Artikel

FILM ADALAH SEBUAH BAHASA

Oleh : Antok Agusta *)

Kalimat film independen sedang ramai ditulis dikoran, majalah-majalah serta diteriakkan dimana-mana, lalu banyak film maker baru bermunculan dan yang pasti dengan bekerja serampangan mereka buat sebuah karya film. Kemudian muncul pula ungkapan “membuat film itu gampang”. Begitu pada umumnya kesan seorang awam yang pernah melihat proses pembuatan film independen dinegeri kita. Mereka sering melihat pembuatannya di jalan-jalan raya atau di depan plaza dan tempat terbuka. Pendapat ini mereka peroleh khususnya dari cara pembuatan film itu sendiri.

Membuat film cukup dengan adanya sebuah kamera yang umumnya buatan Arriflex, atau mungkin yang lebih sederhana lagi, murah, meriah dan bersahaja adalah dengan DSLR. Beberapa buah reflektor terbuat dari kertas perak atau aluminium foil. Sebuah papan kecil bernomor shot scene, sekali-kali memakai sepasang deretan besi yang menyerupai rel kereta api (baca; dolly) dan kadang semacam katrol untuk kamera (baca; crane atau Jimmy Jib). Cukup pula dengan adanya sutradara yang berteriak, “Action!” kepada pemain yang disuruhnya berperan sebagai seseorang diluar dirinya.

Kalau orang awam ini kemudian terus mengikuti proses berikutnya, yaitu cara menyambung potogan-potongan gambar yang sudah diambil (baca; editing), cara mengisi suara (narasi untuk film dokumenter), mengisi sound-effect, skor musik dan cara mengolahnya menjadi satu, maka lengkaplah sudah kesan si awam tadi. Dia akan betul-betul berani menyatakan, memang membuat film itu gampang. Cukup dengan mengikuti satu atau dua kali kerja dalam kru film saja sudah bisa dan berani memproduksi film sendiri.

Mengapa tidak? Sebagian besar film (khususnya independen film) di negeri ini dibuat secara banyak berlimpah, tapi entah kualitasnya (belum lagi soal kerjanya yang serampangan). Dengan urutan pikiran praktis dan sederhana seperti yang umumnya juga dilakukan oleh senior-senior terdahulu. Sebuah film yang sekedar cukup kalau alur ceritanya sudah dapat dimengerti.

Jika ada orang berpendapat, salah satu penyebab banjirnya film-film independen, semata-mata adalah akibat yang tidak langsung dari sekedar cukup kalau ceritanya jalan atau mungkin lebih parah dari itu, hanya sekedar gengsi. Dengan kata lain, kita belum bisa bicara banyak melalui film sebagai kekayaan khasanah bahasa, yaitu bahasa film.

Padahal bukan hal yang mustahil kita ciptakan prosa dan puisi lewat bahasa film. Dan bukan hal yang mustahil pula bahasanya malah lebih kaya dari bahasa oral yang kita pakai sehari-hari. Malahan justru lebih kaya dari bahasa kepenyairan dimana imaji-imaji bukan saja lahir dari potongan kata-kata secara ajaib, tapi lahir dari potongan-potongan gambar secara tak terbatas dalam ruang dan waktunya sendiri.

Kesan yang menyimpulkan bahwa membuat film independen di Indonesia gampang, adalah kesan yang ditimbulkan dari ketidaktahuan bahasa ini. Meski kamera yang digunakan sangat sederhana atau bisa jadi yang tercanggih, tak dapat dipungkiri lagi bahwa dia adalah salah satu media bahasa yang tidak sekedar cukup merekam gambar terang. Tapi juga merekam dialog tentang lingkungan, suasana dan pemahaman yang lebih dalam dari apa yang direkamnya. Secara tehnis dia mempunyai sejumlah sifat-sifat optik yang khas sekaligus spesifik yang bisa dimanfaatkan sesuai gunanya.

