Pergelaran

Lima Dalang Muda Jawa Timuran Unjuk Kebolehan, Usung Tema “What Goes Around, Comes Around”

Pergelaran seni pedalangan dalam rangka Pekan Wayang jawa Timur 2025 kembali menunjukkan taringnya di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), Jumat, 21 November 2025 malam. Lima dalang muda berbakat asal Jawa Timur unjuk kebolehan dalam pagelaran bertajuk “What Goes Around, Comes Around”, membuktikan bahwa wayang tetap relevan dan digandrungi generasi muda.

Foto dok. TBJT

Kelima dalang tersebut adalah Ki Danu Tirta (Gaya Mojokerto), Ki Dimas Dwipa Surya (Gaya Porongan)), Ki Joko Suprianto (Gaya Porongan), Ki Mohammad Sholahudin Wakhid (Gaya Mojokerto), dan Ki Kelana Ilham Firmansyah (Gaya Porongan). Masing-masing membawakan lakon dengan interpretasi kontemporer, namun tetap tidak meninggalkan pakem dan filosofi wayang yang adiluhung.

Tema “What Goes Around, Comes Around” atau “apa yang terjadi, akan terjadi lagi” (perbuatan yang telah dilakukan, akan berbalik kepada diri sendiri) dipilih sebagai semangat utama. Tema ini dieksplorasi untuk menyoroti konsep karma, sebab-akibat, dan keadilan universal yang sangat relevan dengan kondisi sosial masa kini.

Ki Dimas Dwipa Surya, yang membuka pagelaran dengan lakon “Laire Dasamuka”, berhasil memukau penonton dengan gaya mendalang yang cukup memukau. Antusiasme penonton terlihat jelas sejak pagelaran dimulai. Pendapa Jayengrana Taman Budaya Jatim dipadati oleh beragam kalangan, mulai dari sesepuh dan akademisi, hingga mahasiswa dan anak muda yang penasaran dengan pertunjukan wayang kekinian. Decak kagum sering terdengar setiap kali para dalang muda ini memainkan adegan perang (Joget Sabet) yang dinamis atau melontarkan jokes (sabetan) yang cerdas dan kontekstual.

Dasamuka menjadi okon pada pergelaran ini, dia bukanlah tokoh hitam-putih. Diaa adalah gambaran sempurna tentang seorang “manusia super” yang gagal karena kelemahan manusianya sendiri. Ia adalah raja besar, ilmuwan ulung, dan pemuja dewa yang taat, namun satu nafsu yang tak terkendali yakni nafsu akan wanita yang bukan miliknya membuat kehancuran segalanya, kerajaannya, keluarganya, dan nyawanya sendiri.

Foto dok. TBJT

Gambaran tokohnya mengajarkan bahwa sehebat apa pun ilmu, kekuatan, dan kedudukan seseorang, jika tidak diimbangi dengan pengendalian diri dan moralitas, maka semuanya akan berakhir pada kehancuran

Pergelaran kolaboratif semacam ini adalah oksigen bagi tradisi wayang kulit Jawa Timuran. Ia menunjukkan bahwa wayang bukanlah museum yang berdebu, melainkan organisme hidup yang bisa beradaptasi, berkolaborasi, dan berevolusi tanpa kehilangan jati dirinya.

Menyatukan lima dalang adalah metafora yang indah tentang kebhinekaan. Berbeda gaya, berbeda pendekatan, tetapi punya satu tujuan, yakni menghidupkan cerita dan nilai-nilai luhur untuk penonton, menjadikan wayang lebih inklusif dan relevan dengan zaman. Pergelaran Wayang Kulit Gaya Jawa Timuran oleh lima dalang ini adalah sebuah pernyataan. Sebuah pernyataan bahwa seni tradisi memiliki vitalitas yang luar biasa. Ia adalah sebuah pentas seni yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi dan merefleksikan kehidupan. Keberanian para dalang muda dan kreativitasnya, patut diacungi jempol. Mereka telah membuktikan bahwa di balik kelir, yang berbicara adalah keahlian, jiwa, dan cinta pada warisan budaya. Semoga gaung pada pergelaran ini tak hanya berhenti di mata telinga, tetapi terus bergema, menginspirasi generasi muda untuk melestarikan dan meramaikan kembali panggung wayang kita. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses