Pemberontakan Ki Ageng Mangir Dalam Lakon Ketoprak “Pedhut Mataram”
Taman Budaya Jawa Timur menggelar seni pertunjukan tradisional ketoprak di Pendapa Jayengrana pada 2 Agustus 2024. Pergelaran tersebut merupakan rangkaian penutup “Semarak Gelar Seni Menyambut Kemerdekaan RI Ke-79” yang diselenggarakan selama sepekan. Grup yang mengisi acara yakni Ketoprak Suryo Budoyo pimpinan Daryono yang beralamat di Karang Gayam I/15 Tambaksari Surabaya. Lakon yang diusung adalah “Pedhut Mataram”.
Di era sekarang seni ketoprak semakin terpinggirkan di tengah arus modernisasi sebab masyarakat khususnya generasi muda beranggapan bahwa seni ketoprak sudah ketinggalan jaman. Masyarakat cenderung memilih siaran televisi, youtube dll., sebab dalam penyajiannya lebih menarik. Padahal sebenarnya fungsi Ketoprak dan televisi itu sama-sama menyampaikan pesan kepada masyarakat. Setiap pertunjukan digelar penonton yang menyaksikan sedikit. Faktor yang mendorong para pemain tetap bertahan dalam era modern seperti saat ini adalah adanya rasa memiliki dan mereka ingin melestarikan budaya agar generasi muda tidak melupakan sejarah bangsa.
Meskipun pada kenyataannya seni ini semakin ditinggalkan masyarakat khususnya generasi muda. Nilai yang dipertahankan dalam seni Ketoprak adalah nilai moral, sosial-kultural, nilai pendidikan dan nilai estetika. Melalui pergelaran ketoprak yang diselenggarakan Taman Budaya Jatim ini diharapkan para generasi muda mau mengapresiasi cerita serta pesan-pesan moral yang disampaikan pada lakon carita “Pedhut Mataram” ini.
Lakon “Pedhut Mataram” mengisahkan tentang pemberontakan Ki Ageng Mangir Wanabaya terhadap Panembahan Senapati raja pertama Mataram Islam. Ki Ageng Mangir adalah seorang penguasa di tanah Mangir. Ia dikenal sebagai seorang yang tampan, gagah, berani, sakti mandraguna. Ki Ageng Mangir juga dikenal sebagai orang yang mempunyai senjata ampuh berupa tombak, yang dikenal dengan sebutan Baru Klinthing. Menurut cerita, tombak Baru Klinthing berasal dari lidah seekor ular naga raksasa yang bernama Baru Klinthing.
Namun, Ki Ageng Mangir mempunyai sifat yang kurang baik yaitu egois dan sombong. Ia tidak mau tunduk kepada Mataram. Ia menganggap bahwa tanah Mangir adalah tanah perdikan, artinya bebas merdeka, tidak harus tunduk dan patuh pada Mataram. Panembahan Senopati sebagai raja Mataram telah beberapa kali mengirim utusan ke Mangir untuk membujuk Ki Ageng Mangir mau menghadap ke Mataram. Akan tetapi Ki Ageng Mangir tetap pada pendiriannya, tidak mau menghadap dan tunduk pada Mataram. Bahkan, ia menantang untuk perang. Sikap Ki Ageng Mangir membuat Panembahan Senopati marah dan merasa disepelekan.
Panembahan Senopati memerintahkan agar Kerajaan Mataram mempersiapkan untuk melakukan perlawanan terhadap Ki Ageng Mangir. Akan tetapi, Ki Juru Mertani, penasihat Kerajaan Mataram, tidak setuju apabila Ki Ageng Mangir dihadapi dengan perang, sebab akan membawa banyak korban. Nasihat dari Ki Juru Mertani dipertimbangkan oleh Panembahan Senopati. Akhirnya diambil jalan untuk menghadapi Ki Ageng Mangir dengan cara tipu daya secara halus.
Panembahan Senopati kemudian memanggil puterinya, yaitu putri Pembayun. Panembahan Senopati merencanakan untuk menakhlukkan Ki Ageng mangir melalui puterinya. Pembayun diutus untuk menyamar sebagai ledhek, yaitu wanita cantik yang menari dengan berpakaian adat Jawa, diiringi oleh gending-gending Jawa. Ledhek biasanya ngamen, berkeliling dari kampung ke kampung. Puteri Pembayun menyanggupi permintaan dari ayahandanya, Panembahan Senopati, untuk menyamar menjadi ledhek. Pembayun ditemani oleh saudara dan pengiringnya. Pembayun menjadi ledhek dan saudaranya penjadi penabuh gamelan.
Mereka kemudian ngamen berkeliling dari kampung ke kampung. Pada suatu hari, sampailah mereka di Desa Mangir, tempat Ki Ageng Mangir berkuasa. Ki Ageng Mangir seorang penggemar ledhek. Melihat ada ledhek yang sangat cantik jelita, Ki Ageng Mangir pun tertarik untuk menikmatinya. Semakin lama melihat ledhek, Ki Ageng Mangir semakin jatuh cinta. Akhirnya, Ki Ageng Mangir meminta Pembayun menjadi isterinya. Pembayun pun sangat senang, karena misinya untuk menarik Ki Ageng Mangir telah berhasil. Ki Ageng Mangir akhirnya menikah dengan Pembayun.
Dalam perjalanan pernikahannya, Puteri Pembayun diketahui hamil. Mendengar kehamilan isterinya, Ki Ageng Mangir bahagia sekali, karena sebentar lagi ia akan mempunyai keturunan dari seorang isteri yang sangat dicintainya. Namun, Pembayun masih merasa ada ganjalan, karena selama ini ia menyimpan sesuatu dari suaminya. Akhirnya Pembayun memberanikan diri berterus terang kepada Ki Ageng Mangir mengenai siapa dirinya. Mendengar pengakuan Pembayun, Ki Ageng Mangir sangat marah, karena ia telah ditipu. Tanpa sepengtahuannya, ia telah menjadi menantu musuh bebuyutannya, yaitu panembahan Senopati. Namun, Pembayun tetap dengan sabar tetap mencoba meredam rasa dendam Ki Ageng Mangir terhadap ayahandanya, Panembahan Senopati. Pembayun meyakinkan Ki Ageng Mangir bahwa ia benar-benar mencintai Ki Ageng Mangir. Pembayun dengan sabar membujuk Ki Ageng Mangir agar mau menghadap mertuanya, Panembahan Senopati.
Usaha Pembayun membujuk Ki Ageng Mangir akhirnya berhasil. Demi cintanya kepada sang isteri serta bayi yang sedang dikandung Pembayun, Ki Ageng Mangir mau menuruti permintaan isterinya untuk menghadap Panembahan Senopati ke Mataram. Kedatangan Ki Ageng Mangir disambut dengan membuat tarub. Akan tetapi tarub tersebut dibuat pendek, hanya cukup untuk berdiri saja. Tarub dibuat sedemikian rupa dengan maksud agar senjata Ki Ageng Mangir, yaitu tombak Baru Klinthing tidak dibawa masuk. Sesampainya Ki Ageng Mangir di Mataram bersama Pembayun, mereka langsung menghadap Panembahan Senopati. Tombak Baru Klinthing ditinggal di luar tarub.
Begitu bertemu dengan Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir langsung menghaturkan sujud sungkem kepada mertuanya. Ketika Ki Ageng Mangir sungkem, Panembahan Senopati membenturkan kepala Ki Ageng Mangir ke batu tempat ia duduk yang disebut Watu Gilang. Kepala Ki Ageng Mangir hancur dan tewas seketika. Melihat suaminya tewas, Pembayun menangis sejadi-jadinya, karena ia pun sangat mencintai suaminya.
Pergelaran ketoprak Suryo Budoyo dengan lakon “Pedhut Mataram” ini disutradarai oleh: Deni Wijaya, penata artistik: Widayatno, penata iringan: Kusbyantoro, penata rias: Ernawan/Diyah, property: Karyanto. Didukung oleh kurang lebih 40 orang seniman pergelaran ketoprak Suryo Budoyo dengan lakon “Pedhut Mataram” berlangsung sukses. Kursi yang disediakan panitia semua terisi, bahkan banyak penonton yang menyaksikan sambil berdiri atau duduk di lantai pendapa. Yang lebih menggembirakan lagi sekira 60 persen penontonnya adalah dari kalangan muda. (pr)