Pergelaran

Pergelaran Ludruk Lintas Generasi “Medang Taruna Budaya”

Sejak awal berdirinya ludruk Medang Taruna Budaya (MTB) sudah berkomitmen untuk mengekplorasi bakat dan minat pada anak-anak usia sekolah untuk dikader menjadi generasi pewaris budaya kesenian ludruk. Dari semangat yang luar biasa dan dukungan moril para wali murid akhirnya menjadikan eksistensi grup ludruk MTB semakin berkibar. Para alumni didikan grup ludruk MTB banyak yang melanjutkan ke sekolah seni dan masih peduli dengan sekolah kesenian non formal yang telah membesarkannya. Ibarat ayam takkan lupa dari induknya, para alumni sangat peduli dengan keberadaan grup ludruk yang telah mengajari mereka tentang sebuah proses pewarisan sebuah kesenian yang adiluhung yang memang sudah selayaknya harus diwarisi, diuri-uri dan dilestarikan oleh mereka. 

Foto dok. TBJT

Ludruk MTB bermarkas di UPT. Balai Pemuda Surabaya tepatnya di kantor Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Para anggota diberi ruang kebebasan untuk mengasah ketrampilan mereka dalam bidang seni khususnya ludruk dan pernik-perniknya. Yang punya bakat dan berminat menekuni keaktoran bisa langsung menerjuninya, dibawah bimbingan cak Sabil Lestari. Yang berminat pada unsur tarian dibimbing langsung oleh pemimpin grup Yuni Sugiyo. Sementara yang berminat pada garap iringan juga bisa menekuninya dengan bimbingan dari para alumni yang telah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi kesenian. Proses pewarisan ilmu berlangsung gratis tanpa iuran sepeserpun, dan anak-anak yang berlatih di grup inipun selalu antusias dan enjoy menjalani sesi latihan yang kadang berat dan menyita waktu. Dari kemauan timbul kesukaan, dari kesukaan timbul cinta. Kecintaan yang tinggi pada kesenian asli anak bangsa akan menumbuhkan semangat nasionalisme yang tinggi pula dalam jiwa dan berakhir pada kecintaan yang luar biasa pada tanah air Indonesia.

Pada Jumat, 22 Agustus 2025 Ludruk MTB menggelar pertunjukan ludruk di Gedung kesenian Cak Durasim Taman Budaya Jatim pada pukul 13.00 wib. sampai dengan selesai. Lakon yang dipergelarkan yakni “Suroboyo Wani Suroboyo Hebat”. Lakon ini mengangkat cerita tentang pertempuran besar antara laskar Mataram dan para prajurit Surabaya. Lakon ini mengambil seting cerita sejarah penaklukan kota Surabaya oleh kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. Peperangan antara Surabaya dan Mataram berjalan selama hampir lima tahun (1620 – 1625 M). Mengetahui rencana penyerangan dari Sultan Agung, Adipati Pekik segera mempersiapkan pertahanan. Ia menunjuk Patih Suradigda, seorang panglima tangguh, untuk memimpin pasukan menghadapi Mataram. Di sisi lain, pasukan Mataram dipimpin oleh Patih Tridanagara. Pertempuran sengit pun terjadi di perbatasan Surabaya.

Foto dok. TBJT

Surabaya tidak mudah dikalahkan karena militansi rakyat dan para prajuritnya untuk mempertahankan wilayah dari pendudukan Mataram. Beberapa kali pasukan Mataram dipukul mundur saat berusaha menerobos benteng pertahanan Surabaya. Dalam duel penuh kehormatan dan strategi, Patih Suradigda berhasil melumpuhkan lawannya dan membuat pasukan Mataram mundur dalam keadaan kacau. Kemenangan ini menjadi titik balik sementara bagi Surabaya.

Kuatnya pertahanan Surabaya terutama disebabkan karena benteng alami yakni keberadaan pecahan sungai brantas yang mengelilingi Surabaya. Kekalahan di medan perang membuat Sultan Agung berpikir ulang. Ia menyadari bahwa kekuatan senjata saja tidak cukup. Keadaan ini akhirnya diketahui oleh ahli strategi perang Mataram. Setelah berdiskusi dengan Patih Tridanagara yang telah pulih, muncullah ide untuk menyerang secara tak langsung: mencemari Sungai Brantas yang menjadi sumber air utama Kadipaten Surabaya. Dengan mencemari sungai, pasukan Mataram berharap bisa memaksa warga dan prajurit menyerah tanpa harus berperang lagi. Rencana ini pun dijalankan secara sistematis dan penuh perhitungan.

Prajurit Mataram mencemari aliran sungai dengan bangkai hewan, limbah, dan kotoran manusia. Sungai yang biasanya jernih berubah warna menjadi kuning keemasan. Warga yang tergantung pada sungai untuk minum dan kebutuhan sehari-hari mulai mengalami krisis. Sementara itu, pasokan makanan dari luar juga diblokade. Dalam situasi terjepit ini, Adipati Pekik akhirnya menyerah demi menyelamatkan rakyatnya. Penyerahan ini membuka peluang bagi Sultan Agung untuk menyatukan kekuatan dalam menghadapi penjajahan Belanda yang semakin mencengkeram tanah Jawa.

Foto dok. TBJT

Setelah peristiwa pencemaran tersebut, masyarakat mulai menyebut aliran sungai itu dengan nama Kalimas. Dalam bahasa Jawa, “kali” berarti sungai, dan “mas” berarti emas, mengacu pada warna kuning air sungai yang tercemar saat itu. Nama Kalimas bukan hanya sekadar sebutan, tetapi menjadi simbol sejarah perjuangan, strategi, dan persatuan. Nama ini juga dikenang sebagai bukti bahwa perang tak hanya terjadi di medan tempur, tapi juga melalui taktik yang memengaruhi kehidupan rakyat.

Di sisi lain Sabil Lestari selaku sutradara Ludruk Medang Taruna Budaya mencoba menyisipkan issue soal pencemaran lingkungan yang sering dilakukan oleh masyarakat atau para pengusaha terutama yang punya pabrik di sekitar Kali Mas. Pembuangan sampah dan limbah pabrik sering dilakukan oleh masyarakat dan para pengusaha. Ketika sungai tercemar terutama akibat pembuangan limbah pabrik banyak ikan yang hidup di Kali Mas mati. Hal ini tentu saja sangat mengganggu ekosistem kehidupan di Kali Mas dan sangat membahayakan bagi kehidupan penduduk Surabaya. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses