Mencari Kebebasan Yang Terikat (bagian II)
Oleh: Diecky K. Indrapraja
Satu di antara tantangan seorang komponis di masa kini adalah mampu memberikan perspektif segar pada karya musiknya. Di antara lapak-lapak pasar bunyi yang berserakah, seorang komponis dituntut untuk jeli dalam memungut dan menyulam kembali rajutan bunyi sesuai kaidah yang telah dikonsepkan, walau mungkin sesekali menggoda untuk mengingkari idenya sendiri. Secara akademis, Marda terdidik dalam disiplin musik Barat dengan pendekatan cello sebagai alat musiknya. Marda lebih terbiasa dengan karya musik yang terikat dan tertulis, bukan sebaliknya, penuh improvisasi. Namun di karya barunya saat ini, Marda seolah dituntut untuk lebih lentur terkait keterikatan musik dan notasinya, yaitu saat dia melibatkan ansambel perkusi tradisi Jawatimuran.
Pada kesempatan kali ini, beberapa pengrawit atau penabuh gamelan dari ansambel perkusi akan membagikan perspektif dan persepsi mereka terkait karya Pandepandemi ini. Adalah Ami dan Tatang yang hadir sebagai perwakilannya. Dalam secangkir kopi sore, kami berbincang tentang proses kreatif pengrawit saat membidani karya Marda.
Pada awal prosesnya, para pengrawit diberi pemahaman kontekstual dan konseptual oleh Marda. Gagasan-gagasan ekstramusikal yang dipaparkan Marda menjadi santapan diskusi sebelum dieksekusi menjadi bunyi. Dalam tradisi gamelan, istilah “patungan” ide adalah hal yang lazim. Umumnya yang menjadi sawerannya adalah pola tabuhan. Baik Ami maupun Tatang mengkonfirmasi bahwa pola tabuhan pada karya Pandepandemi sebagian besar adalah hasil patungan ide para pengrawit yang selanjutnya di afirmasi oleh Marda.
Kesulitan awal yang dihadapi oleh para pengrawit adalah melepaskan pakem-pakem tradisi klasik yang telah terlanjur melekat menjadi jati diri. Setelah melalui berbagai proses latihan, mereka menyadari bahwa tidak mungkin secara sadar melepaskan tradisi dalam tiap laku bunyi. Pembaharuan mungkin bisa diungkap dari kesadaran teknik nabuh gamelan ataupun pilihan motif tabuhan. Di saat yang sama, biarlah tradisi hadir sesuai kodratnya tanpa dikhianati. Bagi mereka, hal itu pilihan damai yang akhirnya menjadi mufakat oleh para pengrawit di ansambel perkusi ini.
Ditinjau dari aspek kompositoris, peran dari ansambel perkusi lebih banyak memberi kontras penyeimbang bagi ansambel string. Ami menyebut peran tersebut sebagi peran “pengganggu” untuk frase-frase melodi yang dihadirkan oleh ansambel string. Secara teknis, Tatang menambahkan bahwa kejelian “mempermainkan” tempo, dinamika, dan pola tabuhan adalah kunci memberi kontras tersebut.
Berdasarkan tingkat kesulitan karya Pandepandemi di mata para pengrawit, baik pada bagian I maupun bagian II secara umum memiliki kesetaraan teknis dan interpretasi dalam memainkannya. Meski demikian para penabuh sepakat bahwa pada awal bagian II adalah momen yang selalu ditunggu untuk ditaklukkan. Refleksi mereka, pada bagian itu proses diskusi lebih banyak terjadi. Pencarian interlockingatau saling kait antar pola tabuhan menjadi fokus garapannya.
Di akhir diskusi, Tatang menegaskan bahwa setiap peristiwa bunyi yang terjadi pada ansambel perkusi adalah fenomena melodis dari alat musik perkusi tersebut. Ia seolah ingin mengajak telinga para apresiator untuk lebih merdeka menghargai dan memaknai setiap serpihan bunyi pada alat musik perkusi. Bukan hanya sekedar secuil rempah bunyi yang menguap bersama gelegar string yang lebih melodius.