Jaman ini telah banyak jenis lensa. Film kita pun telah menggunakannya, tapi nampaknya belum memanfaatkan kegunaannya untuk bicara. Seperti halnya zoom-lens yang baru jadi alat ekspresi, saat ini masih baru menjadi perekam gambar cantik dan malah celakanya tidak bicara dan cerita apa-apa.

Reflektor yang secara umum kita lihat pada pengambilan-pengambilan gambar ditempat-tempat terbuka adalah sekedar penambah cahaya untuk mendapat dimensi bentuk atau depth of field (baca; kedalaman gambar). Tapi apakah reflektor sebagai media bahasa film masih cocok untuk film berwarna dimana warna itu sendiri sudah merupakan bentuk yang menciptakan suasana dengan sendirinya? Bukankah media ini akan lebih mempunyai tujuan komunikasinya melalui cahaya kiasan atau bahkan peredup yang tidak pernah kita pakai?

Papan nomor shot, scene, teriakan “Action!”, “Cut”, adalah hal kecil dari penyutradaraan. Tapi pengetahuan penyutradaraan dan visi seorang sutradara didalam dia memandang cerita, kejadian dan laku yang hendak dia garap menuntut keahlian atau skill dan kematangan berkesenian. Karena apapun dalih dan alasannya, menyutradarai film adalah berbicara dengan bahasa film melalui tehnik dan kesenian. Dia harus menguasai keduanya untuk bicara secara fasih. Kepincangan salah satunya hanya akan melahirkan film-film kering atau film-film emosional yang kacau.

Film-film yang tidak memperhitungkan antara lain unsur-unsur tersebut di atas, adalah film yang belum jadi. Dan kalau memang film-film seperti itu yang akan terus digarap sampai mati, saya kira kita tidak perlu membicarakan kreatifitas apalagi mendiskusikannya. Kreatifitas sebagai seorang pencipta, termasuk sutradara dan staf artistiknya selalu lahir dari endapan (baca; kontemplasi) pengalaman hidupnya. Baik yang dialami secara fisik maupun secara spiritual. Dari pengalamannya terhadap lingkungan maupun masyarakatnya. Dari latar belakangnya, dari sikap hidupnya, dari mimpinya, kenangannya, kegembiraan dan kepedihan hati nuraninya yang setiap waktu bisa dia panggil kembali secara artistik, saat dia mendalami sebuah karya yang hendak digarapnya lewat bahasa yang dikuasainya, yaitu film.

Wujud tadi adalah visi seorang sutradara. Yang, mustinya memang berbeda satu dengan yang lainnya karena sangat tergantung pada miskin atau kayanya endapan seorang sutradara dalam menyerap kehidupan yang menjadi sumber inspirasi serta idea profesinya. Karyanya akan menjadi ukuran kreatifitas tercermin dari pribadinya. Penilaian terhadap ciptaannya sangat relatif, karena mengerjakan film baginya bukan saja mengendalikan mesin pembuat film tapi juga mencipta karya kesenian. Jadi, dia bekerja memadukan seni dan tehnik.

Seorang sutradara yang tidak berwawasan sebenarnya sudah mati meskipun dirinya masih hidup. Kreatifitasnya harus mengalir seperti air yang hidup, yang selalu mencari jalan keluar jika dibendung. Itu sebabnya dia harus orang yang terbuka perasaan dan pikirannya, sebagai jalan keluar pertama untuk memunculkan kreatifitasnya. Orientasi terhadap kesenian lain dan pengetahuan tehnik adalah senjatanya.

Alat-alat yang digunakan untuk menyampaikan bahasa ini seperti; kamera, penataan cahaya, editing, efek suara dan skor musik  tidak pernah dipergunakan untuk menyampaikan imaji-imaji dan dimensi lainnya dari kehidupan. Suatu bahasa tersendiri yang bukan menciptakan pengertian baru dari potongan gambar dan bunyi itu sendiri.

