Artikel

HIBAH KEBUDAYAAN DAN TANTANGAN BIROKRASI: Bagaimana Meningkatkan Efektivitas Pendampingan Pokmas?

Oleh: Adiyanto, S.Sn, M.MPd.
Pamong Budaya Ahli Muda Disbudpar Jatim

Hibah kebudayaan merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah dalam menjaga dan mengembangkan seni serta tradisi lokal. Di Jawa Timur, program hibah kebudayaan telah menjadi instrumen penting bagi kelompok masyarakat (Pokmas) dalam menjalankan berbagai kegiatan seni budaya. Dengan adanya hibah ini, Pokmas dapat memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk sarana dan prasarana pelestarian kesenian seperti Gamelan, pakaian tari, Reog jaranan, kostum seni dan yang lainnya.

Foto dok. Adiyanto

Namun, dalam praktiknya, berbagai tantangan masih kerap muncul, terutama terkait dengan birokrasi dan efektivitas pendampingan Pokmas. Proses hibah yang seharusnya menjadi stimulus bagi masyarakat justru sering kali menjadi beban administratif yang cukup berat. Mulai dari kesalahan dalam proposal, penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang tidak sesuai, kesulitan belanja barang setelah pencairan, hingga keterlambatan laporan pertanggungjawaban (LPJ), semua ini menjadi permasalahan yang menghambat efektivitas hibah kebudayaan.

Salah satu faktor utama penyebab permasalahan ini adalah minimnya pemahaman Pokmas terhadap prosedur administrasi yang berlaku. Sebagian besar Pokmas bukanlah entitas yang terbiasa dengan tata kelola anggaran pemerintah, sehingga banyak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif. Kurangnya sosialisasi dan bimbingan dari pihak terkait.

Di sisi lain, regulasi yang berlaku dalam penyaluran hibah kebudayaan sering kali dianggap terlalu ketat dan tidak fleksibel. Hal ini menyebabkan banyak Pokmas mengalami hambatan sejak tahap awal, seperti dalam penyusunan proposal dan pencairan dana. Dengan berbagai kendala ini, dampak hibah kebudayaan yang seharusnya optimal menjadi kurang maksimal

Dalam konteks ini, pendampingan yang efektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa Pokmas dapat memanfaatkan hibah secara optimal. Tanpa adanya sistem pendampingan yang baik, hibah kebudayaan berpotensi menjadi sekadar program administratif yang tidak benar-benar berdampak pada pelestarian budaya. Oleh karena itu, perlu adanya solusi konkret untuk meningkatkan efektivitas pendampingan dan memperbaiki sistem birokrasi hibah kebudayaan.

Berbagai tantangan yang dihadapi dalam program hibah kebudayaan, pentingnya pendampingan yang lebih intensif, serta langkah-langkah solutif yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas program Hibah, dapat benar-benar menjadi instrumen yang bermanfaat bagi masyarakat dalam melestarikan budaya lokal.

Dalam konteks ini, pendampingan efektif diperlukan agar Pokmas dapat memanfaatkan hibah dengan baik. Tanpa pendampingan yang memadai, program hibah kebudayaan hanya akan menjadi prosedur administratif yang tidak memberikan dampak signifikan bagi pelestarian budaya.

Foto dok. Adiyanto

Birokrasi yang Rumit dan Kendala Teknis

Hibah kebudayaan harus mengikuti prosedur ketat demi transparansi dan akuntabilitas. Namun, sistem birokrasi sering kali menjadi hambatan bagi Pokmas. Banyak proposal yang diajukan masih keliru atau perlu revisi karena kurangnya pemahaman terhadap format yang sesuai dengan regulasi. Kesalahan ini menyebabkan keterlambatan pencairan dana.

Dalam penyusunan RAB, masih banyak Pokmas yang menetapkan harga yang tidak sesuai dengan standar pasar, sehingga memerlukan revisi berulang. Selain itu, setelah dana dicairkan, Pokmas sering mengalami kesulitan dalam belanja barang karena harga di lapangan berbeda dengan yang tertera di RAB, kurangnya pemahaman prosedur pengadaan, serta kendala administratif.

Regulasi pengadaan barang yang kurang fleksibel juga menjadi masalah. Pokmas harus mengikuti prosedur ketat, termasuk dalam pemilihan penyedia barang dan pelaporan transaksi, yang menjadi beban administratif bagi mereka. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap regulasi hibah kebudayaan agar lebih fleksibel tanpa mengurangi transparansi.

Pentingnya Pendampingan yang Lebih Intensif

Pendampingan terhadap Pokmas menjadi aspek krusial dalam efektivitas hibah kebudayaan. Pendampingan sebaiknya dimulai sejak tahap awal, terutama dalam penyusunan proposal dan RAB. Dengan adanya fasilitator aktif, kesalahan dapat diminimalisir sehingga tidak perlu melalui proses revisi yang panjang.

Selain itu, Pokmas perlu mendapatkan bimbingan dalam tata cara pengadaan barang agar sesuai aturan yang berlaku. Proses penyusunan LPJ juga memerlukan sistem pendampingan agar tidak mengalami keterlambatan. Solusi yang dapat diterapkan adalah penyederhanaan format LPJ dan penyediaan template standar yang mudah dipahami.

Peran pemerintah daerah dalam mendampingi Pokmas harus lebih aktif. Pendampingan tidak hanya dilakukan di awal program tetapi harus berlanjut hingga implementasi dan pelaporan hibah. Diperlukan tenaga pendamping profesional dari pemerintah daerah, akademisi, atau pihak lain yang memahami tata kelola hibah kebudayaan.

Pendampingan yang intensif dan berkelanjutan memastikan hibah kebudayaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan bimbingan yang tepat, Pokmas tidak hanya dapat menjalankan program dengan baik tetapi juga meningkatkan kapasitas dalam tata kelola keuangan dan administrasi.

Foto dok. Adiyanto

Solusi untuk Meningkatkan Efektivitas Hibah Kebudayaan

Peningkatan efektivitas hibah kebudayaan memerlukan sejumlah perbaikan dalam sistem pendampingan dan regulasi. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan kapasitas Pokmas dalam penyusunan proposal. Pelatihan teknis diperlukan agar mereka memahami tata cara penyusunan proposal yang benar.

Pendampingan dalam penyusunan RAB juga harus diperkuat. Kesalahan dalam RAB sering kali menyebabkan keterlambatan pencairan dana, sehingga Pokmas tidak dapat segera melaksanakan kegiatan budaya. Pemerintah juga perlu menyediakan daftar vendor atau penyedia barang yang terpercaya agar Pokmas tidak mengalami kendala dalam pengadaan barang.

Selain itu, pengawasan yang lebih fleksibel dan responsif harus diterapkan. Verifikasi dan pengawasan terhadap penggunaan dana hibah tidak boleh hanya bersifat administratif tetapi juga memberikan solusi bagi Pokmas yang mengalami kendala di lapangan. Evaluasi rutin harus dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari solusi lebih efektif.

Digitalisasi sistem administrasi hibah menjadi langkah penting untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Proses pengajuan proposal, pencairan dana, hingga pelaporan LPJ sebaiknya dilakukan secara digital. Dengan adanya sistem digital, Pokmas dapat lebih mudah mengakses informasi dan memantau perkembangan proses hibah secara real-time.

Refocusing Anggaran dan Efisiensi Hibah Kebudayaan

Dalam menghadapi kebijakan refocusing anggaran sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, program hibah kebudayaan perlu menyesuaikan diri agar tetap berjalan secara efektif meskipun dengan keterbatasan sumber daya. Salah satu langkah strategis adalah memastikan bahwa hibah dialokasikan secara lebih selektif dan tepat sasaran, dengan memprioritaskan kegiatan yang memiliki dampak nyata terhadap pelestarian seni dan budaya. Proses seleksi yang lebih ketat harus diterapkan untuk memastikan bahwa Pokmas yang benar-benar siap dan memiliki kapasitas administratif yang baik dapat mengakses dana hibah, sehingga program yang dijalankan tidak hanya sebatas pelaksanaan seremonial tetapi juga memiliki nilai keberlanjutan bagi masyarakat.

