BeritaPergelaran

Toean Markoen : Lingkaran Setan Penghancur Lingkungan Dalam Industrialisasi

Taman Budaya Jawa Timur pada Sabtu, 8 Oktober 2022 menggelar pertunjukan teater dimana pertunjukan tersebut merupakan program fasilitasi yang menjadi salah satu agenda kegiatan tahunan. Grup teater yang mengisi pada program fasilitasi tersebut adalah Teater Api dari Kota Surabaya. Pergelaran teater tersebut dipentaskan bertujuan menumbuh kembangkan kehidupan dan kreativitas seniman muda Jawa Timur terutama yang menekuni bidang seni teater modern yang menjadi salah satu garapan pengembangan kesenian yang menjadi tugas pokok fungsi Taman Budaya diantara bentuk kesenian yang lain.

Foto dok. okto TBJT

“Toean Markoem” merupakan judul yang diadaptasi dari naskah teater berjudul “Mesin Hamlet” karya Heiner Muller. Naskah Mesin Hamlet ditulis oleh Heiner Muller seorang seniman asal Jerman Timur. Naskah Mesin Hamlet dipengaruhi oleh aliran Marxisme yang begitu kencang berhembus sekitar tahun 1977. Naskah ini juga dipengaruhi oleh kondisi postmodernisme.

Sebagaimana yang kita telah ketahui bersama, Hamlet adalah tokoh ciptaan Shakespeare seorang aktifis teater asal Inggris yang sangat terkenal di abad 16, yang mengemas Tragedi Hamlet dalam latar belakang Kerajaan Denmark. Naskah yang sarat akan simbol-simbol pergolakan sebuah bangsa ini ternyata disadari oleh Heiner Muller sebagai bentuk umum. Sikap manusia yang secara naluriah berani bertindak apapun demi suatu tujuan, terjadi pula di tempatnya yakni Jerman.

Maka ia mengadaptasi naskah tersebut menjadi Hamlet Machine (De Hamletmachine/Jerman); tentu dengan penyesuaian situasi yang terjadi di Jerman kala itu. Dengan tidak mengambil seluruh tokoh di dalam naskah Shakespeare. Muller hanya “membutuhkan” tiga tokoh untuk memindahkan gagasannya ke dalam naskah. Dipilihnya Hamlet, Horatio, dan Ophelia sebagai pembawa simbol negaranya. Dengan jalan cerita serupa meneruskan naskah Shakespeare, Muller pun “memecah” emosi Hamlet menjadi enam. Inilah yang menjadikannya menarik dan berbeda dari naskah sebelumnya.

Naskah yang penggarapan aslinya adalah sebagai monolog ini menjadi bentuk lain ketika diadaptasi oleh Luhur Kayungga selaku sutradara pada pergelaran Teater Api dengan judul Toean Markoen, menjadi sebuah bentuk Teater Minikata. Sangat minim dialog bahkan mungkin sama sekali tidak ada karena hanya bunyi-bunyian property, musik iringan dan nyanyian seorang aktris yang terdengar mangalun tanpa syair. Teater Minikata  lebih mengutamakan gerak-gerik pantomim, tari, suara, dan seminimal mungkin kata-kata, tidak berunsur cerita yang bersifat alur, tetapi memperlihatkan nuansa suasana dan kejadian yang mengarah kepada suatu gambaran samar yang dapat diberi makna oleh penonton.

Foto dok. okto TBJT

Luhur Kayungga mencoba menggambarkan tentang industri sebagai buah pikiran kaum kapitalis, yang sebenarnya cuma siklus atau lingkaran setan yang pada akhirnya lebih banyak menghancurkan  lingkungan dan menjadi tragedi kemanusiaan. Industrialisasi hanya menjadi rentetan problem kemanusiaan (perbudakan, penggusuran tenaga manusia diganti mesin}. Konsekuensi logis dari hadirnya industrialisasi, menurut Luhur adalah polusi dan pencemaran. Semua menggenangi lingkungan dan meracuni kehidupan banyak orang. Hutan, sawah, sumber air, tanah telah mengalami kehancuran karena limbah dan polusi. Hutan telah dibabat, sawah telah habis, air mengering, tanah telah keropos dan berlubang karena industri. Alam hanya menyisakan 1 pohon untuk kehidupan banyak mahluk. Sebuah ironi besar dan keprihatinan untuk keberlangsungan kehidupan.

Gambaran tentang seluruh alur gerak tubuh yang diperankan oleh para aktor dan suara nyanyian seorang perempuan serta properti pendukung pertunjukan berupa, cerobong asap dari bahan seng, patahan dahan yang dimainkan oleh para pemain, sampah, karakter manusia yang diperankan didukung lighting yang menjadi bagian pertunjukan serta musik ala hip hop yang bergemuruh yang menggambarkan suasana industrialisasi, secara keseluruhan itulah yang dimaksud dengan “Toean Markoen” menurut sang Sutradara. Bagi penonton yang terbiasa dimanjakan dengan teater realis barangkali akan mengalami kebingungan dengan tampilan yang disajikan. Karena nyaris semua adegan mulai awal sampai dengan akhir tak ada dialog sebagaimana terjadi pada teater realis. Namun disitulah letak keunikan pertunjukan teater minikata, setidaknya ada sisi lain dari dunia perteateran yang punya tampilan dalam bentuk lain yang diakui dalam dunia teater itu sendiri.

Para pemain: Galuh Tulus Utama, Widji Utama, Slamet Gaprax, Dedi Obenk, Ridho Slenx, M. Sholeh, Margono, Komang, Naryo, Novi Ariyanto; Sutradara: Luhur Kayungga; Penata Artistik: Mansyur; Penata Musik: Mahamuni Paksi; Penata Rias/Kostum: Nurhayati; Penata Lampu: M. Hidayat; Property: Fatah Ndan, Nono. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.