Ludruk Kolaborasi Sandiwara Mata Hati “Kepaten Obor”
Puncak peringatan HUT Taman Budaya Jawa Timur ke-45 dimeriahkan dengan sajian kolaborasi seni ludruk yang mengambil lakon “Kepaten Obor”. Diselenggarakan di Gedung Kesenian Cak Durasim pada, Sabtu, 20 Mei 2023, pukul 20.00 wib. Acara dibuka oleh Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jatim Drs. Benny Sampirwanto, M.Si. mewakili Gubernur Jawa Timur yang tidak bisa hadir.
Pada pergelaran ini tidak seperti pada pergelaran ludruk pada umumnya, namun bentuk teater modern sangat menonjol ditampilkan. Tak sekedar unsur teater saja yang menonjol, tapi juga ada garap tari, garap iringan dan artistik panggung yang lebih mendekati bentuk teater modern. Ludruk kolaborasi Sandiwara Matahati berjudul “Kepaten Obor” merupakan sebuah sandiwara yang bergaya tutur ludruk besutan dengan mengadapatasi cerita novel “Animal Farm” (Peternakan Hewan) sebuah novel pendek satir yang ditulis oleh George Orwell mengenai sekolompok hewan yang mengulingkan kekuasaan manusia, yang ditulis pada masa Perang Dunia ke II dan diterbitkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Animal Farm” adalah novel alegori politik yang menceritakan tentang hewan-hewan peternakan yang mencoba memberontak kepada manusia (petani). Hewan-hewan menginginkan dunia yang adil dan bebas, tapi pemberontakan justru berakhir dengan situasi yang tidak lebih baik akibat kepemimpinan diktator dari para babi. Ditulis oleh George Orwell pada November 1943 – Februari 1944. Cerita tentang Animal Farm dianggap sebagai kritik terhadap pemerintahan Uni Soviet era Stalin dan negara-negara lain dengan gaya pemerintahan diktator. Buku Animal Farm dilarang beredar dan dibaca di Uni Soviet pada masa Perang Dingin, Cuba, Korea Utara, Uni Emirat Arab, beberapa negara di Afrika Utara, dan juga di Cina hingga awal tahun 2000.
Struktur pertunjukannya diawali dari pertemuan imajinatif tokoh pergerakan Dr Sutomo dengan Gondo Durasim yang membahas keadaan zaman sekarang hingga direfleksikan pada anak-anak sekarang dengan gaya bertutur cerita keluarga binatang di sebuah hutan yang dikemas dalam sebuah tontonan sandiwara musik hasil kolaborasi seniman dan pekerja seni Jawa Timur dengan sanggar-sanggar binaan Taman Budaya Jawa Timur.
Pertunjukan ludruk digelar disamping sebagai puncak acara peringatan HUT Taman Budaya yang ke-45 juga dimaksudkan untuk memaknai semangat Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada, 20 Mei 2023, menjadi semangat kebangkitan kesenian ludruk yang sudah cenderung hanya menjadi media hiburan semata. Mereka berdua meratapi apa yang menjadi keluh kesah pertiwi tentang bangsa ini. Dr. Sutomo dalam dialognya mengajak cak Durasim sebagai pelaku seni ludruk untuk kembali bergerak seperti dulu kala karena sejatinya seniman dan tokoh pergerakan itu sama, yaitu sama-sama tergerak hati dan pikirannya ketika bangsa ini sedang terjadi masalah.
Pertunjukan terbagi menjadi 15 adegan dimana pada adegan awal Dr. Sutomo berpesan kepada cak Durasim bahwa sudah waktunya ludruk kembali pada fungsinya sebagai media aspirasi rakyat menyuarakan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat bukan hanya semata-mata hiburan. “ Lah iyo cak, Nek biyen pancen bekupon omahe doro, Melok nipon tambah sengsoro. Lah nek saiki, wes gak onok bekupon, kok pancet onok doro. Wes gak onok nippon, kok pancet urip sengsoro” yang artinya “Lah iya cak, kalau dulu memang bekupon itu rumah burung dara, ikut nippon (penjajah Jepang) tambah sengsara. Lah sekarang sudah tidak ada bekupon, kok tetap ada burung dara. Sudah tidak ada nippon (penjajah Jepang) kok tetap saja hidup sengsara”.
Aktor Cak Durasim digambarkan sebagai tokoh Besut. Yakni karakter ludruk tradisional yang dalam setiap penampilannya, pasti membawa pesan atau petuah. Sesuai namanya, “Besut” yang berarti “Mbeto Maksud” atau “Pembawa Maksud”. Tokoh Besut diperankan oleh Heru Pamungkas aktor ludruk Gita Praja, ia berhasil mengocok perut penonton bersama lawan mainnya, Rusmini yang diperankan oleh Gita Rahayu. Kedua suami-istri itu dibujuk oleh paman mereka, Man Gondo diperankan oleh aktor ludruk kawakan Hengki Kusuma yang datang bersama seorang investor. Ingin membeli rumah dan tanah milik Besut. Besut menolak, tapi Rusmini menerima, karena dia ingin hidup lebih layak. Karena Besut tak mau menjual tanahnya, maka Sumo Gambar si investor, memaksa untuk merampasnya.
Ketenangan hutan dengan segala binatang yang tinggal di dalamnya terancam. Hutan itu merupakan lahan milik Besut. Aktor-aktor yang berperan sebagai monyet, rusa, anjing dan babi hutan bertengkar memperebutkan siapa yang jadi pemimpin. Pementasan itu sekaligus menyimbolkan keserakahan manusia, atau sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Pada adegan terakhir Dr. Sutomo membawa topi, sampur dan bebet dengan diiringi para penari obor membuat komposisi gerak yang menggambarkan pencerahan telah datang.
Dr. Sutomo menjelaskan tentang filosofi topi, sampur, dan bebet sebagai simbol jati diri. Mahkluk tidak akan berarti ketika kehilangan jati dirinya. Manungso kang mulyo yoiku manungso sing nduweni budi kang utomo. Dr. Sutomo mengenakan kembali bebet, topi dan sampur pada besut. Ketika sampur dikalungkan di lehernya, Besut berlahan bangkit seperti menemukan jati dirinya kembali. Para penari obor saling menyalakan obor satu sama lain. Semuanya bangkit mengobarkan semangat persatuan dan manari remo bersama sebagai simbol perlawanan dan perjuangan dengan kidungan tentang pentingnya budi pekerti agar kita menjadi manusia yang manusia dalam menghadapi Revolusi Otomatis. Penulis naskah Agung Kassas, menyebut pentas itu sebagai Sandiwara Mata Hati. “Karena memang menyuarakan suara hati. Konsepnya ludruk sebagai bagian dari tradisi Jawa Timur.
Pergelaran ini disutradarai oleh Heri Lentho, para pemain yang akan memerankan tokoh diantaranya: 1. Nanang HP/Dr. Soetomo; 2. Heru Pamungkas/Cak Durasim; 3. Gita Rahayu P./Rusmini; 4. Hengki Kusuma/Man Gondo; 5. Didiet/Sumo Gambar; 6. Anisatul/Pertiwi; 7. Yudho/Pemeran Garuda; 8. Nasier/Pemeran Kancil; 9. Sobirin/Pemeran Celeng; 10. Rifai/Pemeran Anjing; 11. Yakult/Pemeran Kuda; 12. Arie Kamto/Pemeran Monyet
Pergelaran juga di dukung oleh sanggar-sanggar seni yang ada di Kota Surabaya diantaranya : Sanggar Dhimar Dance Teather, Sanggar Tari Jatiswara/Gong Prada, Sanggar Tari Candik Ayu, Sanggar Tari Lab. Remo, Sanggar Tari Kalimas, Sanggar Tari Brang Wetan, Sanggar Tari Kreasi Baru.
Antusiasme penonton yang ingin menyaksikan pergelaran spektakuler ini sangat luar biasa. Gedung Kesenian Cak Durasim dengan kapasitas tempat duduk 412 terisi penuh baik pemesanan via online maupun on the spot. Penonton yang tidak kebagian tempat duduk ada yang mengisi ruang kosong diantara kursi-kursi yang disediakan. Yang tidak bisa masuk ke gedung karena tidak muat, para penonton menyaksikan melalui video yang disender di Pendapa Jayengrana, dan kursi yang disediakan di pendapapun penuh terisi bahkan banyak penonton yang duduk di lantai pendopo. (sn)