Pergelaran

Kolaborasi Wayang “Rekso Rumekso Roso”

Kolaborasi antara Wayang Krucil dan Wayang Thengul barangkali jarang sekali ada atau diadakan, namun Taman Budaya Jatim mencoba mengkolaborasikan dua jenis wayang tersebut dalam satu panggung pertunjukan. Walau kedua wayang tersebut sama-sama terbuat dari bahan kayu namun bentuk dan teknik memainkan kedua wayang tersebut berbeda. Wayang Krucil lebih menyerupai wayang kulit hanya saja dari bahan kayu, sementara Wayang Thengul hampir sama dengan Wayang Golek.

Penyerahan tokoh wayang kepada keempat Dalang oleh Wakil Bupati Kediri Dewi Mariya Ulfa, S.T. dan Kepala Taman Budaya Ali Ma’ruf, S.Sos., M.M. (Foto dok. TBJT)

Kolaborasi Wayang Krucil dan Wayang Thengul yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jatim lebih menjadi sebuah “upaya pelestarian yang kreatif”. Dengan menyatukan dua seni tradisi yang “bersaudara” ini, dalang tidak hanya menghidupkan kembali kedua wayang, tetapi juga menciptakan sebuah pertunjukan yang segar, menarik bagi penonton modern, sekaligus menjaga warisan budaya lokal Jawa Timur agar terus lestari.

Pergelaran dilaksanakan di Pandapa Jayengrana Taman Budaya Jatim pada Jumat, 17 Oktober 2025 mulai pukul 20.00 wib. sampai dengan selesai. Tema yang diusung pada kolaborasi dua jenis wayang ini adalah “Wrekso Rumekso Roso. Secara harfiah “Wrekso” berarti tumbuhan/pohon, “rumekso” berarti merawat/menjaga, “roso” berarti rasa/hati. Jadi artinya “merawat pohon rasa”. Kalimat ini menggambarkan proses “melatih dan mengendalikan hati serta emosi” dalam diri manusia. Seperti merawat pohon agar tumbuh subur, kita juga harus merawat “pohon rasa” dalam hati agar selalu tenang, bersih, dan terkendali.

Kalimat ini berasal dari tradisi Jawa dan sering dikaitkan dengan praktik laku spiritual untuk mencapai pencerahan batin. Dari kolaborasi dua wayang asli Jawa Timur ini diharapkan penonton yang menyaksikan pergelaran dua wayang ini akan tercerahkan dengan nilai moral yang terkandung dalam dua lakon cerita yang dibawakan dalam kolaborasi dua wayang tersebut.

Dalang Ki Brodiyanto, S.Pd. membawakan lakon “Sang Panji Sumirang Ngulandoro” pada Pergelaran Wayang Krucil (Foto dok. TBJT)

Pada pergelaran pertama tampil Wayang Krucil dari Kabupaten Kediri yang dibawakan oleh Dalang Ki Brodiyanto, S.Pd. dari Kabupaten Kediri. Lakon yang dibawakan yakni: “Sang Panji Sumirang Ngulandoro”. Lakon ini mengisahkan tentang Kerajaan Kadiri yang berduka sepeninggal ibu permaisuri dan kemudian dimanfaatkan oleh istri selir sang Prabu dengan menuduh Dewi Galuh Candra Kirana yg membunuh ibu Permaisuri sehingga diusirlah Dewi Galuh Candra Kirana dari istana. Dalam pengembaraan setelah terusir dari Kerajaan berkat bimbingan Dewi Kilisuci, Galuh Candra Kirana berubah wujud menjadi seorang ksatria muda yang tangguh bernama Panji Sumirang.

Panji Sumirang dalam pengembaraannya mampu menaklukkan gerombolan perampok yang meresahkan Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Ngurawan. Pada akhirnya Dewi Galuh Candra Kirana yang menyamar menjadi Panji Sumirang bertemu dengan kekasih hatinya Raden Panji Inukertopati. Setelah kedok Sang Dewi terbongkar, mereka bersama-sama pulang ke Kerajaan Kadiri untuk menikah. Mereka dinikahkan oleh Sang Dewi Kilisuci dan menjadi pasangan yang hidup berbahagia.

Pada pergelaran kedua tata letak pergelaran berubah. Pada Wayang Krucil konsep pergelaran dalang membelakangi penonton, sementara pada Wayang Thengul dalang menghadap ke penonton, sebagaimana pada pertunjukan Wayang Golek. Pergelaran Wayang Thengul yang biasanya dibawakan oleh seorang dalang, kali ini dibawakan oleh 3 dalang. Ketiga dalang tersebut adalah: “Ki Trio Wahyu Aji”, “Ki Alfian D”. dan “Ki Novan”. Yang patut diapresiasi adalah ketiga dalang tersebut rata-rata berusia muda, dimana jarang sekali anak muda mau menekuni bidang seni tradisi Wayang Thengul.

“Ki Trio Wahyu Aji”, “Ki Alfian D”. dan “Ki Novan” tiga dalang muda asal Bojonegoro secara bersama membawakan lakon “Rajekwesi Mardiko” pada Pergelaran Wayang Krucil (Foto dok. TBJT)

Lakon yang dipergelarkan pada Wayang Thengul asal Bojonegoro ini adalah “Rajekwesi Mardiko”. Lakon ini bercerita tentang Perjuangan Raden Mas Sasradilaga dalam melawan penjajahan Belanda di daerah Rajekwesi. Keberpihakan Bupati Jayanegara terhadap pemerintahan Belanda membuat rakyat Rajekwesi sengsara, untuk menyuarakan keresahan Rakyat Sasradilaga memberanikan diri mengobarkan api perlawanan terhadap pemerintahan boneka, dan akhirnya mampu merebut kembali Rajekwesi dari kekuasaan pemerintahan seorang Bupati boneka Belanda. (sn)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses