Ludruk Kendo Kenceng: Karsinah, Kari Siji Sing Genah
Ketika Gentur sedang terbaring sakit, Murkadis yang datang menjenguk justru meminta Gentur menceraikan isterinya, karena Mukadis sudah lama memendam cinta pada isteri Gentur yang bernama Sugemi. Padahal keduanya adalah sahabat karib. Gentur dan Sugemi pun sudah mempunyai anak gadis bernama Karsinah.
Problematika unik itulah yang dihadirkan oleh Ludruk Kendo Kenceng dari kota Malang dalam pergelaran di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya Sabtu malam (6/10). Pentas tunggal ini merupakan program periodik teater tradisi yang diselenggarakan oleh UPT Taman Budaya Jawa Timur yang bernaung di bawah Dinas Pariwisata Jawa Timur.
Untuk mendekatkan apresiasi seni tradisi pada anak-anak muda langkah komunitas ludruk Kendo Kenceng patut dihargai dan didukung untuk melestarikan seni tradisi. Hampir 90 persen pertunjukan ini dimainkan oleh anak-anak muda yang penuh semangat dalam menjaga seni tradisi ludruk dengan mengambil tema cerita yang kekinian.
Sutak Wardiono sebagai penulis naskah dan sutradara menyajikan ludruk dengan pendekatan teater modern. Cerita disajikan secara flash back (kilas balik) sehingga langsung membuat rasa penasaran penonton sejak adegan pertama berlangsung.
Latar belakang cerita ini bermula, Gentur (Sindu Herlianto) dan Murkadis (Sigit Priyo) adalah anak wayang di sebuah padepokan seni tradisional ludruk. Pada saat pemilik tobongan sudah uzur maka kepemimpinan diserahkan secara pada Gentur sekaligus mengawini Sugemi (Firdaus Zul), anaknya. Hal ini membuatnya geram, mengapa justru Gentur yang mendapatkan sampurnya? Dalam waktu yang panjang Murkadis memendam rasa dendam dan baru tersalurkan ketika Gentur sedang sakit. Dalam kondisi tak berdaya inilah kesempatan Murkadis merebut Sugemi dan warisan padepokan tobongan dari tangan Gentur.
Ketika semua itu sudah didapatkannya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Urusan tobongan jadi kocar-kacir karena Murkadis maunya sendiri dan tidak bisa memahami sebagai pekerja kreatif dalam sebuah kelompok. Bahkan Karsinah (Hayyu Binar). anak tirinya yang sangat cerdas sebagai pembaharu kesenian ludruk tidak terlintas untuk diberi kesempatan oleh Murkadis dalam mengelola padepokan. Anak gadis yang masih belia ini akhirnya lari mencari jalannya sendiri menjadi penyanyi di café hingga akhirnya sukses.
Cerita ini ditutup dengan pertemuan Gentur dan Karsinah yang sedang pulang melepas rindunya pada keluarga.
Sutradara dan penulis naskah Sutak Wardiono memang piawai mengemas pertunjukan ini sehingga penonton tetap bergeming melihat keluwesan pertunjukan ini. “Sumprit kuereen…. Sutak bukan hanya berhasil membuat koreo tampilan bedayan dan remo tapi juga berhasil memilih, memilah teks dialog yang kebak makna (sanepan khas Malang)”, ungkap Meimura sutradara Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara. Pertunjukan yang memakan waktu 2 jam ini melewatkan masa-masa lelah penonton sekaligus dipuaskan dengan gaya pertunjukan Karsinah (Kari Siji Sing Genah) yang trampil memainkan seni tradisi. Ludruk Kendo Kenceng memberi suasana baru pada anak muda yang mencintai keseniannya sendiri. Banyak persoalan-persoalan menarik dalam pertunjukan ini yang dijadikan pijakan moral sebagai bahan perenungan. Ludruk kapanpun kalau digarap dengan sungguh-sungguh masih tetap menarik dan aktual dalam menjaga semangatnya.