Banting Setir, Solusi Bertahan Hidup Dalam Pergelaran Dagelan Kendo Kenceng
Situasi pandemi seperti sekarang mengharuskan banyak orang yang punya profesi terdampak akibat covid-19 harus berfikir ulang untuk mencoba profesi lain kalau masih ingin tetap bisa bertahan hidup. Situasi sulit seperti sekarang coba dipentsakan dalam sebuah alur cerita tentang kratifitas mencari sebuah strategi agar tetap bisa eksis menjalani hidup ditengah wabah oleh grup dagelan Kendo Kenceng dalam sebuah cerita humor yang lucu dan menarik dengan judul “Banting Setir”. Pentas di pendapa Jayengrana Taman Budaya Jawa Timur pada Sabtu, 21 November 2020, grup dagelan Kendo Kenceng diisi oleh para permain muda kreatif. Acara disiarkan melalui chanel youtube Cak Durasim milik Taman Budaya.
Ada dua pesan yang ingin disampaikan oleh grup dagelan Kendo Kenceng yang diketuai oleh Sutak Wardiono. Pertama dari sisi bentuk, Sutak sebagai ketua merangkap sutradara mencoba mencari jawaban terhadap tawaran-tawaran keadaan kekinian, dimana ketika semua terdampak oleh pandemi maka solusinyapun berubah mengikuti keadaan. Format pementasanpun berubah, Kendo Kenceng yang semula lebih mengusung bentuk teater tradisi ludruk dengan konsep modern menjadi bentuk dagelan. Kedua, Kecerdasan lokal sejak dahulu sudah menjadi ciri khas masyarakat. Masyarakat yang cerdas selalu tanggap terhadap keadaan, tidak mendahulukan mengeluh, meminta, menuduh, memaksa. Pandai mencari solusi kemudian beralih profesi tidak menjadi masalah, kebiasaan tersebut di masyarakat biasa disebut dengan banting setir.
Para pemain yang memerankan cerita terdiri dari para pemain muda gabungan senior dan yunior, yang senior angkatan pertama sementara yang yunior angkatan keempat yang bergabung tujuh bulan yang lalu. Nama-nama pemain diantaranya: Hayu Binar sebagai Sedah, Firdaus sebagai Sinyo, Axel Ananda sebagai Tamsir, Farah sebagai Miss Cin, Tanti sebagai Mak Girah. Proses berlatih untuk pementasan dengan judul Banting Setir kurang lebih memakan waktu 2,5 bulan.
Kendo Kenceng sendiri menurut Sutak Wardiono bukanlah sebuah grup kesenian yang punya aturan-aturan ketat yang mengikat, melainkan sebuah komunitas seni yang tidak bersifat mengikat para anggotanya. Karena tidak menerapkan sistem keorganisasian maka siapapun yang datang tidak karena mendaftar atau diundang. Yang merasa cukup dengan pengalaman di Kendo Kenceng bila ingin mengembangkan diri dan berkeinginan keluar dipersilahkan. Kendo Kenceng selalu memberikan ruang dialog tentang hal-hal yang terkait dengan kekontrasan hidup.
Sebelum muncul nama komunitas seni Kendo Kenceng di kota Malang, embrio pertama muncul dengan nama Ludruk Tjap Jenthik kemudian berganti menjadi Liswa, berubah lagi menjadi Sambiworo dan sejak tujuh tahun terakhir menjadi nama Kendo Kenceng sampai sekarang. “Banyak hal yang kontras dalam kehidupan, bukan sebuah halangan untuk melakukan sesuatu. Panas, dingin, siang, malam itu adalah kodrat bahasa alam, kita selalu ditantang untuk bisa bermain di ruang yang kontras itu bergandengan dengan suasana susah, senang dan sebagainya, maka istilah Kendo Kenceng menjadi nama yang paling tepat untuk dijadikan nama komunitas ini”, demikian menurut Sutak Wardiono Ketua merangkap sutradara. (san)