Pergelaran Ludruk Karya Persada Lakon “Mbelekes”
Ludruk Karya Persada dari Kabupaten Mojokerto tampil mengisi pergelaran di Gedung Kesenian Cak Durasim pada Sabtu 13 Agustus 2022. Lakon yang dipentaskan pada pergelaran tersebut adalah “Mbelekes”. Ludruk Karya Persada pimpinan Kukun Triyoga ini tampil perdana di Gedung Kesenian Cak Durasim. Pergelaran dimulai pada pukul 20.00 wib dan menjadi menarik ketika para millenial memenuhi kursi gedung pertunjukan. Fenomena yang cukup menggembirakan sekaligus mengagetkan ketika para millenial mau mengapresiasi kesenian tradisi asli Jawa Timur ini. Semua ini tak lepas dari upaya Taman Budaya yang terus berbenah dalam hal publikasi seni yang ternyata mampu menyasar anak-anak muda melalui media sosial yang terus dikembangkan.
Yang juga menarik adalah hampir semua pemain, official dan pengrawit pada grup ludruk Karya Persada pimpinan Kukun Triyoga adalah anak-anak muda yang sangat potensial sebagai pewaris kesenian asli produk Jawa Timur yang terus menerus menghadapi perlawanan dari eksistensi produk kesenian lain yang datang dari luar. Semuanya tidak terlepas dari upaya Kukun Triyoga yang berusaha menggandeng kalangan millenial untuk mempelajari dan memainkan langsung kesenian ludruk. Dari pengenalan awal kemudian mencoba memainkan kemudian timbullah rasa cinta pada kesenian ludruk. Upaya Kukun Triyoga ini layak mendapat apresiasi, karena tidak hanya sekedar menggelar pertunjukan ludruk di kalangan anak muda, namun langsung terjun merekrut para millenial untuk ikut bermain diatas panggung.
Lakon “Mbelekes” menceritakan tentang genderuwo atau hantu lokal yang hanya ada di Desa Batankrajan Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto. Mitos soal hantu mbelekes itu sempat viral pada era tahuan 1960-1970-an. Istilah mbelekes diyakini oleh masyarakat Desa Batankrajan sebagai sosok hantu perwujudan dari seorang rentenir di desa tersebut yang meninggal mengenaskan karena suatu sebab. Sang rentenir yang awalnya adalah penduduk miskin di desa tersebut yang kemudian menjadi kaya raya karena usaha rentenir yang dijalankannya sukses dan membuatnya hidup makmur. Namun bak kacang lupa kulitnya, si rentenir berubah sikap menjadi seseorang yang sombong, punya centeng kejam yang memperlakukan para peminjam duit si rentenir dengan semena-mena.
Kisah cerita hantu mbelekes yang sempat populer pada era ‘60-‘70an inilah yang coba diangkat oleh Kukun Triyoga menjadi sebuah lakon ludruk yang apik untuk ditonton. Adegan diawali dengan bedhayan atau semacam paduan suara yang dibawakan oleh seluruh pemain ludruk baik laki-laki atau perempuan. Bedhayan pada ludruk biasanya dibawakan oleh sekelompok transgender atau perempuan tulen yang melantunkan lagu-lagu berbahasa Jawa disertai gerakan tubuh yang menyertai alunan lagu. Namun tidak dengan bedhayan pada Ludruk Karya Persada, bedhayan dilakukan oleh semua pemain yang rata-rata masih muda dan formasi yang pola gerak yang tidak pada lazimnya, menggunakan beberapa media panggung kecil sebagai perubahan formasi. Lebih mirip dengan suasana bernyanyi pada pertunjukan opera.
Adegan berikutnya adalah tari remo, tarian ini menjadi ciri khas kesenian ludruk yang ada di Jawa Timur. Boleh dibilang menjadi semacam tarian pembuka pertunjukan, dibawakan oleh 5 (lima) orang penari remo perempuan dengan mengambil gaya tari remo Surabayan gaya perempuan. Disela-sela tarian diselipkan juga tembang jula-juli yang dibawakan oleh salah satu penari remo tersebut. Dengan berpakaian kemben serba hitam berhiaskan sulaman benang emas dan sampur merah sebagai warna ciri khas kostum pada penari remo menjadikan warna tersebut cemerlang ketika disorot lampu pertunjukan warna-warni yang menjadi properti pertunjukan. Gerakan-gerakan tari yang diperlihatkan oleh para penari terlihat lemah gemulai dan cekatan, menunjukkan bahwa penguasaan materi tari remo gaya perempuan tersebut cukup bagus. Gerakan pola lantai yang dipertontonkan oleh lima penari tersebut lumayan sulit karena dibawakan oleh 5 orang penari. Tapi hanya dalam sehari berlatih mereka mampu menguasainya.
