Jasa Ki Sorwedi Terhadap Wayang Kulit Gaya Timuran
Wayang Jekdongan sebagai wayang khas yang ada di Jawa Timur, merupakan satu aliran wayang yang muncul di wilayah Brangwetan artinya di seberang timur daerah aliran Sungai Brantas yang secara geografis mengacu pada wilayah pusat pemerintahan Majapahit tempo dulu. Daerah yang dimaksudkan adalah Kabupaten Mojokerto, Jombang, Surabaya (Kodya), eks karisedenan Malang (Malang, Pasuruhan, Probolinggo dan Lumajang).
Istilah Jawa Timuran ini diperkirakan muncul sesudah tahun 1965 dan semakin populer sekitar tahun 1970-an seiring dengan didirikannya Pendidikan Formal Sekolah Karawitan Konservatori Surabaya (berubah nama menjadi SMKI atau Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia dan sekarang menjadi SMKN 12 Surabaya). Seni Pedalangan Jawa Timuran atau Wayang Jawa Timuran, pada masa sekarang masih hidup dan berkembang. Namun perkembangannya terbatas dalam kawasan etnis seni budaya daerah Jawa Timuran, di antaranya di wilayah Kabupaten Jombang, Mojokerto, Malang Pasuruan, Sidoardjo, Gresik, Lamongan dan di pinggiran kota Surabaya. Ini pun sebagian besar berada di desa-desa, bahkan ada yang bertempat di pegunungan.
Melihat topografi Jawa Timur yang begitu luas dan jumlah penduduk yang sangat padat, menggambarkan bahwa kehidupan seni Pedalangan Jawa Timuran hanya berada dalam wilayah yang sangat sempit. Sedang arus kesenian dari daerah lain mengalir ke Jawa Timur begitu derasnya, termasuk seni Pedalangan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Demikian pula seni budaya dari negara lain pun tidak ketinggalan hadir di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur dengan begitu cepat dan pesat perkembangannya. Dengan masuknya seni budaya dari luar akan berpengaruh besar terhadap masyarakat untuk tidak mencintai seni budaya daerah setempat. Dalam hal ini terutama kesenian daerah Jawa Timur dengan mudah akan tersingkir, atau setidak-tidaknya akan menghambat kesenian daerah setempat di dalam pelestarian serta perkembangannya.
Hal ini mau tidak mau menimbulkan satu kegelisahan tersendiri terutama bagi Dalang Sorwedi, seorang Dalang berbakat yang lahir di Desa Banjar Pertapan Maduretno Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, 25 Juni 1964. Bagaimana nasib wayang jekdongan di negeri sendiri bila kondisi seperti ini terus berlangsung?. Hal itu menjadikan Dalang Sorwedi sedemikian gundah memikirkannya karena wayang Jawa Timuran menjadi asing di tanah sendiri. Orang Sidoarjo dan sekitarnya lebih sering menanggap dalang-dalang kondang dari Jawa Tengah seperti Anom Suroto, Manteb Sudarsono atau dalang kondang lainnya.
Kegelisahan itu sampai menggumpal dalam benak Sorwedi, apalagi ketika dia mengajar di SMKN 9 (sebelumnya SMKI dan sekarang menjadi SMKN 12) Surabaya. Buku-buku pedoman untuk mengajar pelajaran mendalang gaya Jawa Timuran nyaris tidak ada. Akibatnya bisa ditebak, para siswa kesulitan memahami dan mempelajari mata pelajaran wayang kulit gaya Jawa Timuran. Dan pada akhirnya para siswa lebih condong mempelajari wayang kulit gaya Jawa Tengahan yang memiliki sumber referensi lebih lengkap baik berupa buku pelajaran atau rekaman-rekaman video yang banyak dijual ditengah masyarakat.
