Berita

Pendokumentasian Kesenian Ludruk Karya Budaya Kabupaten Mojokerto

Kesenian Ludruk dari Jawa Timur sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) sejak tahun 2014 oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Taman Budaya Jawa Timur selaku instansi yang punya tugas pokok fungsi pendokumentasian melaksanakan pendokumentasian dengan obyek yang didokumentasi Ludruk Karya Budaya Kabupaten Mojokerto. Waktu pelaksanaan pendokumentasian selama dua hari yakni tanggal 21 – 22 Mei 2024.

Proses dokumentasi wawancara dengan pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto (Foto dok. TBJT)

Ludruk sendiri tidak hanya berguna sebagai hiburan saja, melainkan juga mengandung amanat atau pesan kepada para penonton. Tidak jarang, ludruk menjadi alat kritik sosial yang disampaikan melalui lawakan atau adegan cerita. Meskipun tergolong sebagai produk kesenian klasik, namun hingga kini ludruk masih terus dilestarikan, khususnya di wilayah budaya arek. Ludruk di masa kini lebih banyak mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari dan bersifat menghibur.

Ludruk punya banyak penggemar di kawasan pantura Jawa Timur sampai dengan kawasan Malang ke timur sampai Banyuwangi. Hanya saja konsep pertunjukannya sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Kalau dulu ludruk pentas keliling dengan membawa properti dan pemain berkeliling dari satu kampung ke kampung atau dengan istilahnya “ludruk tobongan”. Sekarang ludruk tobongan nyaris susah ditemui, konsep pertunjukannya berganti menjadi model teropan.

Grup ludruk tidak pentas keliling lagi tapi menjual jasa hiburan dengan model pesanan, konsumen indent kepada bestire (pemilik) ludruk untuk pentas sesuai jadwal yang ditentukan dengan bayaran yang telah disepakati. Sama seperti model ketika para dalang, grup campursari menjual jasa hiburan. Dengan berubah konsep menjadi teropan ludruk tetap eksis hingga hari ini.

Pengambilan gambar saat para pemain rias (Foto dok. TBJT)

Salah satu ludruk teropan yang pesat perkembangannya dan sering mendapat job main adalah grup ludruk Karya Budaya yang bermarkas di Dusun Sukodono, Desa Canggu Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Bestire (pemilik) grup ludruk adalah bapak Edy Karya. Ludruk Karya Budaya sudah berdiri sejak tanggal 29 Mei 1969. Pertama kali didirikan oleh seorang anggota Polisi Polsek Jetis yang bernama Cak Bantu (orang tua pak Edy). Masyarakat Canggu sendiri menginginkan adanya grup ludruk yang mampu menghibur seperti sebelumnya. Keinginan masyarakat Canggu ini tidak lain merupakan wujud rasa kerinduan masyarakat terhadap pertunjukan Ludruk yang sebelumnya telah vakum selama 2 tahun dikarenakan peristiwa G 30 S/PKI.

Pada tahun 1979-an Ludruk Karya Budaya mengalami perkembangan yang sangat pesat yang awalnya hanya nobong atau pentas keliling dari desa ke desa di wilayah Mojokerto akhirnya bisa nobong di luar wilayah Mojokerto seperti di wilayah Jombang. Pada masa Orde Baru Ludruk Karya Budaya juga menjadi media percepatan pembangunan, dimana di dalam pementasannya banyak menampilkan pesan-pesan pembangunan yang memihak pada pemerintah Orde Baru. Peran pemerintah Orde Baru sangat dominan dalam melakukan pemberdayaan pada kesenian Ludruk dengan melakukan pembinaan-pembinaan terhadap grup Ludruk tak terkecuali grup Ludruk Karya Budaya.

Bedhayan yang dibawakan oleh para travesthi (Foto dok. TBJT)

Pengambilan dokumentasi Ludruk Karya Budaya sebagai obyek yang akan dijadikan video dokumenter disebabkan oleh karena Ludruk Karya Budaya menerapkan menejemen yang bagus dan terus berbenah dengan inovasi-inovasi baru yang dihadirkan. Memunculkan lakon lakon baru yang jarang ditemui pada grup ludruk lain. Tak hanya seputar kisah-kisah kerajaan Majaphit dan cerita lama dalam panggung ludruk, semisal, Sarip Tambakoso dan Sakerah. Ludruk Karya Budaya juga memenuhi permintaan masyarakat soal cerita yang akan dipentaskan. Misalnya cerita-cerita religi, seperti lakon Sunan Kalijaga, Siti Masitoh, atau lakon-lakon ciptaan sendiri yang berseting cerita konflik kehidupan sosial masyarakat saat ini.

Ludruk Karya Budaya juga melakukan strategi regenarasi yang bagus, yakni dengan rekrutmen para aktor muda berbakat. mereka saat-saat tertentu ditampilkan sebagai tokoh utama dalam sebuah pementasan lakon ludruk. Tidak setiap saat ditampilkan karena menjadi seorang aktor/aktris ludruk tidaklah seperti aktor/aktris pada teater modern yang sangat bergantung pada teks (skenario). Pada kesenian ludruk semua aktornya dituntut untuk mampu berimprovisasi mengembangkan dialog. Kalau hanya bergantung dengan teks (skenario) pertunjukan paling hanya 2 jam selesai. Padahal ketika pentas ditengah masyakarat pertunjukan mulai jam 21.00 dan berakhir pada 03.15 pagi, bila seorang aktor hanya terpaku dengan teks dipastikan akan tak mampu melanjutkan cerita. Itulah mengapa gemblengan pada aktor muda secara kontinyu dilakukan untuk menambah jam terbang dan pengalaman mereka.

Menurut pak Edy semenjak kemunculan televisi keberadaan ludruk secara perlahan mulai tergeser oleh kesenian-kesenian yang dimunculkan melalui media tersebut. Apalagi semenjak televisi swasta mulai mengudara dan menayangkan berbagai macam hiburan, semakin menambah derita keberadaan kesenian ludruk. masyarakat terutama kalangan muda lebih memilih nonton hiburan di tv daripada nonton ludruk.

Salah satu adegan perkelahian (Foto dok. TBJT)

Tapi ludruk tidak 100% mati, masih bergeliat dengan sisa-sisa kekuatannya. Semenjak kemunculan media sosial dan youtube suntikan tenaga untuk bergeliat kembali seperti mendapat asupan baru. Para kreator muda bahkan grup-grup ludruk berlomba-lomba membuat konten untuk terus mengibarkan bendera kebesaran mereka untuk tetap berkibar di jagad kesenian yang terus saling menggempur diantara mereka untuk berebut peminat.

Setiap ludruk Karya Budaya pentas tak pernah sepi penonton, selalu ramai penonton termasuk para pedagang kecil tak sedikit yang punya jadwal pentas keliling gruk ludruk Karya Budaya. Kemanapun manggung para pedagang nebeng ikut mengais rejeki dari keramaian penonton. Pak Edy Karya ketika ditanya soal kesuksesan penampilan grup binaannya ketika tampil pada suatu tempat, cukup beliau bertanya pada tukang parkir di lokasi tersebut. Ketika dijawab parkir full cukuplah menjadi ukuran kesuksesan pergelaran grup ludruk ini. Dan kenyataannya jarang sekali para tukang parkir menjawab parkirannya sepi ketika Karya Budaya main.

Upaya Taman Budaya mendokumentasikan Ludruk Karya Budaya ini disamping sebagai bentuk video dokumenter diharapkan juga menjadi pembelajaran bagi masyarakat bahwa kesenian ludruk itu adalah budaya adiluhung tinggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang tidak begitu saja dilupakan. Tetapi juga merupakan kekayaan budaya yang patut dibanggakan dan terus dilestarikan. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.