Wayang Orang Patrialoka Blitar Puncaki Pekan Wayang Jatim 2023

Pekan Wayang Jawa Timur 2023 yang dilaksanakan di Taman Budaya Jawa Timur mulai 5 – 9 November, pada puncak peringatan Hari Wayang Nasional tgl. 7 November dipergelarkan Grup Wayang Orang patrialoka dari Kota Blitar. Sebagai pengisi acara puncak, Patriloka tampil spektakuler. Dengan membawa rombongan berjumlah 61 personil baik sebagai pemain, penata artistik, pengrawit maupun tim pendukung lainnya, rombongan datang pada tanggal 7 November pagi. Kemudian mulai mengadakan latihan-latihan mulai siang hingga sore hari untuk persiapan perntas di malam harinya pukul 20.00 wib di Gedung Kesenian Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur.

Pemberian piagam penghargaan oleh Kepala Taman Budaya Jatim Ali Ma’ruf, S.Sos., M.M. kepada pimpinan sekaligus sutradara Grup Wayang Orang Patrialoka Kota Blitar Yohanes Erwien (Foto dok. TBJT)

Wayang orang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Jawa. Cerita yang dimainkan didasarkan pada kisah Mahabharata dan Ramayana yang mengandung pesan-pesan moral bernilai tinggi. Selain bentuk pertunjukan panggung teater tradisional, wayang orang juga diperankan dalam bentuk sendratari namun menggunakan dialog sebagaimana dialog dalam seni teater. Hal ini yang membuat wayang orang menjadi sangat menarik karena sulitnya pemeranan tokoh yang dimainkan. Seorang pemain wayang orang disamping dituntut bisa menari klasik jawa, juga dituntut penguasaan dialog sastra sekaligus bisa melantunkan tembang. Karena sulitnya menjadi seorang pemain wayang orang maka kaderisasi menjadi sangat sulit pula, hanya para pengabdi kesenian yang luar biasa yang bisa melakukannya. Sanggar Patrialoka Kota Blitar menjadi salah satu sanggar yang tetap konsisten mengkader para pemain wayang orang semenjak dari usia sekolah dasar.

Hal itu tak bisa dilepaskan dari peran sosok seniman Yohanes Erwien selaku pimpinan sanggar sekaligus pencari bakat pemain wayang orang di Kota Blitar. Kepedulian Yohanes Erwin pada eksistensi kesenian wayang orang tak perlu lagi dipertanyakan, berkat jasanya keberadaan Wayang Orang menjadi tetap eksis dan menjadikannya salah satu aset kesenian yang menjadi andalan Kota Blitar. Pergelaran wayang orang memang tidak bisa dikatakan sebagai bentuk hiburan kesenian berbiaya murah seperti pertunjukan elektone, campursari, dangdut atau yang lainnya. Tapi merupakan pertunjukan berbiaya mahal, karena melibatkan banyak seniman dan proses latihan yang panjang yang tentu saja bila tidak didasari dengan kecintaan yang sungguh-sungguh pada kesenian ini mustahil seorang seniman mau menekuninya di zaman yang serba instan seperti sekarang. Patrialoka merupakan nama sanggar kesenian yang berdiri pada 2010 di Kota Blitar yang sekaligus menjadi nama Grup Kesenian Wayang Orang sampai sekarang.

Pada puncak acara Pekan Wayang Jawa Timur 2023, Grup Wayang Orang Patrialoka menjadi pemuncak acara yang jatuh pada 7 November dengan mengusung lakon “Wahyu Cakraningrat”. Lakon Wahyu Cakraningrat bercerita tentang upaya tiga orang satria yaitu, Raden Lesmono Mandrakumara, Raden Sombo Putro dan Raden Abimayu yang berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Ketiganya sama-sama berambisi besar menjadi Ratu. Untuk itu, mereka harus bertarung untuk mendapat Wahyu Cakraningrat. Namun mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidaklah mudah karena sejumlah syarat harus dipenuhi agar Wahyu Cakraningrat bisa majing atau sejiwa dengan satria terpilih. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah: mampu handayani (membuat contoh yang baik) kepada rakyat, berpegang pada kejujuran, mampu memberikan keteladanan, mampu memberikan rasa tenteram kepada rakyat, mampu memberi rasa kasih sayang pada rakyat, mempunyai perilaku amanah, mampu merekatkan seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang, agama, ras dan budaya, serta harus peduli terhadap lingkungan.

