Workshop Pedalangan Dalam Era Digitalisasi
Dalang, sejak kemunculannya di Zaman Prasejarah mempunyai peran penting di dalam kehidupan sosial budaya. Ia bukan hanya seniman yang multitalenta, melainkan juga budayawan dan ahli spiritual yang mampu menghubungkan antara dunia nyata dan dunia maya. Jika pada masa lalu dunia maya yang dihadapi oleh dalang adalah dunia roh, maka dunia maya yang dihadapi oleh dalang pada zaman sekarang adalah internet.
Sejak Zaman Prasejarah sampai dengan Zaman Orde Lama, dalang di dalam kehidupan masyarakat selalu ‘mengambil peran’ positif. Banyak peran yang disandang oleh dalang pada masa itu, antara lain sebagai syaman, sebagai guru masyarakat, sebagai seniman, dan sebagai budayawan. Hanya di Zaman Orde Baru dalang ‘diperankan’ oleh pemerintah dan para elite politik untuk menyampaikan misi-misinya. Pada Zaman Reformasi sampai sekarang, dalang dituntut untuk ‘mengambil perannya’ kembali sebagai seniman yang berwawasan luas, kreatif, dan inovatif, agar pakeliran yang disajikan dapat diterima oleh generasi milenial yang mulai berjarak dengan dunia tradisi.
Dengan demikian sangat diperlukan pemahaman dan kesiapan para pelaku seni tradisi termasuk dalang di dalam menghadapi lajunya era digital yang semakin sulit dibendung. Kreativitas, inovasi, dan kolaborasi merupakan kunci utama kesuksesan seniman dalang di dalam menghadapi kemajuan zaman. Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa sebagian besar dalang terutama yang berusia 50 tahun ke atas dan tinggal di pedesaan masih buta teknologi. Bagaimana mungkin mereka dapat memiliki perangkat digital, sedangkan untuk mempertahankan hidup saja sulit karena sepinya job pentas, sehingga mereka lebih memilih bersikap nrima ing pandum, yakni menyerah pada keadaan.
Hanya sebagian kecil dari mereka khususnya para dalang muda yang kreatif dan inovatif yang mampu menangkap sinyal Revolusi Industri 4.0. Selain pergelarannya mulai dipublikasikan melalui jaringan internet pada situs web ‘berbagi video’ atau YouTube, juga mereka mulai berbagi tentang pengetahuan pedalangan dan keterampilan teknik pakeliran di media web. Cara ini di samping sebagai sarana untuk meraih popularitas, juga merupakan cara efektif untuk mengenalkan wayang kepada generasi milenial yang kesehariannya akrab dengan dunia maya.
Menyikapi hal tersebut, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan PEPADI Jatim menyelenggarakan kegiatan Workshop Pedalangan yang dikemas dengan judul “Workshop Seni Budaya Tahun 2024”. Tema yang diusung pada workshop ini adalah “Progres Pedalangan Dalam Era Digitalisasi”. Diikuti kurang lebih 75 peserta terdiri dari para ketua PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) 27 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, serta para dalang muda milenial. Acara diselenggarakan di Pendapa Jayengrana Taman Budaya Jatim pada tanggal 25 – 26 Maret 2024 pukul 09.00 WIB. sampai dengan selesai.
Acara dibuka oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas kebudayaan Dan Pariwisata Jatim mewakili Kadisbudpar Prov. Jatim dan Kepala Taman Budaya Jatim yang berhalangan hadir. Point sambutan sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dwi Supranto, S.S., M.M. diantaranya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah berupaya mengambil peran strategis antara lain mengupayakan sinergitas pengelolaan seni budaya dengan seniman serta para stekholder, baik melalui aktivitas berkesenian, peningkatan sarana dan prasarana serta pengembangan sumber daya pelaku seni guna memperkuat basis pengelolaan seni budaya di masyarakat.
Terkait dengan Taman Budaya Jawa Timur sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur diberi tanggung jawab mengelola dan mengembangkan Seni Budaya Jawa Timur, juga didorong untuk lebih mengoptimalkan dalam fungsinya sebagai fasilitator aktifitas berkesenian.
Workshop bagi para dalang ini dimaksudkan memberikan pengetahuan tambahan tentang penguatan teknik berkesenian dan wawasan di bidang seni secara menyeluruh. Untuk itu sebagai seniman kreator seorang dalang harus tetap eksis meng-upgrade dan meng-update kemasan-kemasannya dengan menampilkan sisi hiburan yang lebih menarik namun tidak menyimpang dari nilai-nilai kedaerahannya.
Kreativitas memang mutlak diperlukan bahkan secara ekstrim kreativitas disebutkan sebagai jantungnya kesenian sekaligus merupakan benteng dan proteksi terhadap pelestarian, tetapi kreativitas tentu tidak sekedar beda, bukan imitatif dan bukan asal tempel dengan kata lain “ora mung waton sulaya ning sulaya sing nganggo waton”
Bertindak selaku narasumber pada workshop tersebut:
- Sinarto, S.Kar., MM. (Ketua PEPADI Jatim), membawakan makalah dengan judul: “Mengenal Perilaku Konsumen”.
- Ki Jlitheng Suparman, seorang dalang nyentrik dari Surakarta yang biasa mendalang pada “Wayang Kampung Sebelah”. Materi yang dibahas adalah “Mengenal Video Reels Dan Video On Demand, Wahana Dalang Mengembangkan Ekspresi DI Media Digital”.
Pembicara pertama membahas persoalan perilaku konsumen dalam dunia pedalangan yang bermacam-macam karakternya. Seorang dalang diharapkan mampu membaca dan mengikuti selera yang diinginkan oleh konsumennya dalam memasarkan jualannya berupa sajian pertunjukan wayang. Perilaku konsumen merupakan proses aktivitas ketika seseorang berhubungan dengan sebuah pencarian, pembelian, pemilihan, pengunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Sementara Pembicara kedua memperkenalkan penggunaan aplikasi Video Reels dan Video On Demand. Reels merupakan salah satu fitur baru di Instagram yang disebut dapat memperluas jangkauan akun (engagement) dan meraih followers lebih efektif. Video Reels merupakan video pendek vertikal berdurasi maksimal hingga 90 detik yang dilengkapi berbagai fitur agar video lebih menarik. Sementara Video On Demand (VOD) adalah tayangan konten video hasil rekaman dan editan secara langsung untuk ditonton langsung oleh masing-masing follower. Kedua bentuk video ini bisa disisipi iklan untuk memonetisasi konten sebagai bagian dari strategi advertising dan tentu saja menghasilkan uang.
Pada sesi pertama Ki Jlitheng Suparman membahas persoalan Brainstorming (teknik yang digunakan untuk mengumpulkan gagasan) yang diuraikan dalam beberapa kriteria diantaranya:
- Tentang kondisi obyektif Indonesia menjadi korban perang asimetris dan peran seniman sebagai agen kebudayaan.
- Pemanfaatan teknologi digital sebagai wahana ekspresi dalang dalam rangka membangun eksistensi, upaya misi pencerahan dan perlawanan perang kebudayaan.
- Kekuatan wayang ada pada eksistensinya sebagai seni tutur disertai alat peraga wayang: perbedaan antara panggung dan panggungan.
- Sajian di “panggungan/kelir” sebagai subyek material dalam produksi video.
- Bekal proses kreatif: penguasaan teknologi (skill) dan penguasaan wawasan – ilmu pengetahuan (intelektualitas).
Sesi kedua dipaparkan soal Teori Produksi yang diuraikan dalam beberapa bagian diantaranya:
- Garis besar tahapan proses produksi video.
- Teori struktur cerita: Ide, tema, topik, amanat, judul, plot/alur, penokohan; sebagai bekal pemahaman menyusun cerita.
- Tentang data dan referensi.
- Tentang format video, software dan hardware.
- Tentang reading, blocking dan taping.
Setelah penyampaian teori kemudian dibentuk 5 kelompok kerja dimana masing-masing kelompok membuat 2 karya video dari kamera handphone. Hasil dari karya seluruh kelompok kerja kemudian dibedah bersama sebagai bahan evaluasi bersama.
Pembekalan materi oleh Ki Jlithneg Suparman ini diharapkan mampu manjadi bekal tambahan ilmu sekaligus bisa menjadi tambahan penghasilan para dalang di era digitalisasi saat ini. Dan yang tak kalah penting adalah upaya pengenalan wayang kepada generasi milenial. Generasi milenial perlu mengenal wayang dengan bahasa lakon, pesan sosial, dan ajaran wayang. Dalam pengenalan-pengenalan itu diperlukan sebuah media yang paling berperan dalam zaman generasi ini, diantara modelnya adalah bentuk video reels dan video on demand. (pr)