudah Pethak meninggalkan desa, meninggalkan Balong dan tanah pekarangannya. Hingga pada waktunya Pethak kembali ke desanya. Namun pemuda lugu itu telah berubah 180 derajat.

Foto dok. TBJT

Ia bergaya kebarat baratan dan berlagak tidak mengenal orang orang tempatnya berasal. Melihat hal itu, Balong dan Cawik meminta kepada Wak Tangsil untuk mengembalikan kesadaran Pethak sebab Cawik mengira Pethak kerasukan. Wak Tangsil berhasil mengembalikan kesadaran Pethak namun tiba tiba datang Siti Gemek yang bergaya lebih gila dari Pethak. Pesan moral yang ingin disampaikan dalam cerita ini menurut Agus Sighro Budiono adalah kemajuan zaman adalah sebuah keniscayaan yang harus diikuti oleh siapapun, akan tetapi berpegang pada sebuah kesenian atau akar budaya kita itu menjadi sebuah kewajiban.

Walau pergelaran Sandur Bojonegoro yang diselenggarakan di Taman Budaya berlokasi jauh dari tempat aslinya namun menurut Agus Sighro tetap tidak meninggalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh para leluhur. Sebelum berangkat ke Surabaya para pemain Sandur Bojonegoro mengadakan ritual dengan melakukan ziarah ke makam para sesepuh Sandur Bojonegoro, meminta semacam izin bahwa kesenian Sandur Bojonegoro dikembangkan dalam bentuk seni pertunjukan yang lebih mengarah ke bentuk profan daripada sakral. Simbol-simbol yang diajarkan oleh para leluhur Sandur juga masih ditampilkan. Sebagai misal “kupat’ dan “lepet” yang mengandung ajaran bahwa seorang manusia itu harus berani “mengaku lepat” (mengakui atas kesalahan diri), kemudian jajanan pasar yang menggambarkan bentuk kemakmuran bahwa Sandur sebagai bentuk kesenian berbasis masyarakat agraris diharapkan mampu membuat masyarakat sejahtera.

Menurut Agus Sighro memang ada sesepuh Sandur yang tidak menghendaki kesenian Sandur dikembangkan menjadi bentuk pengembangan, namun pada akhirnya mereka menyadari bahwa kesenian Sandur tidak harus stagnan seperti itu terus menerus. Tetapi Sandur harus diperkenalkan kepada masyarakat luas terutama generasi terkini. Sehingga ketika pengembangan Sandur disampaikan membuat para sesepuh itu mempersilahkan. Pengembangan kesenian Sandur yang dilakukan oleh Agus Sighro Budiono dan kawan-kawan pada akhirnya menjadi lebih menarik sebagai bentuk seni pertunjukan daripada bentuk kesenian Sandur pakem yang berdurasi sangat lama dan hanya bercerita pada satu tema saja.

Foto dok. TBJT

Puncak dari pergelaran Sandur masih menampilkan adegan “kalongking”, yang menjadi bagian akhir dari pertunjukan. Atraksi kalongking menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu oleh para penonton. Pada atraksi ini pemain kalongking berputar-putar dan berjoget dengan kepala dibawah diatas tali dengan 2 bambu yang menopang. Sebuah adegan akrobatik yang membutuhkan nyali dan keahlian khusus, karena adegan ini sangat berbahaya bila sampai pemain kalongking terjatuh.

Bentuk pengembangan kesenian Sandur Bojonegoro yang dilakukan membuat kesenian ini akan tetap eksis dan bertahan di tengah-tengah perkembangan teknologi seperti sekarang ini karena kesenian Sandur tidak hanya berfungsi sebagai hiburan saja tetapi sebagai penyeimbang di tengah-tengah perkembangan teknologi sekarang ini karena MGMP Kesenian dan Dinas Periwisata dan kebudayaan telah sepakat untuk memasukkan Sandur kedalam ekstrakulikuler di sekolah-sekolah. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.