TBJT, Dokumentasi Seni, dan Aset Digital
Semua serentak bergerak mengubah ruang pemanggungan. Pandemi menyebabkan seni pertunjukan tereduksi menjadi konten. Satu-satunya bentuk yang sepintas menjadi jalan keluar, namun nyatanya tak mampu memberi denyut kehidupan bagi kesenian terkait. Seniman-seniman mulai membuat akun YouTube, berlomba-lomba mengisinya dengan pertunjukan daring, berharap agar mendapat apresiasi masif dari publik. Namun jauh panggang dari api, perubahan ruang pertunjukan dari luring ke daring tidak semata memindahkan bentuk, namun juga membawa konsekuensi munculnya makna dan nilai-nilai baru. Seni pertunjukan (terutama tradisi) kemudian harus bertarung atas nama konten, agar menjadi trending dengan mereduksi dirinya menjadi tagar, dan tentu saja harus bersaing dengan beratus konten lain yang lebih siap karena mengandalkan sisi konfliktual. Akibatnya konten-konten seni pertunjukan kalah bertarung, tak minat untuk ditonton, dan pada akhirnya nasib seniman tetap nestapa.
Pada konteks yang demikianlah peran lembaga kebudayaan, terutama plat merah, menjadi penting. Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) di Surabaya, atau yang akrab disebut sebagai Taman Budaya Cak Durasim, membaca persoalan tersebut dengan cukup cermat. TBJT berupaya menjadi katalisator yang mewadahi kreativitas seniman di Jawa Timur untuk -setidaknya- dapat eksis dan terbaca dinamika sisi kreatifnya. Di kala pertunjukan luring tidak dapat digelar, alih-alih memanfaatkan peran sebagai dokumentasi pertunjukan, TBJT lewat kanal YouTubenya (Cak Durasim) secara berkelanjutan merekam dan mempublikasikan setiap gelaran seni yang difasilitasinya. Seniman-seniman tradisi dari lintas daerah di Jawa Timur, dalam pelbagai episentrum jenis kesenian, diundang untuk tampil, direkam, dan diunggah. Mengalihkan ruang pertunjukan ke dalam format virtual bukannya tanpa persoalan, dan hal itu agaknya disadari sepenuhnya oleh lembaga TBJT.
Indikasinya sederhana. TBJT sebagai fasilitator dengan tujuan utama membantu denyut hidup seniman dan keseniannya, bahwa hasil rekaman pertunjukan itu diunggah di kanal YouTube, adalah sebuah upaya pertanggungjawaban sosial, untuk menunjukkan ada sebuah peristiwa budaya yang masih berdetak. Kanal YouTube itu menjadi ruang pembuktian bahwa TBJT tidak diam dalam menghadapi situasi pandemi. Di kala geliat media sosial, semacam YouTube, dibuat untuk mendapat simpati publik dengan ukuran monetisasi yang berakhir pada iklan, hal itu tidak dilakukan oleh TBJT. Lihatlah tayangan-tayangan seni yang diunggah di kanal YouTube Cak Durasim, tidak ditujukan untuk meraih iklan (dan memang sengaja menolak iklan), upaya menunjukkan pada publik tentang keseriusan membantu tanpa berpamrih.
Dokumentasi
Pandemi menjadi momentum yang membangkitkan upaya dokumentasi seni pertunjukan berlangsung secara serius. Selama ini, gelaran seni yang hadir di TBJT semata didokumentasikan dalam bentuk kaset fisik untuk kemudian disimpan, dan tidak sedikit yang hilang, lapuk, bahkan rusak. Pandemi menyadarkan bahwa dokumentasi itu tidak selayaknya hanya disimpan dalam lemari berdebu, namun wajib dikomunikasikan pada publik yang lebih luas. Kanal media sosial, YouTube, dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dokumentasi, penyimpanan arsip digital, dengan mempertimbangkan tingkat efisiensi dan efektivitasnya. Menyimpan dokumentasi pertunjukan di YouTube menunjukkan kesadaran akan betapa pentingnya arsipasi virtual. Beranjak dari pemahaman itulah, beberapa waktu belakangan TBJT giat menggunggah dokumentasi-dokumentasi lama (baik ludruk, wayang, tari, teater, dan lain sebagainya), untuk kembali disuguhkan di hadapan publik lewat kanal YouTube formal yang dimilikinya.
Dengan melihat rentang sejarah panjang berdirinya TBJT dan begitu banyaknya forum kesenian yang dihelat, tentu banyak sajian pertunjukan yang bernilai (kata lain berdampak luas). Gelaran semacam Surabaya Full Music, Festival Cak Durasim, Festival Teater, Ludruk, Tari, Wayang, dan lain sebagainya dapat “dihidupkan” kembali untuk hadir secara virtual. Dengan demikian publik, khususnya pecinta seni, diajak kembali bernostalgia dengan ingatan-ingatan tentang eksistensi dan posisi penting TBJT dalam membawa marwah kebudayaan Jawa Timur. Pemanfaatan mengubah aset fisik menjadi aset digital terus digalakkan, dengan melakukan penelusuran, pencarian, dan jelajah sumber dokumentasi dari tahun ke tahun. Dan hal itu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi TBJT, mengingat banyaknya dokumentasi yang pernah dilakukan, namun tidak sedikit yang hilang (karena sistem pelaporan administrasi telah dianggap usai).
Dengan hadirnya kesenian dalam bentuk digital, akses publik menjadi lebih terbuka. Arsipasi digital melalui YouTube menerobos batas-batas kewilayahan bahwa kesenian yang digelar di TBJT tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa Timur, namun untuk publik di ranah nasional bahkan internasional. Terlebih banyak seniman nasional bahkan dunia pernah berpentas di TBJT, oleh karena itu upaya menghadirkan kembali dokumentasi itu menjadi penting untuk menunjukkan pada khalayak, bahwa TBJT adalah rumah yang nyaman bagi kesenian dan kebudayaan lintas batas dan genre. Pandemi mengajarkan pula tentang arti penting pengelolaan sebuah lembaga kebudayaan berbasis digital, yang secara langsung mengubah tatanan sosial publik dalam mencerna dan menikmati kesenian.
Saat pandemi dan setelahnya, publik akan menganggap ruang digital sebagai akselerasi ideal dalam menikmati karya seni. Terlebih bagi publik atau masyarakat Jawa Timur yang tidak berdomisili di Jawa Timur. Ketergantungan pada data digital menjadi mendesak, dan semua itu harusnya dapat dipenuhi oleh TBJT. Ukuran penonton dalam jagat digital tidak dapat digunakan sebagai acuan, karena berbeda sifat dengan pertunjukan secara langsung atau luring. Saat pertunjukan seni digelar secara luring, ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan barangkali ditentukan dari banyak dan sedikitnya penonton yang datang. Namun hal itu tentu tidak dapat diterapkan pada pertunjukan digital, karena penonton tidak hadir setiap saat (real time) kala pertunjukan itu digelar. Bisa jadi pertunjukan hari ini akan dilihat setahun atau dua tahun kemudian, dan menjadi perbincangan hangat di waktu yang lain. Oleh karena itu, unggah pertunjukan sebanyak-banyaknya, dan semua akan menemukan momentum untuk menyapa penontonnya.
Pentingnya aset digital inilah yang mengharuskan TBJT terus berbenah, dan agaknya hal itu mulai dipikirkan dengan serius. Saat pandemi sudah melandai, pertunjukan digelar kembali secara luring terbatas, namun juga tetap disiarkan secara daring agar dapat menjangkau publik dari radius terjauh sekalipun. Ke depan tidak menutup kemungkinan TBJT akan menjadi lembaga kebudayaan dengan pengelolaan arsip digital terbaik di antara yang lain, dan tentu hal itu semata didasari pada upaya pelestarian, menjaga denyut hidup kesenian dan seniman di Jawa Timur pada khususnya. Amin!
______________________________________________________________________________
Penulis: Aris Setiawan, Etnomusikolog asal Surabaya, Pengajar di ISI Surakarta