Ludruk Bharada Awali Pergelaran Tahun 2023
Taman Budaya Provinsi Jawa Timur mengawali kegiatan perdananya dengan menggelar pertunjukan ludruk. Bertempat di Gedung Kesenian Cak Durasim pada Jum’at 10 Februari 2023, ludruk Bharada Kota Surabaya menjadi pembuka pergelaran tahun 2023 dengan menggelar lakon Lemah Abang. Antusiasme penonton untuk mengapresiasi pergelaran ludruk Bharada sangat luar biasa. Kalangan anak-anak muda banyak memenuhi kursi pernonton yang tersedia. Terutama para mahasiswa Universitas Negeri Surabaya dari Jurusan Sastra Jawa.
Pemesanan tiket tak berbayar baik melalui online maupun on the spot ludes tak bersisa. Kapasitas kursi Gedung Kesenian Cak Durasim sejumlah 412 terisi penuh. Pihak penyelenggara mengantisipasi antusiasme penonton yang tak bisa memasuki Gedung dengan merelay secara langsung video pertunjukan di Pendapa Jayengrana Taman Budaya Jatim. Kursi yang disediakan di pendapapun penuh terisi penonton, bahkan ada penonton yang sampai duduk di lantai pendapa karena tak kebagian kursi.
Ludruk Bharada awal kemunculannya berada di Universitas Negeri Surabaya yang bernaung di dalam sanggar Bharada, bermarkas di Jurusan Sastra Jawa Unesa. Bharada sendiri merupakan akronim dari Bahasa dan Sastra Jawa yang dijadikan nama sanggar dan juga grup kesenian yang diwadahinya. Tak hanya kesenian ludruk yang dikembangkan di sanggar ini, tapi ada juga ketoprak, karawitan, campursari, pedalangan dan semua kesenian yang bersumber dari kearifan lokal budaya Jawa. Sanggar Bharada diketuai oleh Yohan Susilo yang juga alumni Sastra Jawa Unesa sekaligus juga seorang dalang.
Pergelaran perdana Ludruk Bharada yang menjadi awal program kegiatan Taman Budaya Jawa Timur dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Dr. Hudiyono, M.Si. Dalam sambutannya Kadisbudpar Prov. Jatim menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada hadirin atas ketidak hadiran Gubernur Jawa Timur yang berencana hadir dan membuka pergelaran ludruk yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Timur. Disbudpar Jatim melalui Taman Budaya akan terus berupaya menggelar kesenian tradisi yang ada di Jawa Timur sebagai upaya menumbuh kembangkan kreativitas seniman lokal di Jawa Timur. Setiap seniman dilahirkan dalam masyarakat tertentu dengan tradisi tertentu. Tradisi seni telah ada sebelum adanya seniman. Setiap karya merupakan kekayaan tradisi seni yang pada mulanya juga karya kreatif pada zamannya. Seniman kreatif adalah seniman yang peka terhadap lingkungan hidupnya, baik tradisi, budaya maupun kekayaan faktual lingkungan.
Kadisbudpar Jatim berharap bahwa pergelaran ludruk Bharada yang merupakan program kegiatan perdana yang diselenggarakan oleh UPT Taman Budaya ini menjadi satu bentuk pelestarian terhadap kesenian asli Jawa Timur sekaligus sarana hiburan bagi masyarakat. Diharapkan pula mampu menjadi sebuah apresiasi bagi masyarakat khususnya generasi muda agar supaya kesenian tradisi ludruk tidak hilang ditelan zaman akibat gempuran kesenian luar yang cenderung instan dan tidak mengandung nilai moral yang berpijak pada kearifan lokal. Sehingga kesenian ludruk terus lestari dan menjadi kesenian andalan di Jawa Timur.
Pergelaran ludruk diawali dengan tari remo yang dibawakan oleh 5 orang penari remo gaya laki-laki khas remo Surabayan. Para penari terdiri dari 1 orang penari laki-laki dan 4 orang penari perempuan yang masih muda. Kemudian dilanjutkan dengan Bedhayan yang dibawakan oleh 7 orang perempuan muda yang cantik. Bedhayan, yaitu tarian joget ringan yang biasanya dibawakan oleh beberapa travesty (banci) sambil melantunkan kidungan jula-juli. Namun pada ludruk Bharada Bedhayan dibawakan oleh para perempuan asli mengikuti perkembangan zaman yang mulai memasukkan pemain perempuan sebagai pelengkap pertunjukan. Kemudian dilanjutkan adegan dagelan yang menjadi daya tarik tersendiri yang mampu memancing gelak tawa penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Cak Durasim.
Lakon Lemah Abang yang dipentaskan oleh Ludruk Bharada Surabaya mengisahkan tentang problem keluarga yang dialami oleh Abimanyu dan Naya, yang merajut rumah tangga dengan latar belakang status ekonomi berbeda. Naya adalah anak satu-satunya seorang Juragan kaya bernama Juna, memiliki lahan perkebunan tebu yang luas, sementara Abimanyu seorang pemuda miskin yang ikut bekerja di perkebunan tebu milik mertuanya. Ikatan rumah tangga keduanya sebenarnya tidak direstui oleh Juna, namun keduanya ngotot membangun rumah tangga atas dasar saling mencintai.
Abimanyu yang juga menjadi salah satu pengelola lahan tebu milik mertuanya sering terlambat atau bahkan tidak menyetor hasil tebu yang dikelolanya. Hal itu membuat kemarahan Juna pada menantunya yang sudah sejak awal pernikahan dengan Naya anaknya setengah hati ia restui. Pada suatu saat Ketika Abimanyu tidak menyetor hasil tebu kepada mertuanya, maka si mertua menyuruh Ulum salah satu tangan kanan dan juga centengnya untuk menagih pada menantunya.
Disamping sebagai centeng dan orang kepercayaan, Ulum juga ditugasi Juna untuk menjaga lahan perkebunan tebu dari pencurian yang dilakukan oleh penduduk sekitar. Ketika Ulum akan berangkat menagih setoran pada Abimanyu, didapatinya di sebuah lapangan seorang anak perempuan yang dikerjai oleh teman-temannya dalam sebuah permainan hingga anak perempuan tersebut ditinggal sendirian. Anak perempuan tersebut Bernama Datun yang tak lain adalah anak dari Abimanyu dan Naya yang sekaligus juga cucu perempuan Juna pemilik perkebunan tebu. Datun dituduh Ulum si centeng telah mencuri tebu kemudian dibunuhnya.
Kemudian Ulum melapor kepada Juna karena telah gagal menagih setoran tebu kepada Abimanyu dan juga laporan pembunuhan seorang anak perempuan yang dituduhnya telah mencuri tebu. Naya menanyakan ciri-ciri anak tersebut kepada Ulum yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa yang telah dibunuhnya itu adalah Datun anaknya. Juna yang tahu bahwa yang dibunuh oleh centengnya itu adalah cucunya marah besar, Ulum akan dibunuhnya, tapi Ulum segera lari menyelamatkan diri.
Abimanyu pulang ke rumah mertuanya kemudian menanyakan keberadaan anak perempuannya, dijelaskan oleh Naya istrinya bahwa Datun anak perempuan mereka telah dibunuh oleh Ulum centeng bapaknya. Juna menantang Abimanyu untuk menuntut balas atas kematian anak perempuannya. Abimanyu yang mendengar berita menyedihkan itu kontan emosi dan secepat kilat keluar mencari keberadaan Ulum.
Duel diantara Abimanyu dan Ulum tak bisa dielakkan Ketika keduanya bertemu. Rasa bersalah pada diri Ulum versus kemarahan meluap-luap pada diri Abimanyu yang sulit dikendalikan pada akhirnya mengakhiri bentrok keduanya. Ulum tewas terbunuh di tangan Abimanyu, tanah perkebunan tebu yang menghijau seakan jadi membara merah karena cipratan darah Ulum yang membasahi bumi, adegan selesai. Pergelaran ini disutradarai oleh Andre Prasetya Wijaya dengan didukung pemain Muhammad Juniawan Saputra, Rifka Patricia Devi, Muchammad Bahrul Ulum, Sinta Fitri Novia, Elyana Dwi Randyany, Elisa Putriani, Anindya Septyani, Reni WIndiarti, Abimanyu Aditya Bramara, Herman Prasetiyo, Mufidatun Ni’mawati, Ihwatun Fadilan N.I., grup karawitan pengiring Sanggar Bharada Unesa Surabaya. (sn)