Selain itu, dalam situasi refocusing, efisiensi birokrasi harus menjadi perhatian utama. Penyederhanaan prosedur administrasi tanpa mengurangi transparansi perlu menjadi prioritas agar Pokmas tidak terbebani dengan persyaratan yang terlalu kompleks. Digitalisasi dalam sistem hibah, mulai dari pengajuan proposal, pencairan dana, hingga pelaporan pertanggungjawaban, harus segera diterapkan untuk mengurangi kendala teknis yang selama ini menjadi hambatan utama. Dengan sistem yang lebih sederhana dan berbasis digital, pengelolaan hibah kebudayaan dapat dilakukan secara lebih cepat, akurat, dan akuntabel.

Selain reformasi dalam aspek administrasi, pendampingan yang lebih efektif dengan sumber daya yang terbatas juga menjadi tantangan dalam kebijakan refocusing. Oleh karena itu, perlu diterapkan strategi pendampingan berbasis komunitas, di mana Pokmas yang telah berpengalaman dapat menjadi mentor bagi Pokmas lain yang baru mengakses hibah. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pelatihan daring atau menyediakan modul panduan standar agar Pokmas lebih mandiri dalam mengelola dana hibah. Dengan pendekatan ini, efektivitas pendampingan dapat tetap terjaga meskipun dengan keterbatasan tenaga pendamping yang tersedia.

Lebih lanjut, dalam kondisi refocusing, pengawasan terhadap hibah kebudayaan juga harus diperkuat dengan sistem evaluasi berbasis kinerja. Selain mengandalkan laporan administratif, perlu dilakukan monitoring berbasis dampak nyata di lapangan untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar berkontribusi dalam pelestarian budaya. Fleksibilitas dalam regulasi pengadaan barang juga perlu dipertimbangkan, agar Pokmas tidak mengalami kendala teknis yang justru dapat menghambat kelancaran pelaksanaan program. Dengan reformasi yang tepat, hibah kebudayaan dapat tetap menjadi instrumen yang efektif dalam mendukung pelestarian budaya, meskipun dalam kondisi keterbatasan anggaran akibat refocusing.

Foto dok. Adiyanto

Kesimpulan

Hibah kebudayaan merupakan instrumen penting dalam menjaga kelestarian seni dan budaya daerah. Namun, tanpa sistem pendampingan yang baik dan birokrasi yang efisien, banyak Pokmas mengalami kendala administratif yang dapat menghambat efektivitas program. Oleh karena itu, peningkatan efektivitas pendampingan, penyederhanaan regulasi, serta pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan hibah menjadi langkah penting agar hibah kebudayaan benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal.

Dalam konteks kebijakan refocusing anggaran yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, diperlukan penyesuaian dalam mekanisme hibah agar tetap relevan dan berdampak nyata. Selektivitas dalam pemberian hibah, efisiensi birokrasi melalui digitalisasi, serta strategi pendampingan yang inovatif menjadi kunci utama dalam mempertahankan keberlanjutan program hibah kebudayaan. Selain itu, sistem evaluasi berbasis kinerja harus diperkuat agar penggunaan dana hibah tidak hanya memenuhi aspek administratif tetapi juga memberikan dampak nyata bagi pelestarian budaya.

Dengan reformasi yang tepat, hibah kebudayaan dapat tetap menjadi solusi efektif dalam upaya pelestarian budaya di Jawa Timur dan dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia. Pemerintah, akademisi, dan komunitas budaya perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem hibah yang lebih transparan, efisien, dan berkelanjutan demi mendukung pengembangan seni dan budaya lokal di tengah tantangan kebijakan refocusing anggaran.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.