Pergelaran Kidung Macapat

Untuk pertama kalinya Taman Budaya Jatim menyelenggarakan Pergelaran Kidung Macapat yang diselenggarakan di Pendapa Jayengrana pada Kamis, 13 April 2023. Dimulai pukul 20.00 wib. Sampai dengan selesai. Pengisi acara yang tampil pada pergelaran ini adalah Komunitas Sekar Palupi dari Kota Surabaya. Pergelaran Kidung Macapat direncanakan akan dilangsungkan sebanyak 9 kali di tahun 2023 ini pada tempat dan waktu yang sama. Setelah pergelaran ini akan diselenggarakan lagi pada bulan Mei sampai dengan Desember.

Foto dok. TBJT

Ada 13 orang pemain baik sebagai pelantun tembang macapat maupun pengiring musiknya. Alat-alat musik yang digunakan mirip dengan alat musik pada Sholawatan, yakni: kendang, kenong, dua rebana kecil, dua rebana sedang dan satu rebana besar yang berfungsi sebagai semacam gong.

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.

Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Macapat diperkirakan muncul pada akhir kerajaan Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga. Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Islam, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam daftar isi saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat diantaranya Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhe. Macapat digolongkan kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhe berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno, tetapi dalam penggunaannya pada masa Mataram Islam, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Foto dok. TBJT

Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan. Macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.

Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula. Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat yakni: Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, Maskumambang, Sinom, Asmarandana, Durma, Mijil, Kinanti, Gambuh. Kesemua tembang macapat itu mengandung unsur historis dan falsafah Jawa.

Tembang macapat dengan segala isi kandungannya memiliki berbagai fungsi sebagai pembawa amanat, penuturan, pengungkapan rasa, media penggambaran suasana, media dakwah, alat pendidikan dan penyuluhan, nasihat kepada warga dan lainnya. Semuanya terwadahi oleh tembang macapat, baik suatu hal yang nyata dalam bentuk tersurat maupun kandungan kata yang tersimpan (tersirat). Hal ini menunjukkan betapa tingginya nilai-nilai yang terkandung dalam tembang macapat sebagai upaya menembus cakrawala kebudayaan Indonesia masa lalu, kini, maupun mendatang. Masyarakat Jawa mengidentifikasikan macapat layaknya mental spiritual untuk mendapatkan suatu makna hidup. (pr)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

One thought on “Pergelaran Kidung Macapat

  • 14 April 2023 pada 23:48
    Permalink

    Mantap…Selamat n Sukses ..Semangat Tim work UPT Taman Budaya Jatim
    Salam Budaya

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.