Menjawab kegelisahan yang ada pada dirinya itu Sorwedi kemudian mendirikan Forum Latihan Dalang Jawa Timuran (Forladaja) pada 1 Februari 2006. Forum ini berhasil menggaet 12 Dalang dan diketuai olehnya. Beberapa anggota diantaranya Ki Bambang Sugiyo, Raden Ngabehi Sugilar, Ki Abas, Ki Wardono, Ki Matius, Ki Saean, Ki Kartono, dan Ki Yohan Susilo. Setiap dua minggu sekali mereka mengadakan pertemuan dan membahas berbagai permasalahan soal dunia pedalangan gaya Jawa Timuran. Merumuskan format baru bagaimana caranya agar wayang Jawa Timuran bisa diminati masyarakat dan bisa berdiri sejajar dengan wayang Jawa Tengahan. Dari berbagai diskusi itulah pada akhirnya timbul ide dan kesepakatan untuk membuat buku tuntunan pedalangan gaya Jawa Timuran agar bisa dijadikan acuan pembelajaran wayang gaya Jawa Timuran terutama bagi generasi penerus.
Pada awalnya ide itu banyak mendapat tentangan dari dalang senior karena akan menyaingi pangsa pasar tanggapan mereka bila buku itu berhasil diwujudkan, masyarakat akan dengan mudah mengakses dan belajar wayang gaya Jawa Timuran. Tetapi setelah melalui berbagai diskusi panjang pada akhirnya mereka sepakat bahwa buku itu harus bisa terwujud demi pelestarian seni pedalangan gaya Jawa Timur. Proses penulisan buku tersebut semuanya diserahkan kepada Sorwedi. Pada akhirnya terbitlah buku pertama balungan lakon wayang gaya Jawa Timuran dengan judul “Layang Kandha Kelir” yang diterbitkan oleh penerbit Bagaskara Jogjakarta tahun 2007. Respon masyarakat terhadap penerbitan buku tuntunan pedalangan ini ternyata positif sampai dengan 2013 penerbitan telah dilakukan sebanya 4 kali. “Membagikan ilmu jangan hanya dilihat dari jangka pendeknya, tetapi dilihat juga manfaat jangka panjangnya,” demikian kata Sorwedi.
Lahir dari darah keturunan seniman Dalang, Sorwedi menyukai dunia pedalangan sejak kecil. Ayahnya bernama Ichwan, seorang Dalang laris tanggapan di kawasan Sidoarjo dan sekitarnya. Dua adik perempuannya yakni Listyaning dan Endahini, juga menerjuni profesi sebagai seniwati yakni pesinden. Tak pelak dunia pedalangan begitu mendarah daging dalam jiwa Sorwedi. Belajar mendalang selain kepada ayahnya juga kepada seorang Dalang senior asal gempol Ki Soleman. Selain kepada kedua orang itu Sorwedi mengaku lebih banyak belajar mendalang melalui buku tuntunan pedalangan.
Tahun 1979 kelas 3 SMP, Sorwedi pernah menjadi juara 2 Festival Dalang Anak yang diadakan di Taman Budaya Jawa Timur. Tahun 1984 Juara 4 Festival Dalang Sidoarjo dan 1994 masuk 10 besar juara Festival Dalang Jawa Timur. Ketrampilan mendalangnya tidak diperoleh melalui sekolah seni. Sejak SD hingga kuliah Sorwedi sekolah di jurusan umum. Semua ilmu mendalangnya ia peroleh dari dua orang Dalang gurunya dan belajar secara mandiri. Bapak 2 anak ini menghidupi keluarganya murni dari hasil mendalang. Tak banyak Dalang otodidak seperti Sorwedi yang mampu menelorkan sebuah karya berupa buku tuntunan pedalangan. Semua jerih payahnya pada akhirnya sangat bermanfaat hingga sekarang. Banyak anak-anak milenial yang mulai menyukai wayang gaya Jawa Timuran. Dan wayang Jekdong sekarang berdiri sejajar dengan wayang gaya Jawa Tengah, Jogjakarta atau Banyumasan. (san)