5 Alasan Non-Musikal Mengapa Anda Harus Menonton Karya Pungki Di Gelar Komposer 2022

Oleh: Panakajaya Hidayatullah

Dalam empat tulisan pendek sebelumnya, saya telah uraikan ulasan-ulasan singkat tentang profil dan wacana kekaryaan Pungki. Tulisan ini adalah simpulan pamungkas dari beberapa rangkaian tulisan singkat itu. Saya yakin anda yang membaca tulisan ini sebagian besar adalah seniman dan penikmat musik, yang sudah pasti punya banyak pengetahuan, alasan dan ekspektasi musikal atas pergelaran ini.

Saya ndak ingin mendahului (spoiler), apalagi mencari alasan-alasan musikal dengan istilah yang gahar bin rumit, sebelum anda menyaksikan sendiri pertunjukannya secara langsung. Lagipula, sebagai anak Madura yang taat pada Kiai, saya selalu dihantui rasa malu, takut untuk ‘cangkolang’ dan keminter. Tapi kali ini, dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada panjenengan semua, ijinkan saya untuk berbagi sedikit alasan-alasan non-musikal (saja), mengapa kita harus menonton karya Pungki?

  1. Karya ini punya potensi pembebasan. Seperti yang sudah pernah saya ulas sebelumnya bahwa karya ini dibangun atas dasar kegelisahan Pungki melihat fenomena kehidupan anak yang terkekang oleh layar smartphone. Alih-alih membicarakan soal anak, karya ini secara umum mengajak kita untuk kembali bebas, tak hanya bebas dari ketergantungan pada gadget dan dunia virtual, tapi juga bebas dari kekhawatiran pandemi yang tak menentu.
  2. Waktunya ngerem, jangan ngegas mulu, biar gak capek. Jaman telah bergerak begitu cepat, semua orang terobsesi dengan kecepatan dan efisiensi. Teknologi hadir seolah memberikan harapan dan kita kian terobsesi untuk melahap semuanya. Hari-hari semakin ramai dan sesak dengan ribuan informasi yang mengalir tanpa henti. Kebenaran dan kebohongan menjadi bias. Kita tak diberi ruang untuk bernapas. Kita perlu rest area, butuh tempat untuk merenung. Kita butuh ‘bermain’ untuk menyadari bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Memengan adalah shelter pemberhentian yang telah disiapkan oleh Pungki, yang niscaya bisa kita serap manfaatnya bersama.
  3. Merawat Kenangan. Karya Pungki mengantar kita menjelajahi masa lalu. Bukan untuk membuat terlena, tapi menyerapnya sebagai cara memahami masa sekarang dan mengantisipasi masa depan. Mengingat-ingat masa kanak-kanak memang hal yang tak bisa (mudah) dilupakan, mirip-mirip dikit lah dengan mengingat mantan. Tapi, jangan terlalu percaya pada SAMSONS, karena ‘kenangan terindah’ soal mantan itu muhal. Memang sulit dilupakan sih tapi itu pahit, gak ada indah-indahnya sama sekali.
  4. Anda butuh lelucon untuk tertawa, supaya imunnya jadi kuat. Saya kira tak ada yang bisa menyangkal bahwa saat ini hal yang sangat kita butuhkan adalah sehat dan bahagia. Di masa pandemi yang melelahkan, kita butuh menguatkan imun. Kita butuh untuk terus bahagia. Ihwal yang paling sederhana yang bisa kita lakukan, ya dengan memperbanyak tertawa. Soal ini, anda bisa baca ulasan saya tentang “Tubuh yang Digayengkè” untuk merasakan betapa lucunya karya Memengan si Pungki.
  5. Memahami Banyuwangi yang tak melulu soal ‘santet’, bokong semok, dan ratapan kèlangan. Saya kira ini hal yang paling menarik dari diri Pungki. Dengan jantan, ia tak mau menutupi kelemahannya dengan berlindung pada hal-hal yang sudah mapan. Kerumitan kuntulan memang ciamik, keseksian musik gandrug memang memikat, kekayaan sinkopasi gamelan Banyuwangi memang epik, tapi Pungki tak mau lagi berlindung di baliknya. Yang ia butuhkan cuma ‘bebas’ menjadi dirinya, seperti halnya bocah-bocah kampung yang bebas menari-nari dengan tubuhnya. Karya Pungki membuka lebar peluang penciptaan wajah baru dalam khasanah seni pertunjukan Banyuwangi. Idealnya memang demikian, seniman harusnya mampu membebaskan belenggu dalam dirinya, supaya tetap kritis menatap perubahan dunia.

Saya kira itu adalah 5 alasan pragmatis mengapa anda harus menonton Pungki, eh karyanya Pungki maksudnya. Saya juga punya alasan kenapa menulis dengan gaya listicle di tulisan terakhir. Selain karena alasan simplisitas, informatif dan memudahkan anda membaca, saya juga berusaha untuk memberikan penekanan pada anda, bahwa acara Gelar Komposer ini sungguh-sungguh penting bagi napas kehidupan permusikan di Jawa Timur, sehingga amat sayang untuk anda lewatkan begitu saja.

Etapi, kalau boleh lebih jujur lagi, sejujurnya saya sudah mulai kehabisan bahan untuk menulis. Dikejar-kejar dan dioyak-oyak panitia setiap hari itu rasanya cukup mendebarkan, seperti dihadapkan pada pertanyaan dingin calon mertua “kapan kamu mau lamar anak saya?”. Hehehe… Pertanyaan yang tak perlu dijawab pakek lisan tapi dibuktikan dengan ‘modal’ yang nyata… hehehe. Nampaknya saya sudah terlalu banyak ngelantur ya, hehehe…Tapi ini politis sih, emangnya cumak komposer yang boleh “ngawur” dan “ngelantur”? sementara penulis harus menulis serius, dan lurus-lurus. Itu tak adil, sungguh tak adil.

Tapi, ya syudahlah, semoga rangkaian tulisan ini bisa sedikit menghibur sekaligus memprovokasi anda-anda sekalian, agar lebih semangat menyambut pergelaran ini. Semoga kita bisa bersua di acara, dan semoga anda tetap dilimpahi berkah serta lingkungan yang senantiasa jenaka.  Cheers…

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.