Raden Lesmana Mandrakumara menaiki kuda menuju pertapaan (Foto dok TBJT)

Raden Lasmana Mandrakumara ingin memiliki Wahyu Cakraningrat, dan dia harus bertapa di hutan Gangga Warayang. Pada saat ditanya tentang kesanggupannya bertapa di hutan, maka Raden Lasmana Mandrakumara menjawab sanggup bertapa di hutan tersebut. Namun dia ingin agar dijaga paman-pamannya, di antaranya adalah Sengkuni dan Drona. Yang paling penting bagi Lasmana Mandrakumara adalah membawa minuman dan makanan dengan tujuan agar tidak kelaparan pada saat bertapa meraih wahyu. Dengan demikian diri si tapa akan tenang sehingga wahyunya nanti akan mudah menyatu ke tubuh (manjing sarira), itulah pemikiran para sesepuh Hastina. Keberangkatannya di antar oleh para punggawa prajurit berkuda dan Lasmana Mandrakumara naik Joli Jempana yaitu kereta yang ditarik lebih dari dua ekor kuda.

Lain lagi dengan putra mahkota Dwarawati satriya Parang Garuda Raden Samba. Dia satriya yang pemberani juga ingin bertapa di dalam hutan Gangga Warayang untuk meraih Wahyu Cakraningrat. Keberangkatannya diantar oleh para senapati sampai di perbatasan kraton. Selanjutnya berangkat sendiri dengan berjalan kaki. Ketika dalam perjalanan, Raden Samba bertemu dengan orang-orang Kurawa yang juga akan menuju ke hutan Gangga Warayang guna menyambut turunnya Wahyu Cakraningrat. Secara persaudaraan mereka saling bertegur-sapa tetapi setelah mengetahui keperluan masing-masing, mereka menjadi selisih pendapat. Awalnya hanya pertengkaran mulut, tetapi akhirnya menjadi pertengkaran fisik. Karena Raden Samba hanya sendirian maka ia tidak mampu melawan Kurawa, dan akhirnya menyingkir. Ada satu kebulatan tekad dalam diri Raden Samba. Walaupun kalah perang melawan orang-orang Kurawa dari Hastina bukan berarti harapan untuk memiliki Wahyu Cakraningrat berhenti. Wahyu Cakraningrat harus bisa diraih dan bisa menjadi miliknya, begitulah pikiran Raden Samba. Agar tidak bertemu dengan orang Hastina yang urakan itu maka Raden Samba melanjutkan perjalanan menuju hutan Gangga Warayang dari sisi lain.

Berbeda dengan Raden Abimanyu yang dikeroyok lima raksasa hutan, dan nampak satriya tersebut agak kewalahan. Kebetulan di angkasa terlihat Raden Gathotkaca yang sedang mencari Raden Abimanyu atas perintah sang paman Raden Arjuna. Dari angkasa Raden Gathotkaca telah melihat dengan jelas kejadian yang menimpa Raden Abimanyu, maka dengan segera dan cepat-cepat turun untuk membantu Raden Abimanyu. Dalam sekejab tamatlah riwayat lima raksasa pembegal itu di tangan Raden Gathotkaca. Setelah beristirahat sejenak, Raden Abimanyu menjelaskan kepada Raden Gathotkaca, bahwa dia sedang mencari Wahyu Cakraningrat. Maka Raden Gathotkaca dimohon agar pulang dahulu. Setelah Raden Gathotkaca pulang maka Raden Abimanyu melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu gunung yang dijadikan sebagai tempat bertapa.

Raden Abimanyu menghalau para penghalang (Foto dok. TBJT)

Sedangkan Punokawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berada di tempat yang jauh menanti selesainya Raden Angkawijaya (Abimanyu) bertapa. Sudah berbulan-bulan belum ada tanda-tanda selesai bertapa.Tiba-tiba keempat panakawan tersebut di suatu hari waktu larut malam melihat cahaya sangat terang turun di hutan Gangga Warayang bagian timur yang disusul dengan suara gunung meletus. Panakawan bingung, khawatir terhadap tuannya (bendaranya) yaitu Raden Angkawijaya, jangan-jangan suara tadi mengenainya sehingga mengakibatkan kematian. Baru saja akan beranjak tiba-tiba para panakawan mendengar sorak-sorai, yang ternyata adalah orang-orang Kurawa. Mengapa dan ada apa mereka bersorak-sorai? Wahyu Cakraningrat sudah turun dan berada pada diri Raden Lasmana Mandrakumara. Para Kurawa langsung mengajak Raden Lasmana Mandrakumara pulang ke negeri Astina. Rasa suka cita yang tiada taranya telah dirasakan oleh semua punggawa Hastina yang dalam hatinya masing-masing merasa sukses dan berhasil. Para golongan tua di antaranya Drona, dan Sengkuni merasa berhasil dan sukses mendidik Raden Lasmana Mandrakumara. Yang muda merasa berhasil memberikan petunjuk dan arahannya kepada putra mahkota itu dan masing-masing merasa berjasa. Sehingga semua berkata “kalau tidak ada saya mungkin gagal untuk mendapat Wahyu Cakraningrat.”

