APRESIASI BUKAN SEKADAR SEREMONI: SAATNYA SENIMAN DIBERDAYAKAN
OLEH: ADIYANTO
Pamong Budaya Ahli Muda, Disbudpar Jatim
Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata secara konsisten menyelenggarakan Program Apresiasi Seniman, yang memberikan bantuan langsung kepada seribu seniman setiap tahunnya. Bentuknya berupa dana sebesar Rp 500.000 dan bingkisan sembako. Angka yang mungkin terlihat sederhana, tetapi dalam konteks sosial, psikologis, dan kultural, maknanya jauh lebih besar.

“Saya bukan mencari besar kecilnya bantuan. Tapi ketika nama saya disebut, saya merasa negara masih ingat bahwa saya ada.” (Suratman, seniman Dalang Sepuh dari Kab. Madiun, penerima Apresiasi Seniman Jawa Timur 2025). Kalimat itu sederhana namun dalam maknanya. Dalam kehidupan seniman di daerah, di mana keterbatasan panggung, dana, dan perhatian menjadi bagian dari rutinitas, sekadar “diingat” oleh pemerintah bisa menjadi sebuah pengakuan yang menghidupkan kembali semangat. Dan inilah kekuatan dari sebuah program yang kelihatannya kecil Apresiasi Seniman Jawa Timur.
Kita hidup dalam era di mana seni seringkali ditempatkan di pinggiran kebijakan. Pembangunan identik dengan beton, jalan raya, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, siapa yang menjaga ruh, narasi, dan identitas daerah? Di situlah para seniman berperan. Mereka tidak membangun jembatan fisik, tapi mereka membangun jembatan batin masyarakat menjaga memori kolektif, merawat nilai, dan menyampaikan kritik sosial dengan cara yang halus dan mengena.
Sayangnya, kontribusi besar itu sering tidak sebanding dengan dukungan yang mereka terima. Maka ketika program Apresiasi Seniman hadir, ia menjelma menjadi simbol hadirnya negara, bukan hanya sebagai penyedia bantuan, tetapi sebagai pihak yang mau mengakui dan mendengarkan.
Dalam budaya Timur, khususnya Jawa, pengakuan atau pangakuan jauh lebih bernilai daripada materi. Dan dalam konteks inilah, Rp 500 ribu bukan sekadar uang ia adalah pengakuan, kehormatan, dan pesan bahwa negara peduli.
Dari Seremoni Menuju Strategi
Namun, pengakuan saja tidak cukup. Jika program ini hanya berhenti pada seremoni tahunan, maka dampaknya akan menguap seperti tepuk tangan yang hanya berlangsung sebentar. Untuk itu, program ini harus ditata ulang menjadi bagian dari strategi pembangunan kebudayaan yang lebih luas dan berkelanjutan.
Strategi itu bisa dimulai dari hal mendasar: membangun basis data seniman yang akurat dan aktif. Siapa mereka, di mana mereka berkarya, apa kebutuhannya, dan seperti apa kondisi komunitas tempat mereka hidup. Data ini menjadi landasan untuk merancang program lanjutan bukan hanya bantuan sesaat, tetapi pendampingan, pelatihan, fasilitasi produksi karya, dan promosi lintas wilayah.
Langkah-langkah tersebut memungkinkan transformasi peran seniman dari sekadar “penerima bantuan” menjadi mitra strategis pembangunan budaya. Apresiasi tidak lagi dipandang sebagai hadiah tahunan, melainkan sebagai pintu masuk untuk memberdayakan dan menyambungkan seniman dengan peluang-peluang baru.
Menggeser Narasi Bantuan Menjadi Investasi Budaya
Dalam pendekatan konvensional, dukungan kepada seniman sering kali dilihat sebagai bentuk bantuan sosial. Padahal, jika dilihat lebih jauh, setiap rupiah yang diinvestasikan dalam seni dan budaya akan kembali dalam bentuk kekayaan tak berwujud: penguatan identitas lokal, peningkatan citra daerah, hingga daya tarik pariwisata.
Kita bisa belajar dari negara seperti Korea Selatan yang menjadikan budaya sebagai kekuatan ekonomi. Tapi kita tak perlu jauh-jauh. Di Bali, seni adalah jantung dari ekosistem pariwisata. Di Yogyakarta, komunitas seni menjelma menjadi penggerak ekonomi kreatif. Maka di Jawa Timur, dengan kekayaan budaya luar biasa dari ludruk, ketoprak, reog, jaranan, musik patrol, hingga seni lokal lainnya, potensi itu sangat mungkin diolah menjadi kekuatan ekonomi, sosial, dan politik budaya.
Namun semua itu dimulai dari kesadaran bahwa mendukung seniman bukanlah amal, melainkan investasi jangka panjang dalam karakter masyarakat dan daya saing daerah.
Peran Pemerintah Daerah dan Dinamika di Lapangan
Dalam pelaksanaan program Apresiasi Seniman, dinas kebudayaan di tingkat kabupaten/kota memegang peran sentral. Mereka bertugas memverifikasi, mengusulkan, dan memastikan kelengkapan data calon penerima. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak dinas yang masih terjebak dalam peran administratif semata.
Padahal, mereka sejatinya bisa menjadi fasilitator aktif dan jembatan antara pemerintah provinsi dengan komunitas seni. Mereka yang paling tahu konteks lokal, siapa yang layak dan membutuhkan, serta potensi budaya di wilayah masing-masing. Sudah saatnya peran ini diperluas melalui pelatihan aparatur, pendampingan kebijakan, serta insentif untuk daerah yang aktif membina seni dan budaya.
Lebih jauh lagi, komunitas seni harus mulai dilibatkan sebagai subjek dalam perumusan dan evaluasi program. Melibatkan mereka sejak awal akan memperkuat rasa kepemilikan terhadap program dan meningkatkan efektivitas kebijakan. Kebijakan yang partisipatif adalah kebijakan yang hidup.
Dari Apresiasi ke Ekosistem
Apresiasi hanyalah salah satu titik dalam rantai panjang ekosistem budaya. Untuk membangun keberlanjutan, kita membutuhkan infrastruktur yang mendukung: akses pada ruang tampil, pelatihan manajemen seni, pelindungan hukum atas karya, serta dukungan teknologi dan digitalisasi.
Sudah waktunya pemerintah memfasilitasi terbentuknya platform digital terpadu yang menampilkan profil seniman Jawa Timur: biodata, karya, jadwal pertunjukan, serta akses promosi. Platform ini akan membantu memperluas jangkauan dan membuka peluang kolaborasi lintas daerah, bahkan lintas negara.
Program seperti “Seni Masuk Sekolah”, “Festival Karya Seniman Daerah”, atau “Festival Virtual Jawa Timur” bisa menjadi bagian dari ekosistem pemberdayaan tersebut. Dengan pendekatan lintas sektor (budaya, pendidikan dan pariwisata), dampak dari apresiasi akan jauh lebih luas dan terasa nyata.

Apresiasi dalam Perspektif Sosiokultural
Dalam budaya Jawa, apresiasi bukan semata urusan hadiah. Ia adalah bentuk “pangeling-eling”, atau pengingat bahwa seseorang masih dihargai, masih dianggap penting. Dalam dunia seni yang penuh perjuangan senyap, Apresiasi semacam ini bisa menjadi vitamin semangat, bahkan penyelamat psikologis.
Namun budaya juga mengajarkan kita bahwa rasa hormat tidak cukup ditunjukkan lewat seremoni. Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata, dalam keberpihakan kebijakan, dan dalam kehadiran yang konsisten.
Ketika kita memberi Apresiasi kepada seniman, kita sebenarnya sedang menguatkan nilai-nilai hidup, estetika, dan etika dalam masyarakat. Kita sedang menyuarakan bahwa seni bukan sekadar hiburan, tetapi bagian dari keberadaban kita sebagai manusia dan bangsa.
Penutup: Dari Panggung ke Perubahan
Program Apresiasi Seniman adalah langkah awal yang sangat positif. Ia adalah sinyal bahwa pemerintah hadir untuk yang sering tak terlihat. Namun kita tak boleh berhenti di situ. Sudah saatnya kita menyeberang dari panggung seremoni menuju ruang-ruang perubahan.
Apresiasi harus menjadi titik awal dari rangkaian kebijakan yang lebih luas: pembinaan, perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan. Dengan sinergi antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, komunitas seni, lembaga pendidikan, dan masyarakat, kita bisa membangun ekosistem budaya Jawa Timur yang kokoh dan berdaya saing.
Seniman tidak minta dipuja. Mereka hanya ingin diberi tempat. Tempat untuk berkarya, untuk didengar, dan untuk hidup layak dari apa yang mereka cintai. Ketika negara hadir dan memberi ruang itu, maka bukan hanya seniman yang bangkit, tetapi budaya kita secara keseluruhan akan hidup dan berkembang.
Karena pada akhirnya, apresiasi bukan sekadar seremoni ia adalah komitmen. Komitmen untuk memberdayakan, untuk menjaga, dan untuk membesarkan jati diri bangsa melalui tangan-tangan seniman yang terus bekerja meski jarang disorot.