Pada adegan ketiga langsung memasuki isi cerita, Wagiman orang kaya di kampung Batankrajan sesumbar tentang kekayaannya. Dia yang dahulu melarat sekarang menjadi orang kaya baru karena kesuksesan istrinya Jumirah bekerja sebagai TKW di luar negeri. Istri Wagiman merasa sudah capek bekerja mencari uang terus di luar negeri, dia ingin menikmati dengan dengan menjalankan usaha dari modal hasil kekayaan yang dia kumpulkan dari luar negeri. Awalnya Wagiman usul agar modal uang tersebut dibelikan tanah atau usaha ternak, namun isterinya menolak. Istrinya mengusulkan agar uang yang ia kumpulkan dijalankan dengan cara usaha pinjaman berbunga atau rentenir. Wagiman ingin membalas dendam kepada rakyat Batankrajan yang dulu menghina diri dan keluarganya ketika masih miskin. Ia ingin menyengsarakan hidup rakyat Batankrajan dengan cara disuruh berhutang kepada dirinya berapapun.
Rakyat Batankrajan yang sedang dilanda paceklik kesulitan mencari makan untuk menyambung hidup. Atas anjuran Rita salah satu orang yang berkerja pada Wagiman orang-orang yang kesusahan disarankan untuk berhutang pada Wagiman. Para penduduk dengan terpaksa banyak yang terjebak jeratan rentenir karena keterpaksaan. Ketika jatuh tempo hutang tak dapat dibayar tak segan-segan Wagiman mengambil paksa apapun harta milik para penduduk yang hutang padanya dan tak mampu membayar. Bila sama sekali tak ada barang yang harus disita, para centeng Wagiman sampai memperkosa istri penghutang yang tak mampu membayar.
Kejahatan Wagiman pada penduduk Batankrajan sudah keterlaluan, namun dia merasa puas karena dia dan keluarganya dahulu ketika miskin selalu menjadi bahan hinaan penduduk Batankrajan. Tindakan Wagiman yang sudah diluar batas perikemanusiaan membuat penduduk yang merasa dianiaya oleh Wagiman dan para centengnya melaknat dan mendoakan Wagiman dan Jumirah istrinya mati sengsara. Doa orang-orang teraniaya itu rupanya di dengar olehNya.
Berkumandang kabar meninggalnya Wagiman dan istrinya Jumirah dari speaker musholla di kampung Batankrajan. Para penduduk bersyukur atas matinya Wagiman dan Jumirah yang sama-sama menjadi lintah darat penghisap kekayaan penduduk tanpa perikemanusiaan. Kematian Wagiman dan Jumirah masih menyisakan piutang yang tertinggal pada para penghutang penduduk Batankrajan. Rita dan dua centeng Wagiman merasa dirugikan atas meninggalnya Wagiman dan Jumirah secara mendadak karena Gaji mereka belum dibayar. Disaat terjadi dialog diantara para pegawai Wagiman yang membahas soal gaji yang belum terbayar, tiba-tiba terdengar suara seperti angin puting beliung dan suara tertawa mirip hantu berkumandang di angkasa.
Para pegawai Wagiman lari tunggang langgang sambil berteriak “mbelekes mbelekes, Pak Wagiman jadi mbelekes”. Para pendudukpun ramai membicarakan hantu mbelekes yang kata mereka perwujudan Wagiman setelah mati karena ulah jahatnya kepada penduduk. Para penduduk jadi ketakutan, tidak berani keluar rumah ketika malam hari karena takut dengan teror hantu mbelekes. BahkanKyai setempat sampai mengadakan doa ampunan yang dipanjatkan kepada Tuhan YME atas teror hantu mbelekes kepada penduduk. Kyai itu mengajak penduduk mendatangi kuburan Wagiman dan Jumirah untuk berdoa memintakan ampunan atas dosa-dosa Wagiman dan istrinya karena kejahatan mereka.
Disaat Kyai bersama penduduk sedang khusuk berdoa, tiba-tiba datang Sugeng, salah satu centeng Wagiman mengusir penduduk dari makam Wagiman dan Istrinya. Sugeng tidak percaya dengan issue hantu mbelekes yang meneror penduduk. Dihancurkannya dua kuburan itu kemudian sesumbar bahwa dirinya sekarang yang berkuasa di kampung Btankrajan menggantikan Wagiman dengan cara menguasai sebagian harta Wagiman berupa tagihan piutang yang masih menjadi tanggungan penduduk Batankrajan, lampu black out adegan selesai. (sn)