Seperti halnya kita harus mahir dalam menguasai bahasa untuk media dalam menyatakan sesuatu, demikian juga halnya dengan bahasa film untuk membuat film. Dan, bahasa inilah yang disebut sebagai sinematografi, yang sering terabaikan itu. Bahasa ini hampir-hampir tidak pernah digunakan saat kita membuat film. Singkatnya, terjadi semacam ‘celah-celah’ sehingga film karya kita lahir sumbang atau bisa dibilang film yang ‘belum jadi’ film. Akibat dari kehilangan itu, maka kita nyaris tidak tahu apa itu sinematografi, dramaturgi, estetika film, ekspresi, simbol atau semiotika serta apa itu metafora dll. Bahkan kita tidak tahu kreatifitas dan apa audio visual seni yang multimedia itu.

Kita juga harus percaya pada dialog depth yaitu kedalaman makna dari dialog yang dibunyikan. Harus yakin dengan apa yang ada dibelakang bunyi. Karena bukan saja kita mesti diajak berbahasa dengan suasana tapi juga dengan dimensi dari dialog itu.

Sound effect bukan semata-mata mengisi agar nampak wajar, tapi hal ini sering kita lupakan – effect-effect tertentu. Yang sampai kepada kita harus sebagai ucapan bahasa, seperti: langkahnya mantap, ketukan itu menggelisahkan dsb.. Khusus tentang sound effect ini selalu disinonimkan dengan kenyataan sehari-hari, sehingga kita lupa bahwa film yang mempunyai bahasanya sendiri bukanlah jiplakan atau seperti yang dikatakan oleh sang filosof Aristoteles tentang The Imitation of Life (baca; imitasi tentang hidup). Dia cuma diilhami olehnya. Karenanya sound effect adalah bahasa untuk menyampaikan sesuatu maksud.  

Di era yang lalu, musik pernah berfungsi sebagai pengiring film semata. Dalam perkembangan pengertian irama, musik saat ini telah berubah fungsinya. Penyutradaraan shot-shot pembangun scene dan pemeranan serta editing yang masing-masing melahirkan satu kesatuan irama membuat musik sebagai irama pengiring tidak mempunyai tempat lagi, kecuali jika unsur-unsur film yang di sebut di atas memang berirama buruk. Pada film-film seperti inilah dibutuhkan irama tambahan yang ada pada musik.

Bagi film-film yang mempunyai irama bahasa indah, musik hanya akan digunakan sebagi garis bawah saja. Dia akan berfungsi sebagai effect untuk kebutuhan-kebutuhan penyampaian. Pada saat kita melihat sebuah film tanpa menggunakan kekuatan bahasa film, maka yang lahir adalah semacam home-movie (baca; dokumentasi perkawinan) dari orang-orang yang sekedar merekam kejadian atau peristiwa.

Dan ini adalah merupakan sebuah kegelisahan kita bersama sebagai film maker atau sineas dalam melihat kenyataan-kenyataan yang ada. Karena itu kita janganlah bosan untuk bicara soal sinematografi sebagai ilmu pengetahuan dasar film. Jangan bosan juga untuk bicara dan berdialog tentang dramaturgi film sebagai landasan kerja seorang sutradara. Dan saya berharap pada semua orang yang berminat, tapi lebih khusus pada film maker atau sineas untuk tahu tentang estetika film supaya jadi landasan bagi penilaian.

Kalau tidak, kita hanya akan terus menerus membuat film, padahal kita tidak tahu apa itu sinematografi. Dan pada saatnya nanti kita benar-benar tidak tahu, maka disaat itulah kita hanya akan digilas oleh para pembuat film yang awur-awuran, mereka yang memang tidak memperdulikan film sebagai hasil karya budidaya baru. Kekuatan film, yang melalui bahasanya, memiliki berbagai kemungkinan lebih luas dari sekedar barang yang bisa ditonton tapi tak layak untuk dinikmati sebagai karya seni yang maknawi. Dan memang dalam proses pembuatannya tanpa dilandasi akar serta pijakan kesenian dan kebudayaan yang jelas.

Semoga disadari dan tidak begitu………!!!    

______________________________________________________________________________

*) Penulis adalah Pamong Budaya Ahli Muda di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur sekaligus Praktisi dan Pemerhati Film.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.