Pergelaran

Wayang Krucil, Wayang Kayu Yang Jarang Dikenal

Hari ke-4 Pekan Wayang Jawa Timur 2022 dipergelarkan satu wayang kayu yang biasa disebut wayang krucil atau ada juga yang menyebut wayang klithik. Pergelaran dilaksanakan di Pendapa Jayengrana Taman Budaya Jawa Timur, pada Jum’at 4 November 2022 pukul 20.00 s/d. selesai. Lakon yang dipentaskan adalah “Mapanji Sri Aji Jayabaya Muksa”. Dalang yang memainkan wayang tersebut adalah Ki Kondo Brodiyanto dari Kabupaten Kediri.

Penyerahan piagam penghargaan oleh Kepala Taman Budaya Jawa Timur kepada dalang Ki Kondho Bodhiyanto (Foto dok. TBJT)

Wayang krucil atau wayang klithik adalah pertunjukan boneka datar dua dimensi yang terbuat dari kayu yang diukir dan diberi warna, Tampilan wayang krucil memiliki ketebalan antara 2-3 cm, hanya lengannya yang terbuat dari kulit agar dapat digerakkan. Karakter pada wayang krucil terkesan lebih bernyawa jika dibandingkan dengan wayang kulit.

Sejarah kemunculan wayang krucil terdapat dalam Serat Sastramiruda, di dalam naskah itu disebutkan bahwa wayang krucil pertama kali dibuat oleh Pangeran Pekik di Surabaya pada 1571 Saka (1648 M). Pada puncak kejayaannya di tahun 1960-an, Wayang Krucil tersebar hampir di seluruh daerah Jawa Timur. Mulai dari Kabupaten Ngawi, Magetan, Madiun, Nganjuk, Kediri, dan menyebar hingga kawasan Kabupaten Malang dan Pasuruan. Di Jawa Tengah juga dikenal wayang krucil yakni di Kabupaten Blora.

Berbeda dengan wayang kulit purwa dimana kelir adalah kain utuh memanjang, pada wayang krucil kelir berlobang di tengahnya sehingga penonton bisa menyaksikan baik dari belakang atau depan kelir (Foto dok. TBJT)

Cerita yang dimainkan dalam pementasan wayang krucil bersumber dari berbagai kisah, biasanya mengambil cerita pada zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga Prabu Brawijaya di Majapahit. Sementara kisah yang terkenal adalah Serat Damarwulan, legenda dari kerajaan Majapahit.Kisah populer lainnya adalah Mahabharata dan kisah Panji Asmorobangun. Bahkan ada juga cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia yang berkaitan dengan perkembangan dan penyebaran agama Islam.

Pertunjukan wayang krucil tidak menggunakan kelir dan tidak ditancapkan pada gedebog (batang pohon pisang) tetapi pada kayu atau bambu panjang yang berlubang-lubang (slanggan). Setiap adegan diiringi dengan tembang (lagu) macapat yang dibawakan oleh dalang.

Menurut Prof. Setya Yuwana Sudikan dalam perkembangannya wayang krucil dibedakan menjadi dua yakni wayang krucil yang berkembang dengan bentuk aslinya dimana penggunaan bahasa lebih banyak digunakan bahasa Jawa ngoko dan krama desa terutama dalam janturan, antawacana, cerita. Juga tidak adanya waranggono dalam pergelaran.

Ki Kondho Bodhiyanto, dalang muda wayang kruci dari Kabupaten Kediri (Foto dok. TBJT)

Kedua wayang krucil yang sudah menerima pengaruh dari wayang kulit purwa. Perbedaanya sangat terasa dengan wayang kulit asli. Bahasa yang digunakan jauh lebih halus sebagaimana pada wayang kulit purwa. Suluknya semakin beragam, tembangnya mengikuti perkembangan zaman, demikian juga dengan antawacana dan janturan yang dipakai. Dan penggunaan waranggono sebagai tambahan biasa dilakukan. Unsur dialek kedaerahan sangat sedikit atau bahkan tidak digunakan sama sekali oleh dalang. Tidak jarang pula unsur tambahan berupa campursari atau musik dangdut dimasukkan sebagai hiburan.

Saat ini pementasan wayang krucil sangat jarang sekali ditemukan, karena tersisih oleh kesenian lain yang disukai masyarakat terutama wayang kulit purwa. Pementasan biasanya dilakukan karena berkaitan dengan acara tertentu seperti acara Kaulan atau peringatan kematian ulama terkenal, atau kadang-kadang juga ditemukan di hajatan pernikahan atau khitanan di daerah Kediri, Nganjuk, Malang dan sekitarnya.

Perbedaan mendasar pada wayang krucil asli dengan wayang krucil masa kini terutama adalah adanya waranggono, pada wayang krucil asli waranggono tidak ada (Foto dok. TBJT)

Wayang krucil yang dipergelarkan pada Pekan Wayang 2022 di Taman Budaya Jawa Timur adalah wayang krucil yang sudah menerima pengaruh wayang purwa. Dalang Ki Kondo Brodiyanto yang juga seorang dalang wayang kulit purwa menyajikan bentuk wayang krucil persis ketika bermain dalam pergelaran wayang kulit purwa. Bahkan grup campursari dangdut ikut memeriahkan pergelaran. Dimulai pukul 20.00 dan berakhir hingga pukul 02.30 wib.

Sementara lakon Mapanji Sri Aji Jayabaya Muksa merupakan cerita yang bersetting era kerajaan Kediri. Mengisahkan tentang peralihan kekuasaan dari raja Jayabaya Kediri kepada Anglingdarma. Masyarakat yang terbiasa dengan cerita wayang kulit purwa yang selalu mengusung epos cerita Ramayana Mahabarata, mungkin kurang mengenal dengan cerita ini. (sp)

Seksi Dokumentasi Publikasi

Staff Pada Seksi Dokumentasi Dan Publikasi UPT Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, Jabatan Pelaksana : Penyusun Bahan Publikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.