Rombongan Kurawa segera pulang untuk merayakan keberhasilan Raden Lasmana Mandrakumara. Dalam perjalanan pulang rombongan Kurawa tidak merasa bahwa perjalanan kembali itu sudah mendapat separuh perjalanan. Tiba-tiba Raden Lasmana minta berhenti sebab dia bertemu orang yang berjalan sedang membawa barang bawaan dan tidak menghormat saat berada di depan Raden Lasmana Mandrakumara. Maka ditendanglah hingga orang itu terguling-guling di tanah dan barang bawaannya terlempar jauh serta hancur berantakan. Begitu ada kejadian seperti itu maka para punggawa yang merasa berjasa cepat-cepat ikut marah. Orang tadi terus dipukuli dan ditendang seperti bola. Orang itu hilang berubah menjadi cahaya dan kemudian masuk ke tubuh Raden Lasmana Mandrakumara dan keluar lagi bersama Wahyu Cakraningrat. Seketika itu jatuhlah Raden Lasmana Mandrakumara hingga pingsan. Mereka bersama-sama lari mengejar Wahyu Cakraningrat dan saling mendahului. Raden Lasmana Mandrakumara ditinggal sendirian di tempat itu. Sejenak peristiwa itu berlalu, terlihatlah dua cahaya dari angkasa turun di hutan Gangga Warayang di bagian sebelah barat.

Tidak lama kemudian Raden Samba yang bersemedi di tempat tersebut merasa bahwa dirinya sudah bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Dia sangat bangga bahwa dengan kekuatan sendiri bisa mendapatkan wahyu tersebut. Maka berangkatlah Raden Samba pulang ke Dwarawati dengan hati yang sombong karena Wahyu Cakraningrat sudah berada pada dirinya. Tiba-tiba Kurawa mengejar dan meminta wahyu yang sudah berada pada diri Samba. Sudah barang tentu Raden Samba tidak memperbolehkan. Terjadilah peperangan yang sengit. Ternyata tidak ada yang bisa melawan kekuatan Raden Samba. Mereka lari tunggang langgang dan tidak ada lagi yang berani berhadapan dengan Raden Samba. Dengan larinya para Kurawa itu berarti mereka telah kalah dan tidak akan berani lagi mengganggu perjalanan Raden Samba. Demikianlah Raden Samba merasa dirinya paling kuat dan sakti mandraguna. Dia berani mengatakan ”akulah segalanya.” Bahkan Raden Samba telah berani mengukuhkan ”Akulah orang yang akan menurunkan Raja-raja “

Pada akhirnya Raden Abimanyulah yang mendapatkan Wahyu Cakraningrat karena budi luhur yang ada pada dirnya (Foto dok TBJT)

