Gelar Koreografer 2022 The Next Page

Sudah sekian warsa tari kontemporer tidak menjadi salah satu program kegiatan yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur. Apalagi ketika pandemi covid-19 melanda nyaris semua kegiatan pergelaran seni terhenti dari panggung pertunjukan. Berganti menjadi pertunjukan dalam bentuk virtual yang tentu saja punya konsep berbeda dengan panggung pertunjukan yang diselenggarakan secara langsung. Mengobati rasa kerinduan akan eksistensi geliat seni tari kontemporer, maka Taman Budaya Jawa Timur memunculkan kembali bentuk pertunjukan tari kontemporer yang dikemas dalam branding “Gelar Koreografer 2022”. Diselenggarakan pada 5-6 Agustus 2022 di Gedung Kesenian Cak Durasim.

Pemberian penghargaan kepada seluruh pengisi Gelar Koreografer 2022 (Foto dok. okto TBJT)

Tari kontemporer sendiri sebenarnya adalah bentuk baru sebuah tarian  untuk mewadahi perkembangan tari tradisi yang cenderung dibatasi dengan pakem dan aturan yang terbingkai dalam nilai tradisi. Dalam tarian kontemporer ada beberapa ciri di dalamnya. Beberapa ciri yang ada di dalam tarian kontemporer adalah seperti gerakan yang lebih bebas, tidak memiliki keterikatan terhadap aturan yang ada, tidak terlalu bersifat kaku mengingat terhadap tari tradisional, gerakan maupun musik dapat disesuaikan dengan tema yang ada, bersifat aktual atau sesuai dengan tren yang sedang berkembang saat ini.

Ciri yang lain dalam tari kontemporer berikutnya adalah terlalu sulit untuk bisa mengulangi pertunjukan yang sama dengan pertunjukan sebelumnya. Hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya tari kontemporer memiliki sifat bebas, tidak memiliki aturan tertentu dan lebih bisa menunjukkan sisi ekspresi pribadi dari seorang penari. Karena tidak adanya aturan tertentu itulah yang bisa menjadikan pertunjukan baru tari kontemporer tidak sama dengan pertunjukan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini juga karena para penari akan sulit mempertahankan setiap detail ekspresi, gerakan serta durasi pertunjukan yang sama dengan sebelumnya. Untuk itu ide gagasan yang dituangkan dalam gerak tarian oleh seorang koreografer menjadi penting disampaikan kepada para penonton agar bisa memahami makna gerak tari yang disajikan.

Jalan Tengah Part of Tinta Hijau karya Yussi Ambar Sari (Foto dok. okto TBJT)

Tema yang diusung pada Gelar Koreografer 2022 kali ini adalah The Next Page yang mangandung arti harfiah halaman berikutnya, dalam arti yang sesungguhnya mempertanyakan kembali apa yang akan dilakukan dikemudian. Bisa juga sebuah ungkapan harapan terutama dari kalangan seniman tari kontemporer agar tari kontemporer bangkit kembali dan menjadi program kegiatan berkelanjutan yang diharapkan pula menjadi ajang kreatifitas dan wadah bagi terutama koreografer muda yang banyak diluluskan dari perguruan tinggi seni saat ini.

Acara ini terselenggara atas kerjasama Taman Budaya Jawa Timur, Sawung Dance Studio, dan Asosiasi Seni Tari (ASETI) Jawa Timur. Sebelumnya telah dilangsungkan seleksi terbuka yang pendaftarannya mulai 13-15 Juni 2022. Dari hasil seleksi terbuka tersebut terpilih 5 (lima) koreografer muda Jawa Timur yang berhak menampilkan karya mereka di ajang Gelar Koreografer 2022. Kelima koregrafer tersebut adalah: Yussi Ambar Sari, M.Sn. dari Kab. Tulungagung, Errina Apriliyani, S.Sn. dari Kota Surabaya, Sri Cicik Handayani dari Kab. Sumenep, Patry Eka Prasetya, S.Sn. dari Kab. Sidoarjo, Fahmida Yuga Pangestika, M.Pd. dari Kab. Ponorogo. Selain kelima koreografer yang telah lolos seleksi juga ditampilkan 2 orang koreografer tamu yakni Agus Margiyanto atau Agus Mbendol dari Surakarta dan Otniel Tasman dari Banyumas.

