Tentang Musik Yang Bermain-Main Di Waktu Yang Bergegas
Oleh: Panakajaya Hidayatullah
“Kedua tangannya menjulur ke depan. Matanya tertutup selembar kain yang diikat di lingkar kepalanya. Ia terus meraba angin sekenanya. Berjalan seperti vampir Mandarin dengan kaki yang menyeret laiknya suster ngesot. Sorak sorai suara di sekelilingnya terus mengacaukan konsentrasinya. Keringatnya bercucuran, hingga pecah keubun-ubun. Emosinya beradu, tumpang tindih antara umpatan dan tawa. Lama, ia telah gagal menangkap bunyi, dan tak begitu lincah menyergap lawan. Waktu telah mengalahkannya menjadi lala’ buta (lalat buta)”
Ingatan itu begitu membekas. Kenangan tentang keintiman bermain di masa kanak-kanak. Saya tidak begitu yakin, apa masih ada permainan semacam lala’buta atau permainan tradisional lain di jaman sekarang? Meski (dulu) saya begitu amatir, tapi saya bisa merasakan manfaatnya hari-hari ini. Tak hanya melatih fisik (kinestetik), permainan tradisional juga melatih kepekaan inderawi, interpersonal, emosional dan yang paling penting bagi anak adalah kreativitas dan imajinasi.
Seperti yang sudah awam kita amati, hari ini sudah jarang ditemui hal semacam itu. Anak-anak lebih asyik dengan dunia layar. Menghabiskan waktunya bermain game online. Ya, cukup rebahan dan menyendiri, tak butuh gerakan fisik, tak perlu interaksi tatap muka.
Kegelisahan dan keresahan semacam inilah yang menjadi landasan kritis Mas Pungki membangun gagasannya. Sebagai seorang komposer milenial yang juga mengalami “indahnya” mas bermain, ia berusaha mengartikulasikan uneg-uneg-nya dalam karya musik terbarunya. Karya musik yang mewacanakan “permainan tradisional” dalam konstelasi dunia pascamodern. Karya ini melibatkan kehadiran anak-anak dan menyisipkan idiom-idiom permainan tradisional. Menjelajahi jejak-jejak roman nostalgia dengan kompleksitas ruang lokalitas. Dan, tentu saja tetap memberikan ruang artikulasinya pada gagasan baru (kreasi) sebagai tawaran menatap masa depan.
Di jaman yang katanya serba cepat dan efisien ini, kita telah terbiasa memahami “bermain” sebagai sesuatu yang tidak penting atau bahkan dianggap “membuang-buang waktu”. Dalam konteks ini, Mas Pungki hendak mengajak kita untuk (kembali) bermain-main. Bukan semata-mata untuk membuang waktu, namun mempertanyakan dan memeriksa kembali signifikansi waktu itu sendiri. Menikmati dan meresapi aliran naluriah dunia anak yang bebas dan liar. Menjadi ruang untuk ngaso, dan memberi jeda pada dunia yang semakin bergegas.
Seperti halnya permainan lala’ buta yang berupaya meraba ruang-waktu dengan umpatan dan tawa, karya Mas Pungki akan berusaha memberikan sudut pandang reflektif untuk memeriksa kesadaran kita atas realitas yang baru dan ‘semakin bergegas’ ini.