Kesombongan Raden Samba sedang bertahta dalam singgahsana hatinya. Seketika itu juga nampak di matanya seorang perempuan bersama seorang laki-laki tua. Si perempuan itu masih muda, cantik berkulit kuning langsap, bermata juling. Mereka menghaturkan sembah kepada Raden Samba. Dan tentu Raden Samba sangat rela untuk menerima sembahnya. Keduanya ingin mengabdi kepadanya. Itulah keperluan mereka berdua, mengapa keduanya menghadap ke sang penerima Wahyu Cakraningrat. Seketika itu juga Raden Samba berkenan untuk menerimanya tetapi si laki-laki ditolak dengan alasan sudah tua dan dipastikan tidak mampu bekerja, justru akan membuat kesal saja. Dengan hinaan itu menyingkirlah orang tua tersebut. Tentu saja si perempuan cantik itu mengikuti jejak si tua. Tetapi Raden Samba telah mengejarnya, sambil merayu si perempuan cantik yang mengaku bernama Endang Mundhiasih. Jawab Mundhiasih sambil melontarkan kemarahan atas ketidak adilan serta tidak adanya rasa belas kasih terhadap orang tua, hanya perempuan saja yang dikejar-kejar. Endang Mundhiasih berkata “Wahyu Cakraningratmu tidak pantas untuk menghujat”. Ternyata Mundhiasih dan orang laki-laki tua itu kemudian hilang bersamaan dengan sinar Wahyu Cakraningrat pergi meninggalkan Raden Samba. Seketika itu badan raden Samba terasa lemas bagaikan orang tak berpengharapan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat. Bukan main rasa kecewa Raden Samba terhadap watak sombong dan congkaknya ketika merasa wahyunya sudah pergi. Wahyu Cakraningrat tidak kuat menempati rumah (tubuh) yang congkak dan sombong. Akhirnya Raden Samba menyadari bahwa Wahyu Cakraningrat bukanlah miliknya. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur maka pulanglah Raden Samba ke Kadipaten Parang Garuda di negara Dwarawati.

Di tempat lain, di sebelah selatan hutan Gangga Warayang, terlihat empat panakawan seperti biasa masih menanti selesainya tapa sang bendara. Pekerjaan seperti ini sudah terbiasa dilakukan oleh para panakawan sejak jaman Maharesi Manumayasa.Namun pada malam hari mereka berempat merasa seperti ada bayangan hitam berada tepat di tengah-tengah mereka. Bayangan tersebut sambil berkata ”Jawata bakal marengake dheweke nampa Wahyu Cakraningrat ”. (Dewata memperkenankan dia untuk menerima Wahyu Cakraningrat)Demikian para panakawan bergembira ria karena bendaranya telah mendapatkan apa yang didiinginkan. Dan benar, Raden Angkawijaya telah keluar dari pertapaannya. Wajahnya kelihatan cerah bersinar, tubuhnya nampak segar utuh tanpa cela. Memang itulah tubuh yang telah berisi wahyu. Maka berangkatlah pulang dan mereka memperhitungkan bahwa apa yang diidamkan telah terlaksana dan selesailah. Tiba-tiba datang para Kurawa mengejar Raden Angkawijaya yang telah mendapat Wahyu Cakraningrat. Para Kurawa mengejar Raden Abimanyu karena ingin merebut Wahyu Cakraningrat dan ternyata para Kurawa tidak mampu mengejarnya hingga Raden Angkawijaya sudah sampai di istana Amarta yang pada saat itu di Amarta sedang ada rapat rutin (siniwaka). Mereka semuanya bersyukur karena apa yang diinginkan Angkawijaya telah menjadi kenyataan. Dan Angkawijaya-lah kelak yang akan menurunkan raja-raja di Jawa.Tak lama kemudian terdengar suara ramai di luar yang ternyata orang-orang Kurawa yang merasa bahwa Wahyu Cakraningrat sudah menjadi milik Raden Lasmana Mandrakumara, maka mereka menginginkan agar Wahyu Cakraningrat di kembalikan kepada Raden Lasmana Mandrakumara. Peperangan antara Kurawa dengan Pandawa tak bisa dihindarkan. Namun tak ada si jahat dapat mengalahkan kebaikan.

Kurawa yang merasa berhak atas Wahyu Cakraningrat berusaha merampok apa yang telah didapat oleh Raden Abimanyu, namun berhasil dihalau oleh Ksatria Pendawa Werkudara (Foto dok. TBJT)

Wahyu Cakraningrat adalah wahyu keprabon, siapa saja yang mendapatkan anugerah Wahyu Cakraningrat kelak dia atau keturunannya akan menjadi raja dan pada akhirnya ksatria yang berbudi luhurlah yang mendapatkan Wahyu Cakraningrat, watak-watak itu ada pada diri Raden Abimanyu. Dalam era kekinian, wahyu dimaknai sebagai anugerah Illahi karena keutamaan, keuletan, kesungguhan manusia untuk berikhtiar memperjuangkan nilai-nilai luhur. Mencari wahyu dalam era modern oleh Sutradara Yohanes Erwien dimaknai sebagai usaha terus menerus dari manusia-manusia pilihan dalam meraih cita-cita luhur, berjuang untuk suatu nilai yang mampu menjadi teladan. Dan para dewa sebagai pemegang otoritas tertinggi akan memberikan penghargaan terbaik untuk manusia terpilih. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.