Transit karya Errina Apriliyani (Foto dok. okto TBJT)

Dramatur sekaligus mentor yang ditunjuk untuk mendampingi para koreografer yang lolos seleksi dan berhak tampil di Gelar Koreografer 2022 diantaranya adalah: Eko Suprianto atau yang lebih dikenal dengan nama Eko Pece seorang penari, koreografer sekaligus dosen tari di ISI Surakarta, Dr. Peni Puspita dari ASETI DPD Jatim dan Wiwik Sipala dari IKJ. Proses mentoring dilakukan dengan cara daring dan luring, terutama bagi dua mentor yang berada di luar Provinsi Jawa Timur mengingat kesibukan mereka yang tidak dapat ditinggalkan.

Gelar Koreografer 2022 dibuka oleh Kepala UPT Taman Budaya Jawa Timur Samad Widodo, S.S., M.M. yang dilanjutkan dengan penyerahan piagam penghargaan kepada seluruh peserta dan bintang tamu yang mengisi acara oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Dian Okta Yoshinta, S.H., M.PSDM.

Anjasmara karya Agus Margiyanto (Foto dok. okto TBJT)

Penampilan pada hari pertama diisi oleh tiga koregrafer yakni: Yussi Ambar Sari, M.Sn. dari Kabupaten Tulungagung, dengan judul karya Jalan Tengah Part Of Tinta Hijau. Karya ini adalah gambaran aktifitas sebuah warung kopi yang eksploitasikan dalam gerakan tari yang dibukan oleh dua orang penari laki-laki perempuan dengan media sebuah meja sebagai gambaran warung kopi. Menikmati sebuah kebiasaan tapi tak bisa merasakan kebebasan, kenikmatan tak lagi satu rasa, menikmati tak lagi bersama kini, nanti, dan seterusnya, seteguk kenikmatan menjadi satu yakni Jalan Tengah. Begitu menurut Yussi tentang filosofi tari hasil karya ciptanya yang ditampilkan pada penampilan pertama.

Urutan kedua diisi oleh Errina Apriliyani, S.Sn.  dari Kota Surabaya dengan judul karya Transit . Karya ini merupakan upaya tubuh dalam menerjemahkan spirit, disiplin dan ingatan tubuh. Upaya ini ditandai sebagai refleksi koreografer untuk transisi tubuhnya menjadi tubuh yg lain,yang setiap perjalanannya memiliki sejarah, rasa, dan eskpresi yang berbeda. mengambil gerak dasar tari tradisional remo, gerakan-gerakan lugas namun lentur diperagakan oleh Errina yang menarikan sendiri tari hasil karyanya.

Tande’ karya Sri Cicik Handayani (Foto dok. okto TBJT)

Urutan terakhir di hari pertama ditutup oleh penampilan bintang tamu Koreografer​​ Agus Margiyanto dengan judul karyanya Anjasmara . Karya tari ini terinspirasi oleh karakter Anjasmara dalam Serat Damarwulan yang ditulis pada masa keruntuhan Majapahit. Tubuh tari yang mencoba menginterpretasi sosok perempuan bernama Anjasmara. Tubuh tari yang bergerak menjelajahi ruang-ruang imajiner. Tubuh dan ruang menjadi sekumpulan imajinasi, bagaimana seseorang (Anjasmara) mengungkapkan dirinya yang sebenarnya, ketika berada dalam situasi sendirian. Karya ini disajikan sebagai koreografi untuk penari tunggal dan mencoba mengajak penonton menelusuri cara pandang keperempuanan melalui pemaknaan kembali kisah epik kuno ke waktu kekinian.

Tanah Kenangan karya Patry Eka Prasetya (Foto dok. okto TBJT)

Pada hari kedua gelar koreografer diisi oleh empat koreografer masing-masin 3 peserta dan 1 bintang tamu. Penampilan pertama diawali oleh koreografer Sri Cicik Handayani dari Kab. Sumenep Judul karya Tande’ .  Tande’ (dalam tradisi Jawa Timuran biasa disebut Tandak) sebuah kesenian tradisi yang mempunyai kekuatan pada daya pikat intensitas penari wanita dengan lelaki penayubnya. Dengan tatapan mata dan lekuk suara yang khas mampu menghipnotis lelaki untuk mencoba merayu dan menggodanya. Namun diantara itu ada sisi lain dalam diri yang coba ditelaah oleh Sri Cicik dengan seksama yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan terselubung. Nikmatkah penari Tande’ dengan kondisi pergeseran makna dan kontekstualnya?  

