Artikel

Gegak Bunyi Di Masa Pandemi

Oleh: Diecky K. Indrapraja

Dinamisasi ruang nyata yang humanis dan humoris sontak terkikis. Berganti dengan ruang maya epidemis yang menorehkan kelaziman baru. Pada akhirnya, pusat segala aktivitas adalah Rumah!

Begitulah Pandemi memberi dampak perubahan yang menyeluruh bagi setiap orang, tak terkecuali bagi Marda, komponis muda Surabaya yang karyanya berlatar belakang wajah bunyi wabah Pancemi Covid 19. Marda tinggal di Kecamatan Waru, Desa Ngingas, Dusun Ambeng-Ambeng, Kabupaten Sidoarjo. Mayoritas masyarakat di daerah tersebut berprofesi sebagai pande besi. Mereka membuat beragam kebutuhan hidup manusia. Mulai dari pisau, tatakan kompor, pagar, tiang lampu jalan, peleburan besi, dan pusat segala produksi yang terbuat dari bahan besi. Karena itulah Desa Ngingas tersebut dikenal sebagai “Desa Wisata Logam”.

Sekian tahun tinggal dan besar di Desa Ngingas, Marda tak pernah benar-benar menyadari bahwa gemericik besi yang diproduksi oleh warga setempat ternyata turut mengalunkan “kesakitan” atas wabah yang terjadi. Dari situlah ide karya yang akhirnya diberi judul Pandepandemi dibuat. Para pande besi dan masa pandemi memberikan impresi yang kuat bagi Marda. Sebuah karya ansambel campuran antara ansambel string dan perkusi.

Secara menyeluruh, karya yang berdurasi lebih kurang 30 menit tersebut terbagi menjadi dua bagian besar. Baik porsi ansambel string maupun perkusi memiliki kesetaraan peran dan olahan aspek komposisi musiknya. Hal utama yang membedakan kedua bagian tersebut terletak pada aspek kesan dinamika dan tempo. Pada bagian pertama, kesan dinamika musik berangkat dari lembut menuju keras dan kembali ke lembut. Adapun kesan tempo yang terjadi berangkat dari lambat menuju cepat dan kembali ke lambat. Hal tersebut terdengar kontras dengan bagian kedua. Di bagian ini baik dinamika maupun tempo bergerak terbalik dari pagian pertama, yaitu perjalanan dimanika yang keras menuju lembut dan kembali ke keras. Pun juga pada aspek kesan tempo, berangkat dari cepat menuju lambat dan kembali ke cepat. Dalam hal ini, marda cukup cerdik memanfaatkan aspek dinamika dan tempo keseluruhan musik, namun tetap dalam balutan ansambel string yang melodius, garang, dan emosional.

Satu hal lagi yang mencuri bunyi telinga adalah adanya momen solo cello pada bagian kedua. Cello merupakan alat musik yang merepresentasikan diri sang komponis. Sejatinya, Marda adalah pemain cello. Hadirnya solo cello pada bagian kedua ini tentu sangat personal dan sentimentil baginya. Hal ini tak luput dari momen Marda kehilangan Ayah tercintanya, yang berpulang ke Sang Khalik lantaran Covid telah merenggutnya. Pandepandemi adalah perjalanan kehidupan Marda yang “dirumahkan” lantaran pandemi. Sebuat transformasi gelumat bunyi yang membuatnya berterima untuk lumrah.

Dalam  keterkurungan, ia temukan keheningan. Dalam keheningan, ia lahirkan keramaian. Pandemi ini nyata, tapi Mardah tak putus dalam berkarya.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.