Pergelaran

Pergelaran Wayang Kulit Lakon “Wahyu Kasampurnan”

Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Sapta Darma wilayah Surabaya menggelar pergelaran wayang kulit semalah suntuk dalam rangka peringatan Pahargyan Suro 1958 Saka (Tahun Jawa) di Pendapa Jayengrana Taman Budaya Jawa Timur pada Sabtu, 3 Agustus 2024 pukul 19.00 WIB. Pergelaran wayang merupakan puncak acara yang diselenggarakan setelah serangkaian acara peringatan dilaksanakan. Lakon yang dibawakan pada pergelaran wayang kulit yakni “Wahyu Kasampurnan”, dibawakan oleh dalang Ki Adiyanto, S.Sn., M.M. yang juga salah satu Pamong Budaya di Disbudpar Provinsi Jawa Timur.

(Foto dok. TBJT)

Lakon Wahyu kasampurnan mengisahkan tentang perjalanan Bima yang diutus gurunya Resi Drona, untuk mencari banyu prawitasari yang berada di Gunung Candramuka. Bima tidak mengetahui bahwa tujuan tugas yang diberikan kepadanya untuk mengurangi kekuatan Pandawa lima. Sebab, jika Bima tewas dalam tugas ini akan lebih mudah untuk membunuh saudara-saudaranya yang lain. Resi Drona sebagai guru Bima sebenarnya enggan menggunakan cara licik seperti ini. Namun, karena ia merasa berhutang budi pada Duryudana dan Sengkuni, ia dengan berat hati melakukan hal ini.

Bima sendiri dikisahkan berhasil mencapai Gunung Candramuka, namun ia tak bisa menemukan air yang dimaksud sang guru. Akhirnya dirinya pergi ke hutan namun malah diganggu dengan dua raksasa bernama Rukmala dan Rukmakala. Dengan kekuatannya, Bima berhasil mengalahkannya, namun air suci itu tetap tidak ditemukan. Karena itulah, dirinya kembali menemui dan menanyakan pada Drona. Alangkah terkejudnya Drona saat melihat Bima masih dalam keadaaan segar bugar. Untuk menutupi niat jahatnya, Drona mengatakan bahwa perintah untuk pergi ke Candramuka adalah dalam rangka untuk menguji keteguhan hatinya. Drona lantas, menunjukan Laut Selatan sebagai tempat keberadaan banyu perwitasari yang sebenarnya.

Bima meminta izin kepada ibu dan saudara-saudaranya. Mereka sempat melarang keberangkatan Bima karena yakin bahwa ini adalah niat jahat dari Drona. Tetapi Bima berkeyakinan, bahwa seorang guru tidak mungkin mencelakakan muridnya sendiri. Dirinya harus berjalan melewati Sunyapringga, hutan yang terkenal berbahaya untuk menuju ke Laut Selatan. Di hutan tersebut, dirinya sempat ditemui empat saudara Tunggal Bayu yang mencegah niat Bima, walau akhirnya gagal. Mereka kemudian membantu Bima dengan menyatukan diri menjadi Liman Setubanda, yang dijadikannya untuk mengarungi laut. Bima tenggelam melayang-layang dalam lautan setelah kendaraanya ini meninggalkannya.

(Foto dok. TBJT)

Bima dituntut untuk menghilangkan semua nafsunya. Dirinya juga harus melakukan sembah rogo, sembah cipto, sembah jiwo, dan sembah roso. Setelah melakukan keempat hal ini, dirinya akhirnya dapat berjumpa dengan Dewa Ruci. Semula Bima tidak melihat apa-apa di dalam tubuh Dewa Ruci. Namun setelah dibimbing, dia dapat melihat cahaya dengan empat warna, yakni hitam, merah, kuning, dan putih. Empat warna ini melambangkan angkara (hitam), amarah (merah), nafsu (kuning), putih (ketentraman). Setelah dapat mengendalikan nafsunya, Bima melihat juga tiga boneka berwarna kuning emas. Ini melambangkan bersatunya makrokosmos dan mikrokosmos yang menyatu dalam triloka, yakni tubuh, alam kesadaran, dan alam pikiran.

Rangkaian pergelaran wayang kulit dengan lakon “Wahyu Kasampurnan“ yang dibawakan oleh dalang Ki Adiyanto, S.Sn., M.M. ini diharapkan bisa membangkitkan semangat penyucian diri yang dilakukan oleh setiap warga Penghayat Sapta Darma pada pergantian tahun Jawa 1958 Saka tahun ini. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.