Artikel

Sang Perantara Energi Metal dan Karawitan

Oleh: Andri Widi Asmara

Technical Brutal Death Metal. Makna empat kata tersebut takkan ada hubungannya dengan dunia gamelan, apalagi karawitan. Namun tidak dengan sosok komposer yang akan saya ceritakan di sini. Empat kata tersebut tidak hanya menjadi selera mendengarkan musik selagi santai. Empat kata tersebut menjadi bagian dari energi pengkaryaannya. Cerdiknya, energi itu mampu ia enkripsi hingga menerabas batas-batas medium bunyi dan kulturalnya. Sosok komposer ini adalah Willyday Namali, sang perantara energi Metal dan Karawitan.

Jika kita tarik kronologisnya, menurutnya sejak bayi ia sudah didengarkan musik metal oleh bapaknya. Sedangkan pada usia 4 tahun, ia melahap dan mempelajari musik-musik tradisi Jawa. Menariknya, 6 tahun di bangku sekolah dasar, kemampuannya pada Trebang Djidor/Kunthulan mulai nampak. Disusul pada usia remaja ia berkenalan dengan Karawitan Malangan. Perlu diketahui, bahwa Trebang Djidor dan Karawitan Malangan merupakan produk musik Jawa yang khas akan tempo cepat, sehingga minatnya tentang kedua model musik tersebut sejalur dengan kesukaannya pada musik Metal.

Merawat kecintaanya pada musik metal terus dijaga sampai di masa sekarang. Namun, ada beberapa perkembangan selera yang meningkat. Kini, sampailah kepada kecintaanya yang paling purna, yaitu level Technical Brutal Death Metal. Menurutnya, itu salah satu gaya terekstrim dalam musik Metal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kekhasan karya-karya karawitannya yang cepat, sigrak, keras, dan dan cenderung menghindari sukat 4 merupakan hasil dari penyerapannya selama belajar musik tersebut.

Selain membawa energi musik yang ugal-ugalan, kecintaan Willyday pada musik Metal juga mempengaruhi penamaan judul-judul karya karawitannya yang juga terkesan urakan. Sebut saja Cucur Pejuh, Kremi, Uget-uget, Coro, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dari 50 gendhing yang ia buat, rata-rata judulnya berkesan gore-gore. Ini mempengaruhi persona Willyday sebagai komposer, sekaligus membangun karakter yang khas. Ini merupakan peluang Willyday untuk menggunakan ekspresinya sealamiah mungkin, sesuai dengan apa yang ia jiwai.

Nyatanya, lebih dari 34 pergelaran sudah ia lakukan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. 13 album sudah ia telurkan, dan sudah didistribusikan di berbagai platform digital. 2 grup punggawanya selalu ia openi, seperti Karawitan Kuping Cumpleng dan Djomblo Ensemble. Kolaborasi dengan artis/seniman luar juga sudah ia lakukan, seperti dengan Rene Lysloff dan Axon Breeze.

Bahkan pada gelaran Mona Foma Festival: Faux Mo di Australia, Willyday mendapat apresiasi yang sangat memuaskan dari penonton, penyaji, maupun tim penyelenggara event. Axon Breeze, yang berkolaborasi dengannya, tidak mendapatkan kendala sama sekali, walaupun mereka tetap dengan musik Metalnya, sementara Willyday dengan rebab, gender, suling dan peralatan gamelan lainnya. Ini menandakan, bahwa musik Willy dapat berkolaborasi dengan musik siapa saja, bahkan dapat menerobos sekat-sekat yang selama ini terasa kaku.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.