Pergelaran

Bapak Polah Anak Kepradah

Mengapa ludruk tak pernah kehilangan peminat?, rahasianya sederhana, sebab ludruk adalah cermin. Di atas papan kayu yang sederhana, para aktornya tidak hanya memerankan tokoh, tetapi juga menghidupkan realita. Cerita-cerita yang dipentaskan adalah potongan kehidupan sehari-hari, tentang cinta, konflik keluarga, kelakar, dan kritik sosial yang disampaikan dengan jenaka. Penonton tidak hanya datang untuk menonton, tetapi untuk melihat bagian dari diri mereka sendiri di atas panggung.

Insap, Orang tua seorang anak yang lari meninggalkan anak istri dan menjadi pembantu keluarga Purnomo (Foto dok. TBJT)

Bahasa yang digunakan adalah bahasa rakyat, lugas, dan mudah dicerna. Tawa pecah menyambut lelucon lawak yang segar dan relevan. Emosi tersentuh pada adegan sedih yang menyentuh hati. Ludruk adalah sebuah perayaan kolektif. Ia adalah ruang di mana penonton dan pemain menyatu dalam sebuah ikatan yang kuat, yakni “ikatan sebagai manusia biasa dengan segala suka dukanya”.

Sebagaimana pada tiap pergelaran yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jatim, ludruk senantiasa menjadi seni tradisi yang paling ditunggu oleh penonton. Bahkan para millenial mulai mendominasi kapasitas Gedung Kesenian Cak Durasim. Termasuk juga ketika Ludruk Irama Budaya Surabaya menggelar pertunjukkannya dengan lakon “Bapak Polah Anak Kepradah” pada Sabtu, 27 September 2025.

Menyaksikan ludruk dengan lakon “Bapak Polah Anak Kepradah” pada malam itu bagai menyelami sebuah kolam renang nostalgia, namun airnya adalah realitas sosial yang masih sangat relevan hingga detik ini. Lakon klasik yang berakar dari filosofi Jawa ini berhasil dihidupkan kembali dengan semangat, kelucuan, dan kritik yang tajam oleh para pemain Ludruk Irama Budaya Surabaya.

Lakon ini berkisah tentang seorang ayah yang bersikap kurang bertanggung jawab pada keluarganya karena menuruti keinginan dirinya sendiri yang membuat sengsara keluarga. Segala “polah” (tingkah laku, perbuatan) buruknya itu menjadikan cerita lucu dan cukup menghibur.

Insap seorang pembantu di keluarga Handoko seorang pengusaha yang sudah berusia senja. Handoko mengharap anak laki-laki semata wayangnya, Bayu, untuk segera menikah dan melanjutkan usaha bisnisnya, namun sang putra menolak dan masih ingin menikmati masa mudanya. Terpancing amarah sesaat Handoko pun mengusir Bayu dari rumah dan mencabut semua fasilitasnya selama ini.

Nadia, Insap, Bayu, Purnomo dan Sari akhirnya dipertemukan dalam satu keluarga (Foto dok. TBJT)

Bayu yang bingung bertemu Tante Nadia, seorang pengusaha Cafe yang berjanji akan memberinya kehidupan yang layak. Singkat cerita, Bayu dan Tante Nadia tinggal bersama, di  tengah hubungan Bayu dan Tante Nadia, Bayu mendapat pesan singkat dari sang ayah yang menyuruhnya pulang yang membritahukan bahwa bapaknya akan menikah lagi. Tanpa pikir panjang Bayu segera pergi dari rumah Tante Nadia untuk pulang dan menanyakan kebenaran kabar tersebut langsung kepada ayahnya.

Ternyata itu hanya trik Handoko saja untuk memancing pulang untuk menyuruhnya kembali segera menikah. Handoko memperkenalkan seorang gadis yang dikatakannya sebagai calon istrinya. Padahal sesungguhnya seorang gadis yang lama mencari ibunya yang kemudian dijadikan anak angkatnya, anak gadis itu bernama Sari. Handokopun tak mau kalah, ia pura-pura memperkenalkan calon istrinya yang bernama Nadia.

Betapa mengagetkan ketika Sari bertemu Nadia yang ternyata adalah Ibunya yang selama ini ia cari. Dan tak kalah keget pula Nadia ketika bertemu Insap yang ternyata adalah suaminya yang selama ini menghilang. Dari keruwetan ini kemudian ending cerita ditutup dengan penjelasan Handoko bahwa liku-liku hidup ini adalah kisah “Bapak Polah Anak Kepradah”.

Alur cerita yang disajikan pada lakon ludruk ini linear dan mudah diikuti. Konflik dibangun secara bertahap, dari hal-hal kecil hingga memuncak pada sebuah malapetaka. Pesan moral yang ingin disampaikan adalah “akibat tindakan orang tua yang tidak bertanggung jawab membuat anak terlunta-lunta hidupnya” digaungkan dengan sangat kuat dan efektif. Meski terkesan sederhana dan hitam-putih, justru di situlah kekuatan ludruk sebagai teater rakyat yang ingin menyampaikan pesan secara langsung dan mudah dicerna.

Pertunjukan Ludruk “Bapak Polah Anak Kepradah” ini adalah sebuah karya yang berhasil menjembatani masa lalu dan masa kini. Di balik tawa dan kelucuan, tersimpan pesan yang dalam dan menjadi renungan bagi setiap orang tua dan calon orang tua. Pertunjukan ini bukan sekedar hiburan, melainkan sebuah cermin bagi masyarakat. Sebuah bukti bahwa nilai-nilai luhur dan kebijaksanaan lokal dalam budaya Jawa tetap aktual untuk direfleksikan dalam kehidupan modern yang serba kompleks. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses