Ketika Lantunan Do’a Menjadi Kekuatan Musikal

Oleh: Yudhistira Sugma Nugraha

Jauh sebelum tulisan ini dibuat, pada bulan Februari tepatnya tanggal 16 lalu, saya sempat mengikuti proses latihan Yuddan Fijar. Menurut beberapa pendukung karya Yuddan, proses latihan ini dijadwalkan dua sampai tiga kali dalam satu minggu. Artinya, Yuddan sangat serius dengan event kali ini sampai-sampai latihannya bisa dibilang cukup intensif. Sesampainya saya di studio latihan ternyata para pendukung karya masih belum seluruhnya berkumpul. Alhasil saya harus menunggu kurang lebih 1 jam, dan pada akhirnya latihan pun dimulai.

Masuk di studio latihan, saya mulai menerka-nerka karya musik seperti apa lagi yang akan diciptakan kali ini. Pendukung karya pun mulai mengambil posisi duduk di studio gamelan. Herannya, tidak ada satupun pendukung karya yang duduk persis menghadap instrumen gamelan. Di sini saya mulai dibuat bingung “ah mungkin masih membaca dan mencerna materi di papan yang dituliskan oleh sang komposer” ucap saya dalam hati. Di sela-sela rasa kebingungan menyelimuti pikiran saya, bersamaan dengan itu pula sang komposer (Yuddan) mengajak para pendukung karyanya untuk bersiap-siap memulai latihan.

Selang beberapa detik, ruang studio mulai hening dan suara gong bumbung (bambu) mulai menggema ditemani hembusan suara AC studio yang terdengar lamat-lamat, ditambah dengan lantunan vokal kéjhung seakan membuat perhatian saya mulai serius untuk mendengarkan sajian karya ini lebih jauh. Pada bagian ini juga ada nyanyian semacam do’a yang dilantunkan oleh salah satu pendukung karya, kemudian pendukung lainnya memberi bingkai backing vokal yang digarap dengan suara 1 dan 2 (sistem kempyung). Nuansa magis, dan agung secara bersamaan muncul dalam ruang studio itu. Sesekali saya merinding seakan ikut terbawa dalam suasana yang terbangun pada proses latihan tersebut.

Selama proses latihan berlangsung, tidak satu pun instrumen gamelan berbunyi. Yang ada hanyalah kekuatan vokal-vokal menukik yang dibalut dengan syair-syair Madura ditambah dengan pemanfaatan bunyi-bunyian dari tubuh sang pendukung karya dan sang komposer itu sendiri. Pemanfaatan ketubuhan yang kemudian direduksi menjadi sebuah medium musikal ini menjadi sebuah tawaran baru dalam karya ini. Ujarnya, ia sengaja tidak memasukan medium gamelan dalam karyanya kali ini. Oleh karena itu, kekuatan repertoar dalam karya yang akan disajikan ini terletak pada lantunan vokal dan bunyi-bunyi ketubuhan seperti tepuk tangan, gejrug lantai, dan lain sebagainya.

Mojhi adalah tema yang diangkat sang komposer dalam karya kali ini. Kata mojhi dalam bahasa Indonesia memiliki arti memuji atau melantukan do’a-do’a kepada Tuhan. Tema ini cukup representatif apabila dilihat dari kekuatan repertoar sajian dalam karya ini. Vokal kéjhung, lantunan do’a menjadi elemen utama yang terus dihadirkan dalam setiap bagian. Oleh karena itu, bagi anda yang akan menyaksikan gelar komposer tahun 2022, bersiaplah hanyut dalam lantunan do’a-do’a bersyair madura yang dikemas secara apik dan pertunjukan yang aktraktif.  

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

One thought on “Ketika Lantunan Do’a Menjadi Kekuatan Musikal

  • 15 Maret 2022 pada 10:40
    Permalink

    mantab bang coretannya, sangat menginsfirasi..

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.