Purwanta Menafsir Ki Hadjar Dewantara

Oleh: Erie Setiawan

Kita semua sudah tentu pernah mendengar, bahkan akrab dengan trilogi falsafah yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan terbaik negeri ini:  Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Terjemahannya kurang lebih begini: Di depan memberi contoh/teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan

Falsafah tersebut umumnya diinterpretasikan (diterapkan) di lingkup pendidikan dan kepemimpinan. Pengertian di depan, di tengah, di belakang adalah bukan semata posisi layaknya kita membayangkan baris-berbaris. Yang dikehendaki Ki Hadjar Dewantara adalah bahwa pendidik maupun pemimpin diharap mampu hangabehi, atau memiliki kemampuan yang komprehensif. Maka mereka akan bisa menghadapi tugas/kewajiban serta pengabdian secara nyata dan sempurna.

Agak berbeda ketika falsafah tersebut ditafsir oleh Purwanta dalam kaitannyadengan musik. Pertama, falsafah tersebut tidak ditujukan kepada subjek (misalnya pemimpin, guru), melainkan kepada (peran) musik. Kedua, sebagai siasat kreatif otak-atik gathuk, atau katakanlah pedoman ringkas namun jitu, ternyata falsafah tersebut sangat berguna bagi Purwanta dalam menjalani laku kreatifnya berkomposisi, bukan Purwanta sebagai pemimpin atau guru. Ketiga, musik—dalam banyak aspek—bagi Purwanta sarat dengan makna yang sesuai dengan trilogi falsafah tersebut.

Lebih jelasnya mari kita urai satu-persatu secara ringkas berdasar kanapa yang disampaikan Purwanta:

Ing Ngarsa Sung Tuladha “Musik, dalam banyak contoh elemen, instrumen, maupun bentuk, menurut saya, juga berperan memimpin, memberi contoh di depan. Di dalam karawitan misalnya, entah bonang, kendhang, ataurebab, adalah kunci percontohan itu. Mereka harus benar, karena akan diikuti oleh instrumen yang lain. Tiap instrumen yang memainkan peran primer akan menjadi ‘teladan’ yang mempengaruhi instrumen lain maupun terciptanya kesatuan musik.”

Ing Madya Mangun Karsa “Bahwa partikel-partikel dari musik itu tidak saja berperan memimpin, tapi juga manmade poros, dia di tengah, harus bisa melihat 360 derajat di sekelilingnya. Poros ini layaknya titik keseimbangan, bisa ngayomi kiri kanan depan belakang, toleran, saling memahami. Misalnya di dalam sebuah kelompok musik terdapat beberapa instrumen, maka tiap instrumen itu bisa memposisikan diri (fungsi) di tengah, tidak saling mengungguli, tidak juga merasa rendah diri, namun bisa ‘memberi motivasi’ kepada instrumen lain untuk mencipta kesatuan.”

Tut Wuri Handayani “Tugas musik hanya mendukung, tapi sejujurnya memberi pengaruh besar. Misalnya musik dalam konteks, untuk iringan film, tari, teater, dan lain sebagainya. Peran musik tidak bisa dikatakan menonjol, namun juga tidak bisa dibilang tenggelam. Musik ada untuk mendorong dari belakang, memberi kekuatan untuk mendukung sajian seni pertunjukan.”

Itu ‘penemuannya’ Pak Pursendiri? “Betul. He-he-he. Djaduk waktu itu sampai kaget ketika saya menyampaikan pandangan itu. Dia pun selalu mengingatnya ketika kami berproses bersama,” ungkapnya.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.