Artikel

Willyday Onamlay Muslim Birahi Sang Pelinting Bunyi

Oleh: Andri Widi Asmara

Sudah kesekian kalinya, bunyi gergaji disusul hantaman palu mendistorsi pembicaraan. Di tengahnya, sesekali terdengar sayup lengkingan denting logam. Entah, saya masih bertanya dalam hati. Berulang-ulang, rasanya seperti mendengar pergulatan perkakas berat. Saya mulai berspekulasi, mungkinkah ada tetangganya yang sedang membangun sebuah rumah?

Misteri kegaduhan itu semakin membingungkan, karena pembicaraan ini hanya dilantangkan melalui secuil speaker ponsel. Otomatis serangan derau tersebut tak terelakan. Mereka berbaur, berhimpit, saling rebut dengan suara mulut, mengantri menuju sinyal yang menyulap fakta akustik, untuk diluncurkan oleh gawai dalam tekanan rawan latency.

Perlu diketahui, ternyata tidak ada tetangganya yang sedang membuat rumah. Ironis. Sementara itu, derau tersebut selalu merebut kejelasan percakapan kami. Orang yang saya ajak bicara ini bukan pandai besi, apalagi pekerja bangunan. Ia tidak bisa mengaci dinding, mengecor, apalagi membuat kerangka rumah. Ia menyebut dirinya sebagai seorang pelinting bunyi. Orang lain sering menjulukinya sebagai seorang komposer, penggubah musik. Setelah dicermati, sumber kegaduhan yang saya ceritakan di awal tadi, merupakan derau yang ia hasilkan dari proses pembuatan ricikan. Ternyata ia sedang membuat gamelannya sendiri, Gamelan Namali.

Ia merakit, mengadaptasi, mengaplikasi, mengubah, dan memodifikasi sendiri kebudayaan bunyi yang bertolak dari tradisi gamelan pada umumnya. Tangannya piawai dalam menggergaji, merakit, membentuk, mengukur, dan menala. Dimulai dari pembuatan gender, gambang, hingga satu set gamelannya sudah mulai nampak.

Gamelan Namali adalah wujud fisik dari embrio Laras Namali, lengkap dengan bentuk notasi dan simbolnya sejak tahun 2017. Gamelan Namali sendiri ditopang oleh 44 laras dan 68 Wilah. Walaupun menopang begitu banyak laras (baru), gamelan ini masih harmonis untuk dimainkan bersamaan dengan yang pakem. Bisa dikatakan, ia seorang penikmat kemutakhiran bunyi, namun tidak melupakan yang pakem. Ia adalah Willyday Onamlay Muslim, panggil saja Willy.

Malang adalah tempat kelahirannya. Kebudayaan di sekitarnya membentuk preferensi selera dan kemampuan musikalitasnya. Sejak kecil, ia selalu terobsesi dengan yang serba cepat, seperti membaca cepat, berpikir cepat, dan juga mendengarkan musik bertempo cepat. Alhasil, di saat ia membuat karya, ia terpengaruh pada konsepsi bawaan tersebut. Karya yang dihasilkan hampir semuanya bertempo cepat. “Gagrak Malangan”. Ia menyebutnya dengan mantap. Ia menambahkan, “intine aku suweneng unsur musik sing cepet, rumit, karo sing volumene kuweras”.

“Gelar Composer 2022” merupakan salah satu ajang sounding temuan Namali-nya, yang sampai saat ini masih terus dilengkapi dan dikembangkan. Willy bukan tipikal yang betah berdiam diri. Ia bukan tipikal orang yang mudah puas. Birahi seni seperti ini memang sudah seharusnya menyerang para komponis muda lainnya. Ia masih terus berproses, rutin melahirkan karya, diikuti kebaruan-kebaruan di dalamnya.

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.