Purwanta dan Sekilas Eksplorasi Musiknya di Vertigong (2)
Oleh Erie Setiawan
Nyaris tiga jam kami mengobrol. Hanya saya dan Purwanta. Obrolan kami ini, kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya relatif ngalor-ngidul, tak cuma ngobrolin karya-karya Vertigong, tapi juga nyrempet membahas rekam jejak Purwanta di “masa lalu”, “masa kini”, dan rencana-rencana “masa depan”, bahkan hingga filosofi-filosofi hidup.
Begitulah, seniman selalu punya cara yang khas untuk “mem-bahasa-kan” proses kreatifnya. Istilah Purwanta: “Seniman itu yang penting jalan pikirannya, Mas. Harus selalu punya cara untuk merespon peristiwa agar jadi karya. Saya terus belajar, dari siapa pun, dari apa pun. Tapi sejujurnya yang paling mempengaruhi fase awal saya adalah Otok Bima Sidharta, alm. Sapto Raharjo, dan alm. Mogong (Romo Bagong Kussudiardja)”, begitulah kisahnya membuka percakapan.
Sudah jelas bahwa dulu dan kini, bagi Purwanta, adalah sebuah rentang masa yang menyimpan konsekuensi berbeda, bukan hanya soal zaman yang berubah, tapi juga soal menentukan pilihan dan mengatur kebijaksanaan. “Menurut saya di setiap zaman ada konsekuensi itu,” ujarnya.
Tersirat bahwa Purwanta adalah figur yang selalu bisa mengelola rasa syukur. Pada fasenya saat ini, ia tak lagi memiliki ekspektasi yang muluk-muluk, baik personal maupun bersama Vertigong atau proses-prosesnya yang lain. Apakah Pak Pur masih gelisah? “Kalau gelisah pasti. Sampai hari ini saya masih terus gelisah. Kalau sudah tidak gelisah berarti sudah tidak ada tantangan lagi, kan? Hahaha…” ungkapnya terkekeh sembari mengepulkan asap rokok.
Apa yang dicapai Purwanta hari ini adalah hasil panen dari menandur pengalaman panjang bertemu/berkolaborasi dengan banyak seniman. Bersama Kua Etnika, diakui oleh Purwanta, ia banyak menimba pengalaman (baca: ilmu) berharga, khususnya ketika Kua Etnika berkolaborasi dengan banyak sekali seniman, baik dari dalam negeri maupun dari luar Indonesia.
Apa yang paling membedakan antara musik Kua Etnika dan Vertigong? “Kua Etnika cenderung intuitif, itu memang keahliannya Djaduk, intuisinya kuat sekali. Djaduk jarang menyiapkan sketsa, suka spontan berdasarkan rengeng-rengeng atau improvisasi. Kalau ada ide tema melodi, ia rekam lalu kami kembangkan. Kalau di Vertigong saya sering membuat sketsa, ada tulisan notasinya, Kepatihan, lalu kami kembangkan ketika latihan, didiskusikan dengan pemain. Detail prosesnya berbeda,” ungkap Purwanta.
Apa yang sudah dicapai dan belum tercapai di Vertigong? “Saya bersama Vertigong sebenarnya sangat mengalir saja, makin lama berusaha makin menep, semeleh. Tidak lagi memaksakan diri, saya jadi sangat toleran. Dengan teman-teman juga tidak straight, agar tercipta kenyamanan di antara personil.Saya sudah tidak lagi memikirkan ‘teori’ dalam arti yang konseptual, tapi bukan berarti itu tidak penting. Saya lebih suka representasinya pada karya, lebih tepatnya penemuan-penemuan dari pengalaman langsung. Ke depan saya ingin bikin set instrumen bonang saya menjadi lebih luas range-nya, dengan menambahkan alat (larasnya).”