Sari Kembang karya Fahmida Yuga Pangestika (Foto dok. okto TBJT)

Tampil pada urutan kedua hari kedua Patry Eka Prasetya, S.Sn. dari Kabupaten Sidoarjo mengusung judul karya Tanah Kenangan. Alam dan lingkungan hidup menjadi tempat tinggal dan hidup manusia. Kondisi lingkungan akan berpengaruh langsung terhadap kondisi manusia. Akan tetapi dalam mengejar suatu peningkatan kualitas hidup, manusia mulai mengembangkan perilaku yang merusak dan mengganggu keberlanjutan alam. Pertentangan nyata ini telah membangun persepsi ironis tentang rumah yang kering, jika tidak ada laku bijak dari sebuah kuliatas hidup. Patry Eka mencoba menterjemahkan perusakan alam oleh manusia karena eksploitasi alam besar-besaran yang dilakukan manusia. Ada properti roda raksasa di atas panggung sebagai gambaran industrialisasi yang menggila yang berakibat pada kerusakan alam yang luar biasa. Kerinduan akan sebauh lingkungan yang alam yang jauh dari perusakan tangan-tangan manusia coba digambarkan dalam sebuah gerakan tari monoplay yang dibawakan oleh Patry Eka.

Urutan ketiga pada Gelar Koreografer 2022 diisi oleh Fahmida Yuga Pangestika, M.Pd. dari Kabupaten Ponorogo dengan judul karya Sari Kembang . Sari Kembang merupakan intisari dari gerakan-gerakan tari pada tarian tradisi Jathil Obyog yang merupakan tarian khas masyarakat Ponorogo. Sari berasal dari dalam diri seseorang, Jathil Obyog yang penuh dengan rasa, kekuatan dan pengalaman. Kembang adalah Jahtil Obyog yang ditunggu kehadirannya sebagai pelengkap suasana agar semakin merekah. Dibawakan oleh tiga orang penari perempuan dengan lemah gemulai yang merupakan pengejawantahan gerakan-gerakan tari Jathil Obyog dalam bentuk kontemporer.

Nosheheroit karya Otniel Tasman (Foto dok. okto TBJT)

Sebagai penutup rangkaian acara Gelar Koreografer 2022 yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur tampil bintang tamu Koreografer Otniel Tasman dari Kabupaten Banyumas Jawa Tengah dengan judul karya Nosheheroit.  Nosheheroit terinspirasi dari kepribadian Dariah, seorang penari Lengger pria asal Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Ide utamanya adalah tentang proses mencairnya maskulinitas dan feminitas dalam tubuh Dariah. Dalam perjalanan menemukan kepribadiannya, Dariah mengalami konflik internal, ketika realitas dua kepribadian utama antara maskulin dan feminin hidup di tubuhnya. Baru-baru ini, pada perjuangan terakhirnya, Dariah terus mengasah praktek ketubuhan lenggernya karena ia memilih untuk mempertahankan kepribadian maskulin dan feminin pada penampilan tubuhnya. Dalam karya ini, Otniel merekonstruksi konflik yang ada pada tubuh Dariah menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah sensualitas dan visualisasi karakter laki-laki. Kedua, representasi eksotisme perempuan. Ketiga, bentuk peleburan kepribadian maskulin dan feminin, kemudian mengungkapkan perpaduan antara gerak tubuh sebagai pengalaman estetis oleh dualitas yang menjelma menjadi satu (nyawiji). Nosheheorit dipentaskan perdana di Charleloi dan Brussel Belgia tahun 2017 dalam festival Europalia lalu di Indonesian dance festival tahun 2018. Dibawakan oleh lima orang penari diantaranya adalah: Mekratingrum Hapsari, Sutrianingsih, Sofi Cipta Andini, Dani S Budiman, dan Mochammad Fauzi. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.